Selesai dengan urusan pendidikan di Kairo, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memutuskan pergi ke Baghdad. Dia merasa kecewa dengan sistem pendidikan di Mesir yang jauh dari bayangannya. Tak ada kebebasan studi seperti yang dicita-citakannya. Kiprah Gus Dur pun berakhir dengan kegagalan. Sampai akhirnya sebuah beasiswa studi di Universitas Baghdad menyelamatkannya.
Pada pertengahan 1966 Gus Dur tiba di Baghdad. Kota tersebut, kata Gus Dur sebagaimana diceritakan Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid, merupakan kota kosmopolitas yang penuh vitalitas, baik dalam bidang ilmu pengatahuan, seni, maupun sastra. Para pelajar Indonesia di sana merasa kebebasan untuk bertukar pikiran terbuka lebar tanpa batasan dan halangan.
Baca juga: Gus Dur dan Buku
Selama tiga tahun pertama kehidupannya sebagai mahasiswa Universitas Baghdad, Gus Dur tinggal seatap dengan sesama mahasiswa yang datang dari Indonesia. Bersama 19 orang kawannya itu, Gus Dur menyewa sebuah vila untuk kediamannya selama bermukim di ibu kota Irak tersebut. Tempat tinggal Gus Dur itu, kata Barton, cukup besar dan menyengkan untuk ukuran mahasiswa.
Mereka mengumpulkan iuran untuk membiayai segala kebutuhan rumah tangga dan sewa vila. Kebanyak mahasiswa, termasuk Gus Dur, tercatat sebagai penerima beasiswa. Namun mereka juga bekerja paro waktu untuk memenuhi kebutuhan tinggal di sana.
“Sebagai tempat tinggal mahasiswa, vila ini ditandai dengan suasana kebersamaan yang menyenangkan serta percakapan-percakapan yang hidup dan kebanyakan menarik,” tulis Barton.
Segala pekerjaan rumah di vila itu dikerjakan bersama-sama. Mulai dari bersih-bersih, memasak, hingga merapikan barang tidak mengandalkan asisten rumah tangga. Untuk tugas memasak setiap mahasiswa akan mendapat giliran setiap 20 hari sekali. Ketika tiba waktu Gus Dur, dia sudah pasti akan menyiapkan menu andalannya: kari kepala ikan.
Baca juga: Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Merupakan sebuah kebetulan hidangan itu bisa menjadi resep andalan Gus Dur. Suatu hari, ketika masih baru tinggal di Baghdad, Gus Dur melewati sebuah toko penjual ikan di dekat tempat tinggalnya. Dia memperhatikan bahwa orang Irak tidak memakan kepala ikan. Bagian tersebut dibuang begitu saja, atau diberikan untuk hewan.
Dia pun lalu mendatangi penjual ikan tersebut dan meminta 20 kepala ikan ukuran besar. Pemilik toko heran dengan permintaan yang baginya tidak masuk akal tersebut. “Untuk apa kepala ikan sebanyak itu?” tanyanya.
“Hmm, saya memlihara banyak anjing,” kata Gus Dur.
“Berapa banyak?” si penjual mulai mengerti situasi orang asing ini.
“Dua puluh ekor,” jawab Gus Dur sambil menahan tawa.
Sejak itu setiap 20 hari sekali Gus Dur akan mendatangi toko tersebut dan membawa pulang 20 kepala ikan berukuran besar. Dia tidak menerimanya secara gratis. Gus Dur selalu meninggalkan beberapa keping uang logam sebagai tanda membeli, walau nilainya sangat jauh ketimbang harga normal ikan yang dijual di sana. Setiba di rumah Gus Dur langsung mengolah kepala ikan tersebut. Diakui oleh teman-temannya bahwa kari kepala ikan buatan kawan dari Jombang ini sangat lezat.
Baca juga: Gus Dur dan Keberagaman
Menurut Barton walau Gus Dur senang bisa mengubah barang yang tidak terpakai dari sebuah toko menjadi hidangan yang digemari kawan-kawannya, bukan berarti itu didorong oleh keinginan untuk menghemat uang. Dia mempunyai cukup uang dari beasiswa dan upah bekerja, serta honorarium untuk setiap esai yang dibuatnya. Gus Dur melakukannya karena semata-mata gemar membuat kari kepala ikan.
Suatu ketika mahasiswa-mahasiswa ini menerima tamu resmi dari Indonesia. Pihak kedutaan kemudian mengusulkan agar kediaman Gus Dur dipakai untuk kegiatan jamuan makan. Mereka setuju dan segera membentuk kepanitian persiapan acara. Salah seorang teman Gus Dur mendapat tugas memasak. Dia ingin menghidangkan kari kepala ikan buatan Gus Dur, di samping menu olahan daging sapi dan kambing.
Temannya ini lalu pergi ke toko ikan yang biasa dikunjungi Gus Dur. Si penjual mengenali orang ini sebagai teman Gus Dur. Sambil tertawa dia memberi komentar: “Temanmu sangat aneh.”
“Kenapa?” tanya kawan Gus Dur itu keheranan.
Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur
“Ia memelihara banyak sekali anjing. Bayangkan, 20 anjing!” kata si penjual yang kembali terkekeh.
Tanpa berkomentar apapun mahasiswa ini kembali pulang. Sampai di rumah, dia langsung mencari Gus Dur. “Sampai hati kau samakan kami dengan anjing?” katanya menumpahkan kemarahannya kepada sang pemilik resep kari kepala ikan itu.