MESKIPUN menuai pro dan kontra, Kementerian Pertahanan tetap menyelenggarakan program bela negara. Padahal, pada 2006 pemerintah sendiri telah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Tanggal itu terkait sejarah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera yang berdiri pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Kala PDRI menyambung nyawa Republik Indonesia, masyarakat Minangkabau telah membela negara dengan menjadi penopang PDRI.
Pada 22 Desember 1948, PDRI diumumkan di Halaban, termasuk menyebutkan susunan kabinet. Namun, PDRI memilih nomaden untuk menghindar kejaran Belanda sembari menyuarakan Republik masih ada lewat radio transmitter dan mobiele x-mitter yang dioperasikan oleh AURI.
Selama tujuh bulan, PDRI menjaga eksistensi Republik, dengan berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya. Sepanjang itu pula, masyarakat di nagari-nagari yang didaulat menjadi ibukota menunjukan semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Tercatat ada delapan nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI. Di semua nagari, masyarakat menyambut dengan hangat dan bersahabat, menyediakan rumah-rumah untuk ditempati, surau sebagai ruang silaturahmi, rumah yang didaulat menjadi ‘istana’ untuk rapat kabinet, dan penyediaan makan yang cukup.
Salah satu nagari paling lama dihuni Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan PDRI adalah Bidar Alam di Solok Selatan. Selama lebih kurang 3,5 bulan, mereka mendapati loyalitas dan totalitas yang tak terbatas.
“Di Bidar Alam kami mengadakan hubungan dengan luar. Membuat instruksi-instruksi, mengkoordinir perjuangan. Mengirimkan utusan-utusan, kurir-kurir, mengadakan kontak-kontak dengan pembesar-pembesar. Kami juga membentuk Komisariat Pemerintah di Jawa,” ujar Sjafruddin seperti tercatat dalam PDRI Dalam Khasanah Kearsipan.
Selama di Bidar Alam, pejabat PDRI mendapat pengamanan dari anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK yang digagas Mohammad Hatta mengatur dan mengerahkan sumber daya yang ada sebagai pengaman dan mata-mata untuk melihat kedatangan Belanda.
“Semasa PDRI, pengembala ikut menasbihkan diri mengamankan nagari Bidar Alam. Mereka diminta melapor kepada BPNK jika masuknya orang-orang yang mencurigakan,” jelas Ibnu Abbas, mantan komandan BPNK Bidar Alam, beberapa waktu silam.
Selain itu, masyarakat juga memastikan logistik untuk pejabat PDRI. “Di sini tidak ada dapur umun. Tiap rumah disuruh membuat nasi bungkus tiap pagi dan sore hari. Kita berpesan kepada warga untuk menyediakan nasi bungkus paling telat 15 menit sebelum jam makan,” cerita Ibnu.
Selain penyediaan nasi bungkus di tiap rumah, beberapa pemuda juga ditunjuk untuk berburu kijang dan rusa. Ibnu mengatakan, Alimin dan Afan sering ditunjuk menjadi pemburu. Punggawa PDRI seperti Supono dan Dick Tamini juga sering ikut berburu.
Spontanitas pelayanan maksimal untuk PDRI juga ditunjukan oleh nagari-nagari lain yang pernah disinggahi dan dijadikan pusat pemerintahan.
Intan Sari Datuak Magek Karajan, Ketua Perbekalan saat PDRI beribukota di Silantai, Kabupaten Sijunjung, diberi wewenang untuk menunjuk warga memasak. Nursani ditunjuk sebagai ketua masak. “Makanan kesukaan Pak Sjaf adalah gulai ikan,” timpalnya.
Bahkan, ada di antaranya warga memberi hewan ternak seperti kambing karena bernazar atau berzakat. Dan warga yang panen padi, menyisihkan beras untuk kebutuhan dapur umum.
Di masa PDRI, ada juga masyarakat yang memainkan peran sebagai tukang pijat dan tukang gendong para pemimpin PDRI. Pola-pola ini hampir terjadi di tiap nagari yang mendapat kesempatan menjadi ibukota.
“Para pejuang di medan laga tidak mungkin memiliki tenaga untuk berperang tanpa dibekali nasi bungkus oleh kaum ibu dari dapur umum,” ujar Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang.
Mestika mengatakan, PDRI menjadi sebuah periode dimana panggung sejarah perjuangan kemerdekaan beralih dari kota ke pedesaan, ketika pemimpin mengungsi ke pedalaman, ketika perjuangan melibatkan partisipasi rakyat.