Masuk Daftar
My Getplus

Nama Anak dari Nama Anak Buah

Kejadian menggelikan anak buahnya menginspirasi Pranoto Reksosamodra dalam memberi nama anak pertamanya.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 11 Jun 2020
Kiri-kanan: Letkol Soeharto, Mayor Selo Ali, dan Mayor Pranoto Reksosamodra dalam pertemuan para komandan resimen di Yogyakarta tahun 1952. (Repro Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya).

Nama adalah doa. Setiap orang tua akan memberikan nama terbaik untuk anaknya. Nama yang diberikan mengandung makna yang diharapkan membawa kebaikan bagi anak. Nama itu juga bisa jadi memiliki cerita sendiri bagi orang tua, seperti Pranoto Reksosamodra memberikan nama untuk anak pertamanya.

Pada September 1947, Mayor Pranoto Reksosamodra menjabat komandan Resimen XXI, Yogyakarta. Dalam pertempuran di Semarang barat, dia berpangkalan di garis pertahanan dari perkebunan karet Rembes ke selatan lewat daerah Gemuh, Biting, sampai Candiroto.

Daerah hutan itu sulit mendapatkan air. Untuk mandi saja harus turun ke jurang yang ada sumber air jernih dengan kolam bercadas. Pada sore hari, Pranoto mandi ke sumber air itu dengan dikawal oleh Prajurit Untung dan Kopral Wardoyo.

Advertising
Advertising

Baca juga: Pranoto Cerita Pawang Ular Jenderal Soedirman

"Sedang di tengah mandi aku mendengar suara ilalang bergemerisik, seperti ada orang-orang yang datang mendekatiku," kata Pranoto dalam memoarnya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.

Wardoyo berbisik pada Untung, "Awas, patroli Belanda datang."

Tanpa pikir panjang, Untung memberondongkan tembakan sten gun ke arah suara gemerisik itu. Wardoyo mencari posisi ke samping Untung. Sewaktu dia meloncat ke samping kiri, kakinya tersambar peluru dari sten gun Untung yang menembak membabi buta.

Ternyata tidak ada balasan tembakan dari arah suara gemerisik yang dikira tentara Belanda. Malahan sekawanan babi hutan yang mencari minum terpaksa kembali karena tembakan itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara Wardoyo mengerang kesakitan.

"War, War, kowe kejungkel ana jurang apa? (War, War, kamu terjatuh ke jurang?)" tanya Untung.

"Kejungkel gundulmu, aku kena sasaran pelurumu," kata Wardoyo.

"Geli rasanya aku menyaksikan kedua pengawal itu berceloteh," kata Pranoto.

Baca juga: Pranoto dan Empat Jenderal yang "Dimatikan" Soeharto

Pranoto memeriksa kaki Wardoyo, benar saja peluru sten gun Untung menembus kulit sepatu dan kakinya. Pranoto dan Untung kemudian memapah Wardoyo yang pincang karena terluka. Sampai di markas batalion di Biting, Wardoyo mendapat perawatan dari perwira kesehatan, Letnan Sukiman.

Tiba-tiba telepon berdering dan diangkat oleh perwira bagian perhubungan. Dia melaporkannya kepada Pranoto bahwa istrinya telah melahirkan seorang putra pada pagi, 15 September 1947.

Malam itu juga, Pranoto yang suka cita karena kelahiran anak pertama, berangkat ke Yogyakarta. Dia membawa serta Wardoyo untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Militer di Magelang.

Dalam perjalanan dari Magelang, Pranoto melajukan mobil Chevrolet Super de Lux tahun 1945, dengan tenang dan memungkinkannya mencari nama yang pantas untuk anaknya. Dia pun teringat pada peristiwa menggelikan yang dilakukan anak buahnya pada petang hari tadi.

"Aku meminjam nama kedua pengawalku. Anakku kuberi nama Untung Wardoyo," kata Pranoto.

Istrinya, Soeprapti Poerwodisastro, melahirkan di Rumah Sakit Bethesda. Bayi laki-laki bernama Untung Wardoyo itu berambut kriting, hidung mancung, dan kulitnya kuning. Setelah istrinya selesai dirawat, Pranoto kembali ke markasnya di Biting untuk mempertahankan daerah Semarang barat.

Baca juga: Pranoto Berseteru dengan Soeharto

Buah hati Pranoto-Soeprapti itu berumur pendek. Sejak dalam kandungan, dia telah terpengaruh oleh kesehatan ibunya yang sakit-sakitan. Ketika lahir dia menjadi bayi yang kurang sehat, jantungnya lemah. Dr. Suwondo dan dr. Suharsono telah berusaha merawatnya. Namun, Tuhan mengambilnya.

Untung Wardoyo, bayi berumur 35 hari, meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih pada 21 Oktober 1947.

Enam bulan kemudian, Soeprapti kembali mengandung. Bahkan, sepanjang hidupnya, Pranoto-Soeprapti dikaruniai 12 anak.

Karier militer Pranoto sampai menjabat caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1965 dengan pangkat Mayor Jenderal. Namun, dia dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan dipenjara oleh Orde Baru selama 15 tahun (16 Februari 1966–16 Februari 1981).

Pranoto Reksosamodra meninggal di Jakarta pada 9 Juni 1992.

TAG

pranoto reksosamodra

ARTIKEL TERKAIT

Gunung Semeru, Gisius, dan Harem di Ranupane Peliharaan Kesayangan Hitler Itu Bernama Blondi Kisah Sabidin Bangsawan Palsu Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret