Masuk Daftar
My Getplus

KSAD Bambang Sugeng Disetop Polisi

KSAD Bambang Sugeng dikenal sederhana dan taat aturan. Akibatnya, pernah disetop polisi lalu lintas.

Oleh: M.F. Mukthi | 25 Sep 2020
Bambang Sugeng saat di Tokyo. (Repro Panglima Bambang Sugeng).

Senja sudah merayap untuk memberi tempat pada sang malam. Sore di tahun 2016 itu, permakaman di tepi Sungai Progo sunyi. Tak ada penjaga apalagi protokoler njelimet untuk memasukinya. Sederhana untuk memasukinya, sesederhana permakaman itu.

Kesederhanaan, itulah yang selalu dijadikan prinsip hidup salah seorang penghuni makam itu, yakni Bambang Sugeng. KSAD ketiga dalam sejarah Indonesia itu merupakan panglima sederhana meski punya peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa. Dia berulangkali berpesan kepada kolega-koleganya agar kelak ketika meninggal tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Padahal, peran Bambang tak kecil. Saat Republik Indonesia diberitakan Belanda telah musnah usai Agresi Militer II, Bambang selaku panglima Divisi III/Jawa Tengah dan Yogyakarta bergerak cepat mengkounter pemberitaan miring itu dengan mengeluarkan Perintah Siasat No. 4/SD/Cop/I tanggal 1 Januari 1949. Perintah itu berisi agar komandan Wehrkreise I Moch. Bachroen, Wehrkreise II Sarbini, dan Wehrkreise III Soeharto mengadakan serangan serentak terhadap Belanda di Yogyakarta. Tujuan serangan, sebagaimana dikatakan TB Simatupang dalam memoar berjudul Laporan dari Banaran, “Dia mau membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan menjadikan kedudukan Belanda di kota tidak bertahan (onhoudbaar).”

Advertising
Advertising

Serangan yang kemudian dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret itu berhasil menarik perhatian dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis. Fakta itu ikut mempengaruhi jalannya diplomasi yang terus diperjuangkan diplomat-diplomat RI di dunia internasional dengan puncaknya pengakuan kedaulatan pada akhir 1949.

Peran sentral Bambang kembali terlihat saat menjabat KSAD. Ketika Angkatan Darat (AD) diancam perpecahan pasca-Peristiwa 17 Oktober 1952, Bambang  berinisiatif mengumpulkan para perwira AD dalam Konferensi Yogya (Februari 1955). Piagam Keutuhan AD yang dihasilkan konferensi tersebut berhasil mengatasi perpecahan AD.

Baca juga: Pengikat Angkatan Darat

Namun, peran penting tak pernah digunakan Bambang untuk membusungkan dada. Dia tetap hidup bersahaja sebagaimana tahun-tahun sebelum dia memegang jabatan-jabatan penting. Putra keduanya, Bambang Herulaskar, mengisahkan di tahun-tahun awal ketika Bambang Sugeng menjadi KSAD, sang ayah masih sempat meluangkan waktu untuk ikut bermain layang-layang di belakang rumah pada sore sepulang kerja. Mereka biasa bermain layang-layang atau kelereng bertiga dengan sopir Bambang Sugeng.

“Tak ada perbedaan anak, bapak, sopir, dan pembantu,” kata Heru dalam testimoninya, “Jangan Gunakan Nama Saya”, yang termuat dalam buku karya Edi Hartoto, Panglima Bambang Sugeng.  

Heru juga ingat betul ketaatan Bambang pada aturan. Bambang tak suka menyalahgunakan jabatannya untuk keuntungan pribadi atau keluarga. Itu dibuktikan antara lain saat Heru mengutarakan keinginannya melanjutkan pendidikan ke Jepang ketika Bambang menjadi duta besar Indonesia untuk Jepang. Alih-alih memberi privilege kepada Heru, Bambang yang berhasil menyelesaikan masalah pampasan perang dengan hasil berupa beasiswa pendidikan bagi putra-putri Indonesia di Jepang justru mewanti-wanti.

“Boleh-boleh saja kamu ke Jepang, tapi kamu harus usaha sendiri dan jangan sekali-kali memakai nama Bambang Sugeng untuk itu,” kata Bambang sebagaimana dikutip Heru.

Baca juga: Panglima Doyan Ngebut

Ketaatan Bambang pada aturan bahkan pernah membuatnya jadi pemberitaan saat mengunjungi Yogyakarta setelah menjadi KSAD. Saat itu, Bambang yang hobi bersepeda motor meminjam sepeda motor kepada kawannya yang pelukis. Dengan motor pinjaman itu Bambang berkeliling ke Malioboro menggunakan pakaian sipil. Saat di lampu merah perempatan Tugu yang sedang berwarna kuning, Bambang melambatkan laju motornya. Lantaran dia yakin sehabis lampu kuning lampu lalu lintas itu bakal menjadi lampu hijau, dia pun langsung menancap gas begitu pergantian lampu terjadi.

Sial. Lampu lalu lintas ternyata berganti merah setelah lampu kuning. Bambang yang terlanjur melajukan sepeda motornya langsung kena semprit polisi lalu lintas. Wejangan panjang langsung diberikan polisi itu kepada Bambang yang dilanjutkan dengan permintaan menunjukkan surat izin mengemudi. Bambang langsung mematuhinya dan polisi itu memeriksanya.

“Saat melihat identitas pelanggar, pak polisi kaget, rupanya yang diwejangi tadi adalah KSAD, langsung posisi siap hormat. Bapak berkata memang saya salah dan menerima pelajaran dari pak polisi, hal ini masuk berita di koran Yogya, keesokan harinya saya berkesempatan membacanya,” kata Heru.

TAG

bambang sugeng tni

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura Arief Amin Dua Kali Turun Pangkat Soeyono Apes Setelah Kudatuli Suluh Dumadi yang Membela Nasution Dianggap PKI, Marsudi Dibui Komandan AURI Pantang Kabur Menghadapi Pasukan Gaib KNIL Pakai Pendeta dan Ulama