Awal tahun 2024 ini, dokter gadungan masih bisa leluasa beraksi di Indonesia. Kali korbannya bukan perorangan, rumahsakit daerah, atau perusahaan, melainkan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Jika timnas PSSI berjuang mati-matian di lapangan agar tidak kebobolan oleh tim lawan, di luar lapangan PSSI malah kebobolan oleh dokter gadungan itu.
Tak tanggung-tanggung, selain dua timnas PSSI yakni U-16 dan U-19, beberapa klub sepakbola juga menjadi korban penipuan dokter gadungan itu. Dokter gadungan yang mengaku lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Syah Kuala (USK) Aceh itu adalah Elwizan Aminudin.
“Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Riski Adrian, membeberkan, motif tersangka memalsukan dokumen karena alasan ekonomi. Sebelum jadi dokter palsu, Elwizan bekerja sebagai kondektur bus dan memiliki usaha toko kelontong. Elwizan juga disebut sudah menjadi dokter abal-abal sejak 2013 silam. Selain PSS Sleman, ada sejumlah klub sepak bola Tanah Air yang pernah ditangani Elwizan Aminudin,” demikian bola.com tanggal 3 Februari 2024 memberitakan.
Perkara dokter gadungan bukanlah hal baru di Indonesia. Di zaman revolusi kemerdekaan, ada dokter gadungan menyaru dalam perjuangan kemerdekaan. Itu dialami Soemarno Sosroatmodjo, dokter-pejuang yang kelak menjadi gubernur DKI Jakarta dan menteri dalam negeri yang merupakan kakek dari Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim “Slank”.
Suatu hari di sekitar Turen, Malang, Soemarno melihat kejanggalan pada kehadiran seseorang yang terlihat seperti dokter tapi tak dikenalnya. Orang itu baru saja datang dari Tumpang dan –setelah disapa beberapa mahasiswa– berusaha mendekati Soemarno.
“Ini Mas Marno?” sapa orang yang dikira dokter itu.
Soemarno pun heran karena orang itu mengenali dirinya.
“Masa Mas Marno lupa sama saya?” sambung pria tadi mendesak, sebagaimana dikisahkan Seomarno dalam biografinya, Dari Rimba Raya Ke Jakarta Raya.
Orang itu mengaku dirinya sebagai dr. Sutomo dan berasal dari Jakarta. Dia tak bisa kembali ke Jakarta karena terhalang oleh pasukan Belanda. Soetomo palsu itu juga mengaku untuk sementara bergabung sebagai dokter di Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di sekitar Malang dan sudah tiga bulan belum digaji AURI.
Sutomo lalu pergi dari hadapan Soemarno. Katanya, ingin pergi melihat korban-korban pertempuran yang sudah jadi mayat.
Soemarno terus menaruh curiga. Dia kemudian bertemu dengan dr Imam.
“Sutomo itu bukan dokter,” kata dr Imam. Soemarno jadi heran dengan perkataan dr Imam. “Tidak Mas Marno, saya tidak percaya ia dokter.”
Esok paginya, Soemarno menemui dr. Alibasah Saleh untuk memastikan omongan dr Imam. Soemarno, Alibasah, Sutomo dan seorang mahasiswa kedokteran bernama Ibnu lalu duduk-duduk minum kopi. Kebetulan mereka kemudian melihat seorang bapak-bapak membawa anaknya yang sakit.
“Ib, itu anak-anak bagianmu?” tanya Sutomo pada Ibnu.
Sebagai junior, Ibnu segera bangkit memeriksa si anak tadi. Seteleh memeriksa, Ibnu memberi tahu obat apa yang harus diberikan kepada anak itu. Sutomo kemudian bertanya kepada Ibnu obat apa yang diberikan kepada si pasien.
“Enterovioform,” jawab Ibnu, yang memberikan obat yang biasa digunakan untuk mengobati disentri pada zaman itu.
“Baik,” sahut Sutomo.
Berhari-hari kemudian, Soemarno dan Alibasah mengamati Sutomo sampai suatu hari Sutomo menghilang. Setelah Sutomo menghilang, tentara Belanda datang menyerbu Malang. Peristiwa itu terjadi sekitar 1947.
Lima tahun kemudian, 1952, Soemarno bertemu lagi dengan Sutomo di Pinrang. Kala itu Soemarno sudah berpangkat letnan kolonel dan bertugas sebagai dokter tentara di Makassar. Kali ini Sutomo pura-pura tak kenal Soemarno. Lantaran kecurigaannya belum hilang, Soemarno pun bertindak.
“Saya lapor kepada polisi militer agar dia ditangkap karena dokter palsu. Rupanya polisi militer tidak yakin bahwa dia dokter palsu, sebab ke mana-mana dia membawa buku-buku kedokteran karena itu dia ditahan di hotel,” aku Soemarno.
Kebetulan dokter Sanitiyoso, yang baru datang dari Bandung, bertamu ke Soemarno. Sanitiyso rupanya melihat Sutomo sedang ditahan. Dia pun terkejut.
“Lho, itu kan pembantu saya dulu, kok ditaruh di Pavilyun? Dia mencuri buku-buku dan stetoskop saya,” kata dr Sanitiyoso.
Status Sutomo sebagai dokter gadungan pun terbongkar dengan terang. Setelah melanjutkan hidup di Jakarta kemudian, Sutomo tewas terbunuh. Soemarno mendengar kabar Sutomo terbunuh waktu ada kontak tembak antara Darul Islam dengan TNI di Jawa Barat.