Masuk Daftar
My Getplus

Museum PDRI Riwayatmu Kini

Pembangunan museum terhenti di tengah jalan. Letaknya di tengah hutan.

Oleh: Yose Hendra | 06 Agt 2018
Rombongan PDRI tiba di lapangan terbang Maguwo, Yogyakarta. Ketua PDRI, Sjafruddin Prawiranegara (bertongkat), berjalan didampingi Dr. Halim, M. Natsir (berpeci), dan Mr. Lukman Hakim. (Repro "Lebih Takut Kepada Allah SWT").

KETIKA berpidato membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional RKP 2019 di Grand Sahid Jaya, Jakarta pengujung April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung banyaknya pembangunan yang dijalankan dengan perencaan tak matang.

“Ada pelabuhan nggak ada jalannya. Banyak, ada 30 pelabuhan, ada pelabuhan nggak ada jalannya. Ini perencanaan nggak ada waduk, dan nggak ada irigasinya. Hati-hati yang namanya perencanaan. Ada museum di tengah hutan,” ungkap Presiden Jokowi.

Museum di tengah hutan yang disebut Presiden Jokowi merujuk pada bangunan terlantar di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat.

Advertising
Advertising

Berjarak 48 km dari kota Payakumbuh, lokasinya berada di rimba Aia Angek. Untuk mencapainya, pengunjung harus melintasi jalan kecil beraspal tipis terkelupas di sana-sini diselingi lubang menganga. Setibanya di lokasi, dari kejauhan tampak dua bangunan mirip Tongkonan –rumah adat suku Toraja. Keduanya masih berbentuk kerangka dirambati tumbuhan liar, berdiri di atas tanah merah, menyembul di antara lebat pepohonan.

Tak jauh dari dua bangunan utama yang berlawanan kutub itu, dua barak pekerja kondisinya sudah lusuh. Di dalamnya serba berantakan.

Berada di areal seluas 20 hektar hibah dari Zainir Datuak Pajuang, tokoh masyarakat setempat yang keluarganya turut dalam perjuangan PDRI, bangunan yang digadang-gadang sebagai situs kunjungan wisata sejarah itu kini terbengkalai.

Kendati demikian, pemerintah Provinsi Sumatera Barat berkukuh proyek pembangunan tersebut tidak mangkrak dengan argumen: “lemahnya komitmen penganggaran dari kementerian yang terlibat sejak awal.”

Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit menegaskan proyek pembangunan museum PDRI tidak bisa disebut mangkrak. “Tidak mangkrak, kita sudah lakukan pertemuan beberapa waktu, dengan hasil tahun ini dialokasikan Rp5 milyar. Selama ini dikelola oleh kabupaten (Limapuluh Kota), kita mau tarik ke provinsi dengan Dinas PUPR mengelola berikutnya, sehingga ada yang bertanggung jawab penuh. Kami berharap enam kementerian untuk bisa menyalurkan dana sesuai komitmen awal,” kata Nasrul Abit.

Mengacu pada keputusan Menteri Pertahanan nomor: KEP/741/M/VIII/2012 tentang Penetapan Tim Teknis Pembangunan Monumen Bela Negara, dan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 180/723/Huk/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-15-2011 tentang Pembentukan Panitia Pembangunan Monumen dan Tugu Bela Negara di tingkat Provinsi Sumatera Barat, sumber pembiayaan disepakati dari APBN yang dialokasikan dalam anggaran Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Sosial.

Dari dokumen yang diterbitkan pemerintah provinsi Sumatera Barat tentang perkembangan pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi, estimasi anggaran yang dibutuhkan menyentuh angka Rp.553,5 miliar.

Sementara, hingga saat ini realisasinya baru Rp49,5 milyar. Rinciannya anggaran yang telah dialokasikan berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp40,8 milyar. Anggaran tersebut dialokasikan secara bertahap dalam rentang 2012-2016.

Informasi jumlah alokasi dana yang diperoleh dari dokumen Pemprov Sumbar berbeda dari keterangan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid saat mengunjungi Koto Tinggi tahun lalu. Dia mengungkapkan, hingga 2016 pembangunan museum PDRI telah menelan anggaran Rp52,5 milyar. “Total anggaran pembangunan museum hingga 2019, akan menelan Rp80 miliar,” katanya.

Tahun 2017, sama sekali tidak ada gelontoran dana dari Kemendikbud.  “Tidak berlanjut atau off pada tahun 2017. Tahun ini (anggaran 2018) mau masuk,” ujar Nasrul Abit.

Sementara, Pemda Sumatera Barat telah menggelontorkan dana Rp6,5 milyar sejak 2012 sampai 2017. Lalu, Pemkab Limapuluh Kota mengucurkan dana APBD sebesar Rp2,2 milyar.

Menurut Nasrul, anggaran dari Kemendikbud dipergunakan untuk pembangunan museum. Sementara APBD dari provinsi digunakan untuk pembukaan lajur jalan, termasuk jalan lingkungan. Sedangkan dana ABPD Kabupaten Limapuluh Kota ditujukan untuk pembangunan jalan dan pembebasan lahan.

Berharap Rimba Jadi Kawasan Wisata

Pola penganggaran semakin menampakkan semangat yang menaungi proyek ini. Cara pandang pemerintah Sumatera Barat, proyek ini mengerek pembangunan yang kurang menyentuh daerah di punggukan Bukit Barisan ini. Muaranya, keberadaan museum diharapkan memacu pariwisata, menggeliatkan ekonomi.

Berhubung di level pusat Kemendikbud bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA), sehingga turunannya, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota menjadi instansi yang didaulat mengurusi proyek ini di masa awal, sebelum diserahkan ke provinsi. Zulhikmi, kepala dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota di masa awal (2012), ditunjuk menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).

Zulhikmi menjelaskan, pada 2012, pembangunan museum baru sekadar penanda yakni peletakan batu pertama. Di tahun itu juga Dinas PU meneroka dan menapaki jalan lingkung.

Setahun berikutnya, cerita Zulhikmi, Kemendikbud mencairkan dana Rp.20 miliar untuk pembangunan fisik museum. “Tidak terserap semua. Yang habis 16 miliar, sesuai nilai kontrak,” tukasnya.

“Kegunaannya untuk pembangunan (yang terlihat sekarang). Tapi itu sudah bertambah. Sudah tiga tahun berjalan. Saya tahun pertama (sebagai KPA),” ujar Zulhikmi saat ditemui di kediamannya di sisi GOR Singa Harau, Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota.

Seturut yang dia ketahui, hingga tahun 2015 pembangunan masih berjalan. Dia juga menyebutkan, pada masa awal, proyek dikerjakan oleh kontraktor asal Bandung. Saat itu, Irjen juga melakukan pemeriksaan.

Zulhikmi mengaku, membangun proyek menumental tersebut di lahan yang mesti diteroka teramatlah sulit. Terlebih, tanah merahnya pasti lembek jika hujan turun. “Tahun pertama, akses jalan susah. Hari penghujan. Susah alat berat masuk. Mobilisasi susah,” bebernya.

Dia merasa, mangkraknya pembangunan museum lantaran lembaga yang terlibat tidak seayun. Dia mencontohkan, kenapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang seakan-akan punya proyek tersendiri, padahal koordinator awalnya Kemenhan.

Pada 24 April 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajjir Effendy dan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid meninjau Aia Angek, Koto Tinggi. Kedatangan mereka untuk mengevaluasi kelayakan dan melihat berbagai sisi antara dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapatkan dari proyek museum tersebut.

“Ini perintah langsung Presiden Joko Widodo. Melihat proyek yang belum selesai,” ujar Muhajjir.

Secara keseluruhan, Muhajjir mengatakan, terdapat 13 pembangunan museum yang akan dievaluasi, dan Museum PDRI merupakan salah satu yang turut ditinjau ulang. “Indikator evaluasi berupa besar alokasi dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan didapatkan bagi masyarakat,” sebutnya.

Sementara, Hilmar mengatakan, meski pembangunan Museum PDRI melibatkan inisiasi lima kementerian, hanya Kemendikbud yang menampakkan komitmennya. “Baru Kemendikbud yang menggelontorkan anggaran, sementara kementerian lain belum. Kita lihat langsung hasil tinjauan ini dan akan membawa langsung kepada kementerian-kementerian yang bersepakat itu. Nantinya, hasil ini akan dibawa ke rapat terbatas presiden,” ujar Himar.

Mendikbud Muhajjir yang pasti menggarisbawahi alokasi anggaran untuk pembangunan Museum PDRI sudah dihentikan sejak tahun lalu, untuk menunggu keputusan dari evaluasi pembangunan museum tersebut.

Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan tidak sepakat jika sengkarut anggaran musabab tidak berlanjutnya pembangunan Museum PDRI. Kondisi yang terhampar saat ini, menurutnya, bentuk ketidakseriusan pemerintah. Separuh hati menunaikan konpensasi atau penghargaan pada basis dan orang-orang PDRI.

Sekretaris Yayasan Peduli Pejuang (YPP) PDRI tahun 1948-1949 Sumatera Barat itu menegaskan, mestinya pemerintah (pusat) membuka mata betapa basis (kantong) PDRI masih tertinggal, sehingga pembangunan Museum PDRI penting untuk menyulut percepatan pembangunan infrastruktur.

“Mestinya konsep 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) memasukkan Koto Tinggi dan basis lain dengan membangun infrastruktur. Kemampuan YPP PDRI hanya seminar dan menerbitkan buku,” ujarnya.

Baginya, pernyataan Mendikbud Muhajjir Effendy yang memberi sinyal bakal mengevaluasi atau tidak melanjutkan pembangunan ‘Monas’ (Museum) PDRI sebagai penghianatan terhadap sejarah.

“Selaku putra daerah yang juga pengurus YPP-PDRI tahun 1948-1949, kami tentu keberatan mendengar sinyal Pak Mendikbud. Pak menteri seyogianya lebih memahami sejarah PDRI dan ikut mendorong melanjutkan proyek yang tengah mangkrak. Bahasanya jangan dihentikan, karena Pak Mendikbud bisa menghianati sejarah,” kata Ferizal.

Ferizal mengaku akan sangat kecewa dan menyesalkan apabila pihak kementerian mengambil langkah penghentian pembangunan monumen PDRI di Kototinggi hanya karena alasan teknis pengerjaan oleh perusahaan pelaksana proyek. Karena, itu merupakan tanggung-jawab penuh perusahaan pelaksana proyek.

“Tentu saja, banyak tokoh dan masyarakat di daerah kami akan dirugikan jika saja pembangunan monumen (PDRI) dihentikan. Karena tidak sedikit upaya yang sudah dilakukan guna memperjuangkan serta mengupayakan pelurusan sejarah bangsa ini. Jangan hanya karena muak melihat satu tikus, lalu lumbung dibakar,” tutur Ferizal.

Dia mengharapkan Kementerian jangan hanya mempertimbangkan tata-letak koordinat atau masalah kegagalan teknisnya. “Tapi mendikbud kiranya perlu mempertimbangkan dan evaluasi atas kelanjutan anggaran atau kompensasi lainnya sesuai komitmen yang sudah dibuat,” tukas Ferizal.

Ferizal mengajak mendikbud memahami sejarah tentang PDRI 1948-1949 yang menjadi mata rantai agenda nasional, yakni Bela Negara. “Harusnya, mendikbud bisa mengedukasi masyarakat melalui tupoksinya, bagaimana mengupayakan pemuatan sejarah PDRI di kurikulum pendidikan,” pungkas Ferizal.

Penulis adalah kontributor Historia di Sumatra Barat.

Baca juga: 

Mangkraknya Museum Kami
Jalan Panjang Menuju Museum PDRI
Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri

TAG

Museum PDRI Sjafruddin-Prawiranegara Kototinggi Sumatera-Barat Museum-Mangkrak

ARTIKEL TERKAIT

Dari Manggulai hingga Marandang Ketika Insinyur Jadi Menteri Kesehatan Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Pedir Kaya Jual Merica Umar Jatuh Cinta di Zaman PDRI Lika-liku Opsir Luhukay "Kepoin" Muspusal, Paham Sejarah Maritim dengan Teknologi Mutakhir Museum Gajah Bakal Merestorasi 817 Koleksi yang Rusak Insiden Kebakaran di Gedung A Museum Nasional Indonesia