Peran Australia dalam Perundingan Renville
Australia berkeinginan kuat melindungi kepentingan Indonesia, tapi harus menghadapi Belanda, Belgia, dan Amerika Serikat.
Bulan Oktober 1947 menjadi awal pengalaman baru bagi Richard C. Kirby dari Australia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Mereka anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang terbentuk atas prakarsa Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menyelesaikan konflik bersenjata Indonesia dan Belanda.
Ketiganya mengadakan serangkaian pertemuan maraton di berbagai tempat: dari Lake Success (AS), Sydney (Australia), sampai Jakarta (Indonesia). Ketiganya berupaya merumuskan wewenang KTN dan cara-cara paling efektif untuk meredam pertumpahan darah pejuang Republik dengan tentara Belanda.
Australia tampak paling getol mendorong Dewan Keamanan PBB agar segera memfungsikan KTN atau disebut juga Good Office Committee (GOC). Mereka paling cepat dalam mempersiapkan laporan tentang keadaan Indonesia setelah Agresi Militer I selama Juli–Agustus 1947.
“Australia sangat berkepentingan dengan Indonesia setelah Agresi Militer Belanda pertama. Mereka menilai Indonesia bisa menjadi partner strategis bagi posisi Australia di antara negara Asia lainnya,” kata Harry Dharmawan, pengkaji sejarah hubungan Indonesia-Australia sekaligus kandidat doktor Hubungan Internasional Universitas Padjajaran.
Tapi kepentingan Australia terhadap Indonesia pun harus berkesesuaian dengan situasi politik dalam negeri Australia dan kepentingannya terhadap negara lain. Misalnya, Australia justru menerima tujuan Agresi Militer Belanda sepanjang untuk membuat keadaan Indonesia lebih stabil.
“Australia mengakui tujuan yang dinyatakan Belanda itu bisa diterima, melihat ketidakstabilan kondisi di Indonesia,” ungkap Margaret George dalam Australia dan Revolusi di Indonesia.
Menyangkut dukungan Australia terhadap Indonesia, Richard Kirby berkali-kali meminta agar para delegasi Indonesia tak meragukannya. Dia mengatakan sedang mengupayakan segala kemungkinan agar kepentingan Indonesia tercapai melalui perundingan KTN.
Kirby juga menjelaskan KTN merupakan peluang Indonesia untuk menghindari kerugian lebih banyak dari konflik bersenjata dengan Belanda. Kepada pemerintah Indonesia, dia mengatakan KTN sebenarnya tak mengikat Indonesia atau Belanda. Kecuali jika kedua belah pihak meminta KTN mengajukan usul tentang urusan penting tertentu dan kedua belah pihak telah menyatakan bahwa usul tersebut akan mengikat.
Pertemuan-pertemuan di sepanjang Oktober lebih banyak membahas wewenang, fungsi, dan posisi KTN di antara dua negara. Dewan Keamanan PBB mewanti-wanti bahwa keberadaan Australia dan Belgia dalam KTN bukanlah pendukung dua negara bersengketa. “Mereka harus bertindak sebagai wakil Dewan Keamanan, dan bukan wakil negara pemilih mereka,” sebut Margaret George.
Memasuki akhir Oktober, KTN mencoba membuka pembicaraan tentang gencatan senjata. Tapi itu tak mudah. Sebab pertemuan KTN, Indonesia, dan Belanda selama Oktober kadangkala memanas. Bahkan menyangkut tempat pertemuan setelahnya.
“Delegasi Belanda dan Republik tidak bisa mencapai kesepakatan tentang tempat yang akan digunakan untuk perundingan,” catat Margaret George. Belanda menginginkan pertemuan di Indonesia. Tapi Indonesia menolaknya.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
Australia mengusulkan agar Amerika Serikat menyediakan tempat pertemuan di suatu kapal. AS bersedia menyiapkan tempat itu di kapal bernama USS Renville. Di tempat inilah Indonesia, Belanda, dan KTN menggelar pertemuan sejak November.
Selama pertemuan itu, Australia dan Belgia menunjukkan dukungannya secara terbuka kepada masing-masing negara bersengketa. Australia kepada Indonesia, sedangkan Belgia condong ke Belanda.
AS bahkan menuduh Australia memanfaatkan KTN untuk menghajar Belanda. Ini terlihat dari usulan Kirby yang banyak merugikan Belanda. Antara lain garis demarkasi bagi Belanda dan Republik selama gencatan senjata.
Usul Kirby ini akan membawa konsekuensi penarikan pasukan Belanda dari wilayah-wilayah yang telah dikuasainya selama masa Agresi Militer I. Karena itulah, AS menolak usulan Kirby. Saat itu, AS masih meragukan klaim Australia yang menyebut Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.
Selama pertemuan itu pun, AS tak mempermasalahkan sikap Belanda yang mengabaikan pengakuan terhadap Indonesia sebagai negara berdaulat. Belanda enggan menggunakan kata delegasi untuk menyebut anggota-anggota pertemuan dari kedua negara. Mereka juga menggunakan orang Indonesia bernama Raden Abdoelkadir Widjojoatmodjo sebagai pemimpin pertemuan dari Belanda.
“Ini untuk menjelaskan bahwa persoalan-persoalan Indonesia adalah urusan dalam negeri,” tulis Ide Anak Agung Gede Agung dalam Renville.
Sebaliknya, Australia mengusulkan agar Belanda memberikan kedaulatan kepada Indonesia dan memberikan hak-hak perjanjian dagang Indonesia dengan negara lain. Belanda, Belgia, dan AS menolak mentah usulan itu.
Baca juga: Politisi Australia Sahabat Indonesia
Sebagai balasan atas usul Australia yang sangat memihak itu, Belanda berupaya mempercepat pembentukan Negara Indonesia Serikat pada Desember 1947. Perdana Menteri Belanda, Louis J.M. Beel, mengatakan, kalau pembentukan itu tak segera terlaksana, Belanda akan kembali mengagresi Indonesia.
Mengetahui ini, Menteri Luar Negeri Australia, H.V. Evatt, mengundang Beel ke Australia untuk membicarakan kondisi di Indonesia dan perkembangan tugas KTN. Tapi Beel tak menanggapi undangan itu.
Sementara itu, di berbagai wilayah Indonesia, pertempuran terus berlangsung. Korban luka dan tewas berjatuhan. Kerja KTN terganggu karena Belanda terlihat mengulur-ngulur waktu untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata. Belanda menginginkan Indonesia mengakui Garis van Mook, yaitu sebuah garis imajiner yang membagi wilayah Belanda dan Indonesia.
Kirby tahu Indonesia tak mungkin mengakui Garis van Mook. Tapi jika Indonesia bersikeras seperti itu, gencatan senjata pun tak akan terlaksana dan Indonesia akan mendapat kerugian yang lebih besar. Karena itu, dia memohon agar Indonesia menerima kemauan Belanda itu.
Sebagai timbal baliknya, Kirby menawarkan tiga poin kepada Indonesia. “Usulan itu pembentukan daerah demiliterisasi sejauh 10 kilometer, pemeliharaan hukum dan ketertiban oleh polisi sipil di bawah pengawasan KTN, dan pengosongan kantong perlawanan RI di garis dermakasi, juga di bawah pengawasan KTN,” tulis Alastair Taylor dalam Indonesia Independence and the United Nations.
Lebih jauh lagi, setelah Indonesia bersedia menerima syarat gencatan senjata, Australia mengusulkan prinsip penyelesaian masalah politik Indonesia dan Belanda berlandaskan pada Perjanjian Linggarjati.
Prinsip itu berbunyi “Sebuah negara berdaulat atas dasar federal, yang memiliki sebuah konstitusi yang disusun melalui proses demokratis dan sebuah uni antara Republik Indonesia Serikat dengan wilayah Kerajaan Belanda lainnya di bawah Mahkota Belanda.”
Baca juga: Pesan Damai di Hari Natal
Kali ini, AS dan Belgia menerima bulat usulan Australia. Mereka menyampaikan pesan ini kepada Belanda dan Indonesia menjelang hari Natal 1947. Pesan ini sohor disebut Pesan Natal. Tapi Belanda lagi-lagi menolak usulan prakarsa Australia ini. Mereka menganggap KTN bertindak melebihi wewenangnya dalam memberikan jasa baik.
Belanda mengajukan usulan tandingan sebanyak 18 poin. Enam di antaranya berasal dari inisiasi AS. Usulan itu antara lain menyebut Belanda berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai pembentukan Negara Indonesia Serikat (NIS) terlaksana. RI sendiri direncanakan akan masuk dalam pembentukan itu.
Kirby melihat usulan ini sangat merugikan Indonesia. Tapi dia tak bisa menyarankan Indonesia untuk mengabaikan usulan ini. Selain itu, Departemen Luar Negeri Australia condong menerima poin-poin tersebut.
Mohammad Roem, salah satu wakil Republik, menanyakan bagaimana status RI sebelum pembentukan NIS. Dia tak mendapat jawaban memuaskan dari anggota KTN dan Belanda.
Kirby menyatakan bahwa Australia akan tetap mendukung Indonesia apapun keputusannya. Indonesia tak punya pilihan lain dan menerima poin-poin tersebut. Penandatanganan pun dilakukan pada 17 Januari 1948. Kesepatakan itu dikenal dengan nama Perjanjian Renville.
Berbeda dari Perjanjian Linggarjati yang kurang pengaruh internasionalnya, Perjanjian Renville melibatkan campur tangan pihak internasional secara lebih mendalam. Australia berkeinginan kuat melindungi kepentingan Indonesia. Tapi pada akhirnya mereka harus mengalah dari Belanda, Belgia, dan AS.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar