Jakarta, 16 Januari 1962. Sejumlah tokoh nasional (Sutan Sjahrir, Sultan Hamid Alkadrie, Anak Agung Gde Agung, Mohamad Roem, Soebadio Sastosatomo dan Prawoto Mangkusasmito) ditangkap. Tuduhan yang membelit mereka: terlibat dalam komplotan yang merencanakan pembunuhan Presiden Sukarno.
Awalnya mereka ditahan di Mess CPM, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta. Tiga hari kemudian Sjahrir bersama tahanan-tahanan lainnya dipindahkan ke wilayah selatan Jakarta (Jalan Daha, Kebayoran Baru). Tepat tiga bulan setelah penangkapannya, dia dipindahkan lagi. Kali ini lebih jauh: ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun.
Di rumah tahanan yang terletak di Jalan Wilis itu mereka diperlakukan secara baik. Sjahrir dan Sultan Hamid masing-masing memiliki kamar yang lumayan besar. Anak Agung dan Soebadio menempati kamar besar lain. Sementara Roem ditempatkan satu kamar bersama Prawoto.
Baca juga: VOC di Balik Penangkapan Sjahrir cs.
Kehidupan di RTM berjalan normal saja (kecuali mereka tidak boleh keluar dan hanya dapat dikunjungi oleh sanak famili sebulan sekali). Untuk mengkoordinasi kebutuhan-kebutuhan mereka, diangkatlah Roem sebagai “Pak Lurah”.
“Selama dua bulan pertama, keamanan masih ketat. Sesudah itu tahanan boleh main tenis dan berenang di kolam renang umum yang disediakan untuk mereka beberapa jam dalam seminggu,” kenang Roem dalam Memoirs.
Untuk memelihara kestabilan tubuh, mereka melakukan gerak badan bersama setiap pagi. Awalnya olahraga dilakukan secara sendiri-sendiri namun salah seorang dari mereka kemudian mengusulkan Sultan Hamid sebagai pemandu.
Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
“Max (panggilan akrab Sultan Hamid) kau kan bekas perwira KNIL, bagaimana jika kau yang memimpin kami berolahraga setiap pagi?” kata salah seorang dari tahanan politik itu (Roem mengaku lupa siapa persisnya pengusul itu).
Sultan Hamid menyatakan sanggup. Sejak itu, setiap pagi dia melakukan tugasnya dengan penuh semangat. Begitu bersemangatnya, kata Roem, hingga dari hari ke hari, Sultan Hamid lebih persis bertindak sebagai instruktur militer dibanding pemandu gerak badan biasa.
“(Akhirnya) kami menyerah,” ujar Roem.
Baca juga: Jabatan Panglima APRA untuk Sultan Hamid II
Selain berenang dan tenis, mereka juga bermain scrabble, bridge dan bulutangkis. Begitu kawan-kawan mereka di luar mengetahui hal itu, maka pasokan kartu bridge, suttle cock, raket dan net seolah tak berhenti mengalir ke RTM Madiun. Sjahrir sendiri hanya main tenis dan berenang.
“Dengan gayanya sendiri: terapung di atas permukaan air selama sejam atau lebih…Seperti dipelajarinya tatkala dia dibuang (Belanda) ke Banda Neira,” ungkap Roem.
Namun kehidupan di RTM Madiun tidak selamanya harmonis. Ada saja bentrok kecil-kecilan di antara para tahanan. Seperti insiden yang dialami oleh Sutan Sjahrir dengan Sultan Hamid.
Ceritanya, pada suatu makan malam terjadi diskusi mengenai adat orang-orang Minangkabau di antara para tahanan politik itu. Terbahaslah bagaimana soal tradisi matriarkat yang menggantungkan keturunan berdasarkan garis perempuan. Bahwa dalam adat Minang, yang meminang bukanlah laki-laki tapi dari pihak perempuan.
“Ya orang laki-laki Minang itu seperti pemacak,” seloroh Sultan Hamid seperti diceritakan oleh Mohamad Roem dalam Mengenang Sjahrir (disunting oleh Rosihan Anwar).
Istilah pemacak mengacu kepada kata “pejantan” dalam dunia binatang. Itu merupakan hewan jantan yang tugasnya hanya “membuat” anak. Biasanya hewan jantan itu memiliki keistimewaan tersendiri, misalnya tubuhnya bagus, rupanya indah (biasanya dalam dunia kucing) atau bibitnya (spermanya) subur hingga menghasilkan keturunan banyak.
Baca juga: Lima Fakta Tentang Sultan Hamid II
Begitu kata-kata itu terlontar dari mulut Sultan Hamid, tetiba Sjahrir berdiri. Dengan tenang dan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia lantas meninggalkan meja makan. Jelas sekali Sjahrit tidak bisa menerima candaan dari koleganya itu. Situasi pun menjadi sangat buruk.
“Pak Lurah, ini harus lekas diselesaikan,” ujar Anak Agung. Roem sejenak terdiam.
“Marilah kita meneruskan makan kita dulu,” ujar Roem kemudian.
Selesai makan, Soebadio berdiri menuju kamar Sjahrir. Yang lainnya kemudian memandang Roem.
“Bagaimana, Pak Lurah?” tanya Anak Agung.
“Saya pikir-pikir dulu di kamar,” jawab Roem seraya berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Sultan Hamid mengikuti Roem dari belakang. Sesampai di dalam kamar Roem, terjadilah percakapan di antara mereka berdua.
“Saya tidak mengerti, mengapa Sjahrir tersinggung oleh ucapan saya. Saya sering mendengar dari orang lain apa yang saya katakan itu,” ungkap Sultan Hamid.
“Saya juga pernah mendengar apa yang kau katakan. Kalau itu kita pandang sebagai suatu lelucon, maka ia sudah sangat tua umurnya. Di rumah Haji Agus Salim, saya mendengar lelucon itu hampir saban hari. Saya mendengarnya langsung dari beliau sendiri ataupun dari orang lain,” tutur Roem.
“Nah! Apa bedanya?” seru Sultan Hamid.
“Bedanya, Haji Agus Salim seorang Minangkabau dan kau bukan. Sjahrir juga seorang Minang. Kita hendaknya mengerti, bahwa lelucon itu hanya monopoli orang Minang,” jawab Roem.
Baca juga: Akrobat Gagal Sultan Hamid II dan Westerling
Sultan Hamid mengangguk-anggukan kepala. Dia menunjukan pengertiannya.
“Lalu bagaimana pendapat Pak Lurah sendiri?” tanyanya kemudian.
“Hendaknya kau minta maaf saja. Saya yakin Sjahrir akan menerimanya.”
“Tapi saya tidak punya kesengajaan untuk melukai perasaan Sjahrir.”
“Kalau kita tanpa sengaja menginjak kaki orang lain dan ia berteriak karena kesakitan, kita juga minta maaf kan?”
Baca juga: Ketika Bung Sjahrir Pergi
Sultan Hamid setuju dengan usul Roem. Namun karena percakapan antara dia dengan Roem berlangsung lumayan lama, maka Sultan Hamid memutuskan akan minta maaf keesokan harinya saja.
“Jadi saya malam itu masih memiliki waktu bicara kepada Sjahrir,” kata Roem.
Pagi sekali, Sultan Hamid sudah masuk ke kamar Sjahrir. Tak lama kemudian, dia sudah keluar dengan wajah yang biasa. Roem dan kawan-kawan mengartikan itu sebagai pertanda bahwa suasana sudah baik kembali.