Masuk Daftar
My Getplus

Masa Kecil "Si Harimau" Tan Malaka

Bak harimau, Tan Malaka berjuang dalam kesendirian. Cerdas dan pemberani meski nakal, masa kanak-kanaknya akrab dengan hukuman.

Oleh: M.F. Mukthi | 22 Agt 2020
Tan Malaka semasa muda. (digitalcollections.universiteitleiden.nl).

Bak seekor harimau, "Bapak bangsa" Tan Malaka teguh berjalan seorang diri di hampir tiap jengkal jalan perjuangannya. Dia tak gentar meski harus menghadapi lawan yang jauh lebih besar ataupun lebih banyak. Seperti harimau, dia lebih banyak bersembunyi dalam penyamarannya sebelum melancarkan “serangan” mematikan.

Julukan harimau itulah yang diterima Tan ketika masih studi di Belanda. Julukan itu diberikan kakak-beradik indo yang satu kos dengan Tan di Bussum. Penjulukan itu diawali dengan perkelahian di antara keduanya. OS dan HS, kakak-beradik itu, kerap berbuat seenaknya. Pada malam kedua Tan di kos itu, OS tiba-tiba mencekiknya dengan tanpa sebab. Tak ada yang tahu apa tujuan OS melakukan hal itu selain dugaan ingin menunjukkan kuasa pada penghuni baru. Tan ingat, sambil mencekik, OS berkata sesumbar bahwa gerakannya itu merupakan silat kepiting Iep.

“Rupanya bukan secara main-main, sebab saya rasa leher saya tertekan dan susah untuk bernafas,” kata Tan dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara Jilid 1.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kisah Asmara Tan Malaka, Antara Petualangan dan Revolusi

Mengetahui perbuatan OS itu sungguhan, Tan pun melawan. OS kalah. “Untunglah saya mendapat sedikit pusaka tentang silat-kepiting itu. Yang kena sepit kepiting bukannya saya! Semenjak itu dia baik sekali terhadap saya,” kata Tan.

Selesai perkara dengan OS, Tan diganggu oleh HS, adik OS. Tan melawan bukan karena pernah diancam HS, melainkan karena HS tak pernah mengindahkan nasihat Tan agar tak mengulangi lagi menghina ibu kos. Maka begitu Tan mendengar ibu kosnya yang santun dihina HS untuk ketiga kali, Tan tak tinggal diam.

“Entah bagaimana jalannya saya meloncat dan dia terpelanting jatuh ke dinding. Semenjak itu di belakang saya dia menggelari saya ‘De Tijger’ (harimau, red.),” kata Tan.

Jauh setelah itu, ketika dalam pelarian di Hong Kong, Tan kembali “diselamatkan” oleh bekal silat yang dimilikinya. Saat itu dia yang sudah menjadi buron banyak negara, tertangkap oleh polisi Hong Kong. Begitu didapat oleh sang polisi, Tan langsung dipingit. Namun dia berhasil melepaskan pingitan itu dengan satu tendangan yang langsung menyasar bagian belakang lutut sang polisi.

Baca juga: Kala Tan Malaka Kemalingan di China

Meski hanya sedikit pelajaran silat yang didapat Tan semasa kanak-kanak, itu amat berguna buat pelariannya. “Eerste hulp bij Ongelukken (pertolongan pertama, red.),” kata Tan.

Tan kecil sebagaimana anak-anak Minangkabau pada umumnya dibekali pendidikan agama dan silat. Namun, Tan agaknya hanya menekuni silat sambil-lalu saja. Hari-harinya lebih banyak diisi dengan bermacam permainan bocah.

Tan kecil amat cerdas dan pemberani meski nakal. Dia pernah pingsan sampai hampir tewas terseret arus Sungai Ombilin ketika mencoba menyeberanginya dengan berenang. Beruntung salah seorang kawannya yang lebih besar berhasil menyelamatkannya. Meski tak jadi dicambuk rotan oleh ibunya, ulahnya itu membuat Tan harus rela dipermalukan di depan umum ketika menjalani hukuman dari ayahnya berupa diikat di pinggir jalan dengan mulut tersumpal kekang kuda.

Baca juga: Hikayat Tan Malaka, Sang Buronan Abadi

“Sesudah melihat saya dengan kekang kuda di mulut itu, dan banyak anak-anak berkerumun, ibu tidak merasa puas. Atas aduan ibu, maka Guru-Gadang (Guru Kepala, red.) itu menjalankan hukuman pada diri saya, hukuman yang dikenal oleh anak-anak di sana dengan nama pilin pusat (cabut pusar),” sambung Tan.

Alih-alih kapok, Tan tetap asik mengulangi semua permainan yang disukainya. Dia kembali harus menjalani hukuman pilin pusat setelah kedapatan mengajak anak-anak Engku ke gunung untuk melihat macan yang ditangkap penduduk. Pun ketika dia kembali hampir tewas ketika menyelam di bawah perahu yang menyeberangi Sungai Ombilin, atau setelah ibunya tak puas terhadap hukuman kurungan di kandang ayam setelah Tan kedapatan saling lempar batu dengan anak kampung lain.

“Sampai sekarang saya masih heran, kenapa saya saja yang menjadi sasaran pilin pusat itu,” kata Tan mempertanyakan perlakuan tak adil yang diterimanya.

Baca juga: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka

Namun, kejadian yang paling diingat Tan mengapa hanya dirinya yang harus menjalani hukuman pilin pusat sementara kawan-kawannya tidak, adalah ketika mereka main perang sembur di kali. Masing-masing anak harus menyemburkan air dari mulut ke wajah lawannya untuk menang. Merasa di atas angin karena semua kawannya telah lari meninggalkan gelanggang, Tan bersemangat terus menyemburkan air ke wajah satu kawannya yang tersisa sebagai lawan. Lawan itu pun kemudian lari. “Saya pikir perjuangan telah selesai, kemenangan akhir ada di pihak saya. Cuma heran, kenapa saya sendiri saja yang tinggal,” kata Tan.

Tanpa curiga, Tan kemudian naik ke tepi untuk mengambil pakaiannya. Saat itulah dia tahu jawaban dari mengapa semua teman-teman mainnya lari. “Apabila saya naik ke tepi untuk berpakaian, maka saya ditunggu oleh lima jarinya Guru-Gadang, buat menjalankan hukuman pilin pusat. Rupanya anak-anak lain sudah melihat Guru-Gadang menunggu di tepi sungai. Rupanya saya asyik berjuang membelakangi Guru Gadang itu.”

TAG

tan malaka

ARTIKEL TERKAIT

Ekstradisi dari Hong Kong? Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Kisah Mata Hari Merah yang Bikin Repot Amerika Hukuman Penculik Anak Gadis Pengawal Raja Charles Masuk KNIL Masa Kecil Sesepuh Potlot Cerita Tak Biasa Mata-mata Nazi Kriminalitas Kecil-kecilan Sekitar Serangan Umum 1 Maret Dokter Soetomo Dokter Gadungan Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib