3 Februari 1942: Serangan Jepang
SEBUAH kereta api tergelincir. Penyebabnya, pesawat-pesawat tempur Jepang menjatuhkan bom ke wilayah Surabaya. Sasaran utamanya adalah markas besar Angkatan Perang Belanda dan gedung radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) di Embong, Malang. Pelabuhan Surabaya juga jadi sasaran, yang menyebabkan seluruh buruh pelabuhan meninggalkan pekerjaan.
Inilah awal serangan udara Jepang terhadap sasaran-sasaran di Jawa setelah sebelumnya merebut Tarakan (Kalimantan), Balikpapan, Pontianak, dan Samarinda. Pertempuran terjadi di laut antara armada Jepang melawan armada milik Belanda, Amerika, Inggris, dan Australia. Kemenangan Jepang memudahkan pasukannya untuk mendarat di Pulau Jawa.
Baca juga: Kejahatan Perang dalam Revolusi Kemerdekaan Indonesia
November 1945: Potret Revolusi di Jawa
PARA pemuda, berbekal bambu runcing dan hanya sebagian kecil yang mempersenjatai diri dengan senapan sitaan tentara Jepang, berkumpul dan siap bergerak untuk mempertahankan kemerdekaan. Foto ini, salah satu dari sekian foto yang diambil juru potret majalah LIFE, Johnny Florea, selama dua bulan meliput di Jawa pada November-Desember 1945.
Menurut Florea, revolusi di Jawa menyeret situasi kekerasan. Ratusan lelaki Belanda diculik, ditahan, atau dibunuh. Ratusan ribu Belanda dan Indo, yang ditahan Jepang selama empat tahun, menjadi tahanan orang-orang Indonesia. Bentrokan senjata menghilangkan orang atau nyawa ratusan pasukan Inggris. Orang-orang Jawa, tentu saja, kehilangan beberapa kali lebih banyak dalam melawan pasukan Sekutu itu yang didukung persenjataan canggih.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
23-27 Juli 1947: Mengungsi Karena Agresi
SEBUAH keluarga dengan dua anaknya yang masih kecil diangkut dalam keranjang, di jalan antara Sumedang dan Bandung. Mereka akan mengungsi karena Belanda melancarkan agresi militer Belanda pertama kepada Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat pada awal puasa Ramadan 1366 Hijriyah.
Belanda berhasil menduduki Jawa Barat, Jawa Tengah, –Yogyakarta, Surakarta dan Kedu di luar tujuan operasi–, sebagian Jawa Timur –Bojonegoro, Madiun dan Kediri dalam kekuasaan Republik. Belanda juga menguasai Pantai Timur Sumatera, Pantai Barat Sumatera, dan Palembang.
Dengan demikian, daerah-daerah perusahaan perkebunan, tambang, batubara, dan ladang minyak telah kembali ke tangan Belanda. Produksi barang perdagangan terpenting Hindia Belanda (minyak, karet, teh, kopra, dan gula) dapat dimulai lagi. Hindia Belanda kembali mendatangkan uang. Situasi finansial Belanda yang gawat pun berakhir.
Dalam agresi militer ini, Belanda kehilangan 76 tentara tewas dan 206 luka-luka. Korban pihak Indonesia tidak diketahui pasti, tapi ditaksir sekira 10.000 orang tewas.
Baca juga: Tragedi Dakota dalam Hari Bakti Angkatan Udara
29 Juli 1947: Tragedi Dakota
Pesawat Dakota VT-CLA, dengan logo Palang Merah di badan pesawat, yang bertolak dari Singapura dengan membawa obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya, ditembak jatuh pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda di Desa Ngoto, Yogyakarta, sebelum mendarat di Pangkalan Udara Maguwo.
Tragedi itu menewaskan Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara Abdulrahman Saleh, dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo. Ketiganya diabadikan menjadi nama bandara udara: Adisucipto di Yogyakarta, Abdulrahman Saleh di Malang, dan Adisumarmo di Solo. Tanggal 29 Juli kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti TNI AU.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
17 Januari 1948: Perjanjian Renville
SETELAH sebelumnya sepakat melakukan gencatan senjata, di atas kapal USS Renville yang berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, delegasi Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Renville.
Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, sementara delegasi Belanda dipimpin Abdulkadir Widjojoatmodjo, orang Indonesia yang memihak Belanda. Penandatanganan disaksikan Frank Graham, wakil Amerika Serikat dalam Komisi Tiga Negara (KTN).
Perjanjian Renville merugikan Indonesia karena wilayahnya kian sempit. Sementara Letnan Gubernur Jenderal Van Mook terus mendorong pembentukan negara-negara federal untuk merealisasikan Republik Indonesia Serikat (RIS). Sesuai perjanjian tersebut, Republik Indonesia juga akan menjadi bagian dari RIS. Perjanjian Renville membuat Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh.*