Pada 1947, Mayor Pranoto Reksosamodra diangkat menjadi komandan Resimen XXI Yogyakarta Divisi IX/Diponegoro yang membawahkan empat batalion. Dari daerah pertahanan Semarang Timur, dia dan pasukannya diperintahkan untuk mempertahankan pantai Laut Jawa. Di antara anak buahnya ternyata ada seorang pawang ular.
Pranoto meminta Kopral Karman itu untuk menunjukkan kebolehannya. Kopral Karman menyanggupinya. Pranoto dan anggotanya menyaksikan pertunjukan Kopral Karman.
Dengan perlengkapan berupa cobek dan bunga telon (mawar, melati, dan kenanga), Kopral Karman membakar menyan seraya merapal mantra. Lama juga menunggu, akhirnya seekor ular sawah sebesar ibu jari kaki orang dewasa, keluar menuju cobek yang berada di tengah. Setelah beberapa saat, ular berwarna keabu-abuan itu kemudian pergi. Pranoto dan anggota pasukan yang awalnya ragu akhirnya mengakui kemampuan Kopral Karman sebagai pawang ular.
Baca juga: Pranoto Berseteru dengan Soeharto
"Kopral Karman ternyata orang yang merawat ular sanca milik Bapak Panglima Besar Soedirman," kata Pranoto dalam memoarnya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
"Mendiang memang memelihara sepasang ular piton yang setiap hari dilepas demikian saja di halaman dan sesekali mengeliling gedung tempat kediaman Panglima Besar," kata Pranoto.
Keterangan Pranoto itu dilengkapi oleh Letjen TNI (Purn.) Tjokropranolo, mantan pengawal Jenderal Soedirman saat gerilya. Dalam memoarnya, Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Tjokropranolo menyebut Jenderal Soedirman mendapat ular itu dari Haji Iskandar Ulo.
"Haji Ulo dikenal oleh pasukan pengawal Panglima Soedirman, karena beliau pernah memberi beberapa ekor ular besar dan panjang jenis sanca kepada Pak Dirman (panjangnya 4 meter)," kata Tjokropranolo.
Baca juga: Soedirman Suka Main Sepakbola
"Ular-ular ini," lanjut Tjokropranolo, "sering dilepas di halaman rumah Panglima Besar sehingga semua orang yang akan menghadap Pak Dirman takut."
Menurut Harsono Tjokroaminoto, mantan penasihat politik Jenderal Soedirman, ular itu termasuk jenis yang tidak berbisa karenanya tidak berbahaya. Panjang ular itu kira-kira enam meter dan badannya cukup besar.
"Bagi para tamu yang mungkin baru pertama kali berkunjung ke kediaman beliau apabila melihat ular ini dengan sendirinya pasti akan terkejut," kata Harsono dalam Menelusuri Jejak Ayahku.
Baca juga: Jenderal Soedirman Menjadi Tawanan
Harsono menyebut kandang ular yang satu tidak diletakkan di bagian belakang, melainkan di halaman depan rumah. Kalau hari sudah malam barulah ular itu dimasukkan ke dalam kandangnya. Dengan sendirinya setiap orang yang lalu pasti akan melihat ular itu di dalam kandang pada malam hari.
"Sering pula saya menyaksikan bagaimana caranya memberi makan ular ini. Biasanya makanannya ayam atau itik. Hal ini sudah dianggap biasa," kata Harsono.
Setelah Jenderal Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk bergerilya, Harsono tidak mengetahui lagi bagaimana nasib ular-ular itu. Tetapi menurut kabar, ular-ular itu dikembalikan ke desa asal di mana Jenderal Soedirman menerimanya sebagai hadiah.
Kumpulan tulisan Hendri F. Isnaeni bisa dibaca di sini.