Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri
Bukan mangkrak, museum ini cuma butuh dana dan komitmen yang besar. Butuh dana 40 milyar lagi.
SEMBILAN belas Desember tiga tahun setelah Indonesia merdeka, dalam Agresi Militer II, Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Tiga hari kemudian, Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat.
Demi mengabadikan peristiwa bersejarah itu, pada 2012 pemerintah provinsi Sumatra Barat, Kementrian Pertahanan (Kemenhan), Kemendikbud, Kementrian Sosial (Kemensos), dan Universitas Pertahanan (Unhan) menyusun rencana pembangunan kawasan luas bernama Monumen dan Tugu Bela Negara di Koto Tinggi, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Monumen itu dibuat sebagai penanda di kawasan tersebut pernah berdiri PDRI selama 1948-1949. Berbagai fasilitas akan dibangun di sana, terutama sebuah Museum PDRI yang
megah.
Namun, sejak digagas pada 2012 yang lampau kawasan seluas 50 hektare itu tak banyak mengalami perubahan dari kondisi semula. Padahal hingga 2017, demi membangun museum PDRI, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 44,03 milyar. Sebuah bangunan setengah rampung berdiri mencuat di tengahnya, jadi yang paling mencolok. Itulah gedung museum yang terlihat terbengkalai di tengah hutan Koto Tinggi.
Pembangunan yang tak kunjung rampung menuai banyak kritik. Hingga kini Museum PDRI dicap khalayak sebagai proyek mangkrak. Bukan cuma itu, penentuan lokasi yang berjarak 80 km dari Kota Bukittinggi dan 250 km dari kota Padang itu pun dipermasalahkan.
Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harry Widianto menjelaskan, museum merupakan satu bagian dari pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara. Pembukaan areal baru ini diharapkan bisa menjadi tujuan wisata baru di Sumatra Barat.
“Jadi sebenarnya pembukaan areal untuk PDRI ini tidak hanya ada museum di situ,” lanjut Harry, ketika ditemui Mei lalu di kantornya.
Gagasan pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara itu diawali dengan rapat koordinasi pada 2012 yang dihadiri Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat, Kemenhan, Kemendikbud, Kemensos, dan Universitas Pertahanan.
“Museum ini dimulai dengan ide. Pada 2012 sudah dirapatkan, kami setuju dan ini merupakan kerja bersama kementrian dan lembaga lain,” katanya.
Dari sana, Kemendikbud kebagian tugas untuk membangun Museum PDRI. Selain Kemendikbud, ada lima kementrian lain yang diberi tugas, yaitu Kemenhan, Kemensos, Kemen PUPR, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
“Museumnya dibuat oleh kemendikbud. Buka lahan oleh Kemen PUPR, pariwisata oleh Kemenpar, tentang historis oleh Kemenhan. Leading sector di Kemenhan. Kalau dibayangkan ini tuh kerja kolektif beberapa lembaga,” jelas Harry.
Sayangnya, di antara semua kementrian itu, hingga kini hanya tinggal Kemendikbud yang masih melanjutkan tugasnya. Setiap tahun sejak 2012 pihaknya terus menganggarkan dana agar proyek itu segerta terselesaikan. Namun, kata Harry, karena mencolok sebagai satu-satunya bangunan besar di kawasan itu, Museum PDRI pun nampak seperti bangunan yang mangkrak di tengah antah-berantah.
“Ketika dibawa ke rapat teras, presiden bilang kok Kemendikbud bangun museum di tengah hutan? itu kelihatannya sekarang, karena semua nggak gerak. Hanya Kemendikbud yang tetap pada kesepakatan 2012,” ucapnya.
Soal lokasi, penetuannya pun bukan asal. Ini dilakukan melalui seminar yang dihadiri oleh para pakar. Dari seminar itu ditunjuk lokasi yang dianggap paling historis dalam PDRI.
“Itu recommended, given dari pemerintah sana (Pemprov, Red.). Jatuhnya memang jadi jauh dari kota,” jelas Harry.
Ia pun menjamin koleksi yang akan dipajang di museum nantinya sudah jelas. Dengan adanya tim ahli, pengisian koleksi di Museum PDRI sudah melalui kajian.
Meski memang, sejauh ini keberadaan koleksi masih tersebar. Sebagian masih ada di perguruan tinggi, legiun veteran, dan masyarakat, terutama dari keturunan pelaku sejarah terkait PDRI. Walaupun dalam kajian sudah diamanatkan, koleksi belum berani dikumpulkan karena tempat belum siap.
“Ketika bangunan jadi pasti sudah ada. Nggak ada kendala soal ini. Kalau nggak ada koleksi ngapain bikin museum?” ujar dia.
Lalu kapan rampungnya? Kata Harry, itu tergantung dari dana yang tersedia. Hingga saat ini pihaknya membutuhkan dana sekira Rp 200-an milyar untuk menyelesaikan delapan museum, termasuk PDRI. Sementara anggaran untuk pembangunan museum per tahunnya tak mencukupi untuk menyelesaikan semuanya.
“Semua museum per tahun, nggak bisa multiyear. Duit dibagi-bagi ke museum lain. Idealnya museum buatnya satu tahun selesai. Tapi kan nggak, kita sharing,” terangnya.
Misalnya, dalam suatu proyek dana yang dibutuhkan mencapai Rp 60 milyar. Dalam setahun dana yang turun hanya Rp 10 milyar. Akibatnya, proyek baru bisa terselesaikan dalam enam tahun.
Untuk Museum PDRI, rencana anggarannya memang tak sedikit. Proyek ini mencapai Rp85 milyar. Artinya dengan rancangan anggaran sebesar itu dan banyaknya dana yang sudah digelontorkan masih butuh dana sekira Rp40,9 milyar lagi. Di samping lokasinya yang jauh, volume bangunannya juga besar. Sampai kini, pemerintah baru berhasil mewujudkan 50 persen bangunannya.
“Museum PDRI tidak terlantar, diteruskan. Jadi bukan mangkrak,” lanjutnya.
Namun, untuk mempercepat agar keseluruhan Kawasan Monuman dan Tugu Bela Negara terselesaikan sesuai cita-cita 2012 silam, menurutnya sangat dibutuhkan adanya Keputusan Presiden (Keppres). Keppres ini pula yang dinilai bisa mendorong kementrian lainnya untuk merealisasikan komitmen enam tahun lalu.
“Ini kan jadinya kami yang paling kerja sendirian, kami yang kena getahnya. Kalau semua kementrian gerak ini daerah pasti sudah bagus,” ucap Harry.
Baca juga:
Mangkraknya Museum Kami
Museum PDRI Riwayatmu Kini
Jalan Panjang Menuju Museum PDRI
Tambahkan komentar
Belum ada komentar