Pada 21 Februari 1949 Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.”
Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”.
Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4. Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949.
Baca juga: Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden
Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.”
Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik.
Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.”
Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya.
Baca juga: Harry Poeze 40 Tahun Mencari Tan Malaka
Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.”
Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia.
Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek.
Baca juga: Tahun Terakhir Tan Malaka
Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya.
Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze.
Baca juga: Menjemput Tan Malaka Sang Pemimpin Adat
Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam. Namun, hingga hari ini hasilnya belum bisa dipastikan cocok 100 persen.
Tapi Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka. Dia berharap jenazah Tan Malaka bisa dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai wujud penghormatan kepada Tan Malaka.