Masuk Daftar
My Getplus

Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin

Sukarno punya gagasan berbobot tentang ekonomi. Tapi dianggap kurang mahir mengatasi persoalan ekonomi.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 09 Jun 2020
Sukarno berpidato di depan massa. (Koleksi Idayu).

“Tentang ekonomi aku tidak mengerti apa-apa.” Itu kata-kata Sukarno kepada Prof. Jan Tinbergen dari Belanda. Tinbergen beberapa kali bertandang ke Indonesia untuk memberikan saran kepada pejabat bidang ekonomi. Suatu hari dia bertemu Sukarno saat ekonomi Indonesia terlilit inflasi pada 1960-an.

Prof. Tinbergen memperingatkan Sukarno tentang bahaya inflasi. Kian hari, kian besar pula angkanya. Tapi Sukarno membalas pendek saja. Dia tak mengeluarkan solusi untuk masalah itu “Bangsa yang besar harus terbiasa dengan angka-angka yang besar,” kata Sukarno.   

Kisah tadi diungkap oleh Frans Seda, mantan Menteri Perkebunan 1963—1964, dalam “Bung Karno dan Sistem Ekonomi Nasional”. Dua jawaban Sukarno itu seolah menunjukkan bahwa dia tak punya kemampuan berbicara tentang ekonomi. Tapi sesungguhnya tidak seperti itu.

Advertising
Advertising

“Pengetahuan Bung Karno tentang ekonomi seperti yang terbaca dalam tulisan-tulisan, pidato-pidato, pledoi baik dalam polemik masyarakat maupun di depan pengadilan kolonial adalah berbobot,” catat Frans Seda.

Gagasan besar Sukarno tentang ekonomi ialah Ekonomi Terpimpin. Menurut Amiruddin al-Rahab, penulis buku Ekonomi Berdikari Sukarno, konsep ekonomi terpimpin bisa terdapat di negara sosialis atau liberalis. Konsep itu bisa berbeda satu sama lain. Bergantung pada kondisi, pengalaman historis, dan pandangan hidup masyarakat dimana konsep itu muncul.

Khasnya Ekonomi Terpimpin

Secara ringkas, Ekonomi Terpimpin meletakkan negara sebagai pelaku utama produksi, distribusi, konsumsi, dan akumulasi modal. Ekonomi Terpimpin juga menyaratkan adanya perencanaan ekonomi.

Ekonomi Terpimpin versi Sukarno mempunyai sejumlah kekhasan. Ekonomi Terpimpin Sukarno lebih populer disebut sosialisme a la Indonesia. “Ia bersendikan pada kepribadian Indonesia. Kepribadian Indonesia itu adalah gotong royong yang merupakan hasil dari perahan sila-sila Pancasila yang dijalankan secara musyawarah dan mufakat untuk mencapai kesejahteraan bersama,” kata Amirudin kepada Historia.

Kekhasan lain Ekonomi Terpimpin berupa semangat anti-imperialisme dan anti-feodalisme. Sukarno menginginkan Ekonomi Terpimpin menjadi sistem ekonomi nasional untuk menggantikan ekonomi kolonial. Selama berabad-abad, ekonomi kolonial bercokol di Indonesia dan menenggelamkan kehidupan puluhan juta rakyat Indonesia.

Baca juga: Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia

Ekonomi kolonial bercorak kapitalistik dengan penumpukan modal swasta di sektor perkebunan. Tenaga kerja perkebunan dibayar murah demi melanggengkan ekonomi kolonial.

Kekuatan ekonomi kolonial bergantung pada pasar ekspor. Sistem ekonomi ini terus mewaris ke masa Indonesia merdeka. Ia selalu mengait pada pasang dan surutnya pasar dunia. Ekonomi Indonesia tak pernah bisa mandiri dan teguh.

Keluar dari Masalah

Ekonomi indonesia menjelang akhir dekade 1950-an tenggelam oleh beragam tekanan. Dari merenggangnya hubungan pusat dan daerah, peredaran uang terlalu banyak, kemunculan uang palsu, kekurangan barang, kenaikan harga barang, kemerosotan ekspor perkebunan, korupsi, perdagangan gelap, sampai beban utang Belanda yang ditimpakan ke Indonesia.

Laporan Bank Indonesia sepanjang 1952—1959 menunjukkan defisit anggaran Indonesia semakin besar tiap tahunnya. Pertambahan penduduk tinggi, tapi pendapatan ril negara terus merosot.

Modal dalam negeri Indonesia seret. Sementara modal asing hanya terpusat pada bidang industri berat seperti tambang dan minyak. Bukan pada bidang tumpuan ekonomi Indonesia, pertanian dan perkebunan.

Baca juga: Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh

Sukarno melihat ekonomi Indonesia telah melenceng dari rel revolusi 1945. Berbagai tekanan ekonomi muncul lantaran kesalahan Kabinet Parlementer memilih konsep pembangunan ekonomi.

Sukarno telah mengajukan Ekonomi Terpimpin sejak 1956 sebelum beragam tekanan itu muncul. Dia sering mengkritik keras sistem demokrasi parlementer-liberal multipartai di Indonesia beserta produk turunannya, termasuk praktek ekonomi liberal.

Sukarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin untuk mengubur sistem demokrasi liberal. Menurutnya, perpecahan masyarakat, termasuk potensi ekonomi, terjadi karena sistem liberal multipartai. Perpecahan menyebabkan roda ekonomi mandeg.

Baca juga: Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS

“Kita terpecah-belah! Dan terpecah-belah bukan hanya oleh rasa suku, bukan oleh rasa kedaerahan. Ada penyakit yang yang kadang-kadang bahkan lebih hebat daripada rasa suku dan rasa daerah! Yaitu penyakit apa? Penyakit kepartaian saudara-saudara!” Kata Sukarno dalam pidato di Kongres Persatuan Guru, 30 Oktober 1956 seperti dikutip Herbert Feith dan Lance Castles dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945—1965.

Tiga tahun setelah pidato itu, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. UUD 1945 berlaku kembali. Tak ada tempat lagi bagi demokrasi parlementer dan penopangnya. Mereka semua terkubur dan melapangkan jalan Sukarno untuk membangun Demokrasi Terpimpin beserta perekonomiannya.

Langkah Konkret

Sukarno berpidato kembali untuk menegaskan tujuan gagasan Ekonomi Terpimpin. “Menuju masyarakat yang adil dan makmur, atau dengan lain perkataan, masyarakat sosialis a la Indonesia,” kata Sukarno di hadapan anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas), 28 Agustus 1959.

Sukarno melanjutkan, tujuan Ekonomi Terpimpin hanya dapat tercapai lewat kerja keras semua unsur rakyat. Dia mengingatkan sosialisme Indonesia tak jatuh dari langit begitu saja.

Kemudian Sukarno mulai menjabarkan langkah-langkah penerapan Ekonomi Terpimpin. Dia menganggap penting adanya perencanaan atau pola pembangunan. Tugas itu berada di tangan Depernas.

Baca juga: Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF

Depernas menyusun pola pembangunan bertahap dengan nama Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Jangka waktunya delapan tahun: tiga tahun untuk riset, lima tahun untuk penerapan.

Pola pembangunan itu menitikberatkan peningkatan produksi pangan dan industri pendukung agraria seperti pupuk, kimia, dan baja. Sukarno bilang pertanian adalah dasar, sedangkan industri menjadi tulang punggungnya. Modalnya sebisa mungkin berasal dari kekayaan alam Indonesia. Rakyat tak akan dibebankan penarikan pajak.

Thee Kian Wie, pakar ekonomi Indonesia, menyebut pola pembangunan itu ambisius dan tidak realistis. Begitu dia tulis dalam “Krisis Ekonomi di Indonesia Pada Pertengahan 1960-an dan Akhir 1990-an : Suatu Perbandingan”, termuat di Dari Krisis ke Krisis.

Dalam pola pembangunan Depernas, modal dari luar negeri diterima sebagai salah satu sumber pembangunan selama berbentuk bagi hasil dan pinjaman tidak mengikat. Jika modal asing berupa investasi permanen di bidang pertanian dan industri, Sukarno menolaknya.

Baca juga: Sikap Sukarno Terhadap Utang IMF

Nasionalisasi perusahaan asing menjadi langkah wajib berikutnya dalam mewujudkan tujuan Ekonomi Terpimpin. Sukarno memandang perusahaan asing sudah terlalu lama mendominasi jalur produksi dan distribusi barang, baik ke luar maupun ke dalam. Sukarno bermaksud menebas monopoli itu dengan nasionalisasi.

Setelah nasionalisasi, perusahaan-perusahaan itu akan dipegang secara kolektif oleh para manajer profesional dan kalangan buruh. Sukarno menganggap penting keterlibatan buruh dalam Ekonomi Terpimpin.

“Ikut sertakan seluruh pekerja dalam memikul tanggung jawab dalam produksi dan alat-alat produksi. Jangan ndoro-ndoroan! Pengikutsertaan ini akan melancarkan dan memperbesar hasil produksi.” kata sukarno pada 17 agustus 1961.

Baca juga: Utang IMF antara Stabilisasi dan Intervensi

Kepada para petani, Sukarno menjanjikan landreform atau reformasi agraria berupa pemerataan kepemilikan tanah. “Landreform juga harus dijalankan. Karena akan melancarkan dan memperbesar hasil produksi juga,” tambah Sukarno. Melalui reformasi agraria, Sukarno yakin daya beli petani meningkat. Peningkatan daya beli pada gilirannya akan menggerakkan roda perekonomian.

Dari langkah-langkah turunan Ekonomi Terpimpin itu, terlihat bahwa Ekonomi Terpimpin bukan hanya pemecahan masalah ekonomi, tetapi juga ideologi dan politik dalam pembangunan. Keberhasilan Ekonomi Terpimpin bergantung dari kepaduan semua unsur rakyat: partai politik, pekerja, petani, dan swasta.

Keruntuhan Ekonomi Terpimpin

Selama dua tahun berjalan, penerapan Ekonomi Terpimpin tak mulus. Depernas gagal mengeksekusi rencana di bidang pertanian dan industri pendukungnya. Perhatian pemerintah tersedot ke pengembalian Irian Barat.

Konfrontasi dengan Malaysia turut menjauhkan Indonesia dari tujuan Ekonomi Terpimpin. Pembiayaan terbesar pemerintah mengalir ke bidang keamanan dan mobilisasi massa ganyang Malaysia.

Pemerintah mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada 26 Mei 1963 untuk memperbaiki keadaan. Dekon berisi program alokasi ulang dana dari bidang keamanan untuk bidang pertanian dan industri. Tapi A.H. Nasution, pemimpin militer Angkatan Darat (AD), menolaknya.

Baca juga: Saat Indonesia Memilih Keluar dari IMF

Militer berhasil menumpas pergolakan daerah pada pengujung 1950-an. Keberhasilan ini menempatkan militer pada penguasaan sumber-sumber ekonomi daerah. Militer jadi punya daya tawar kuat untuk berkata tidak pada Sukarno. Militer juga mampu menolak gagasan landreform Sukarno yang didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)

Memasuki 1964, Ekonomi Terpimpin tidak bisa berjalan lagi. Polarisasi politik antara militer dan PKI kian kuat. Militer mengkoordinasi kelompok-kelompok anti-Sukarno. Jumlahnya cukup besar.

Kelompok anti-Sukarno mengkritik keras gagasan Ekonomi Terpimpin. Mereka menuding Ekonomi Terpimpin Sukarno sebagai biang kerok kemorosotan ekonomi. Mereka giat menawarkan alternatif dan penafsiran lain tentang Ekonomi Terpimpin.

Baca juga: Ekonomi Berdikari ala Sukarno

Orang-orang dalam Kabinet Sukarno juga tak pernah bisa sejalan. Kabinet silih berganti hingga lima kali. “Ini berarti secara politik Sukarno tidak berhasil menciptakan pemerintahan yang stabil dalam menjalankan program-programnya,” ungkap Amiruddin.

Perpecahan demi perpecahan politik menghambat penerapan Ekonomi Terpimpin. Padahal kesatuan unsur rakyat benar-benar dibutuhkan dalam mencapai tujuan Ekonomi Terpimpin.

Tekanan terhadap Ekonomi Terpimpin terus datang. Kali ini dari luar negeri. Amerika Serikat dan Inggris menarik sejumlah bantuan dan modalnya dari Indonesia. Bentuk balasan mereka atas politik konfrontasi Indonesia dengan Malaysia. Dampaknya Indonesia kehilangan salah satu sumber pembangunan. Produksi pun ikut lenyap.

Baca juga: Krisis Ekonomi Masa Sukarno

Ekonomi Terpimpin berada di ujung tanduk. “Sosialisme a la sukarno mendapat banyak tantangan. Dari pikiran alternatif, penafsiran berbeda, dan gejolak bersenjata,” kata Amiruddin.

Dalam situasi seperti itu, Thee Kian Wie mencatat Sukarno enggan meminta nasehat dari para ahli ekonomi Indonesia guna mengatasi persoalan-persoalan ekonomi negara.

Frans Seda jelas benar mengatakan bahwa Sukarno mempunyai gagasan berbobot tentang ekonomi. Tapi bagi Thee, Sukarno tak mampu mengatasi persoalan ekonomi.

Ekonomi Terpimpin Sukarno akhirnya tutup riwayat pada 1965. Kekuasaan politik Sukarno jatuh. Ekonomi Terpimpin ikut runtuh,

TAG

sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Rencana Menghabisi Sukarno di Berastagi Supersemar Supersamar Yang Tersisa dari Saksi Bisu Romusha di Bayah Kemaritiman Era Sukarno Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower D.I. Pandjaitan Dimarahi Bung Karno Anak Presiden Main Band Pengawal-pengawal Terakhir Sukarno*