Masuk Daftar
My Getplus

Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh

Menutup ruang terhadap modal asing, Sukarno lantas terguling. Upayanya menuju ekonomi berdikari dikebiri.

Oleh: Martin Sitompul | 09 Des 2016
Presiden Sukarno dan diplomas Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, 1965. Foto: Perpusnas RI.

Di depan Istana Merdeka, 17 Agustus 1965, Presiden Sukarno memperkenalkan konsep baru untuk sistem perekonomian Indonesia:

“Berdikari dalam ekonomi! Apa yang lebih kokoh daripada ini, saudara-saudara,” demikian ujarnya.

Di tengah situasi politik yang memanas sehubungan konfrontasi Ganyang Malaysia, Sukarno tak luput menyoroti lesunya kondisi perekonomian. Dengan tegas, Sukarno menolak modal asing dan ekonomi berbasis kapital karena hanya akan memperkaya tuan tanah, lintah darat, dan tukang ijon, alih-alih memakmurkan rakyat banyak. Oleh karenanya, dia mendambakan perekonomian Indonesia yang mandiri. Upaya perhitungan juga dialamatkan kepada Amerika Serikat (AS) yang memberikan bantuan ekonomi kepada federasi Malaysia.

Advertising
Advertising

“Aku sudah sangat sabar, sudah kutunjukkan kesabaran seorang bapak, tetapi kesabaranku ada batasnya, apalagi kesabaran rakyat! Hanya dengan mengatasi kemacetan inilah kita bisa menterapkan asas Berdikari dalam ekonomi,” kata Sukarno dalam pidato berjudul “Capailah Bintang-bintang di Langit.”

“Pada awal tahun ini,” lanjut Sukarno, “rakyat Indonesia –yang membela hak-haknya dari serangan-serangan Amerika Serikat yang memberikan active aid kepada neokolonialisme Malaysia– mengambil alih modal Amerika Serikat. Ini merupakan langkah penting bagi RI, yang dengan asas berdikari sedang menegakkan perekonomian nasionalnya sendiri.”

Sukarno membuktikan ucapannya. Seminggu kemudian, 23 Agustus 1965, dia menandatangani UU No. 16 tahun 1965 tentang Pencabutan UU No. 78 tahun 1958 tentang Penanaman Modal Asing. Sebelumnya pada Maret 1965, pemerintah telah mengumumkan pengambilalihan National Cash Register Company, salah satu investor tertua Amerika di Indonesia. Sejurus kemudian, dekrit yang memerintahkan pengambilalihan manajemen semua perusahaan asing di Indonesia dikeluarkan. Untuk menyokong revolusi dan ekonomi terpimpin, bank-bank terintegrasi ke dalam satu komando bank tunggal bernama Bank Berdjoang-Bank Tunggal.

“Penanaman/operasi modal asing menurut sifatnya tidak lain daripada menghisap kekayaan dari negara Republik Indonesia dan menjalankan penghisapan manusia atas manusia, dan karena itu membawa bencana bagi Rakyat Indonesia,” demikian penjelasan UU Nomor 16 mengutip Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 78.

Pemerintah AS merespons. Diplomat kawakan, Ellsworth Bunker –yang pernah memediasi sengketa Irian Barat– diutus menemui Sukarno. Bunker mengemban misi ganda: meredakan ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia sekaligus menjaga kepentingan AS di Indonesia. Hasil laporan Bunker ke Gedung Putih menyatakan bahwa hubungan AS-Indonesia kemungkinan besar tidak membaik dalam waktu dekat.

Berdasarkan penelusuran arsip NSF (National Security Files), kepada Presiden Lyndon Johnson, Bunker berpendapat, AS seharusnya bermain jangka panjang dan mempertahankan kontak dengan elemen-elemen yang memiliki kekuatan, seperti militer. “Bunker berpihak pada posisi CIA (Dinas Intelijen AS) yang lebih menghendaki kudeta militer di Indonesia sebagai cara terbaik mewujudkan kepentingan AS,” tulis sejarawan Univeritas Maryland, Bradley Simpsons dalam Economist with Guns.

Pada 1 Oktober 1965, suhu politik dalam negeri mendidih. Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengakibatkan kondisi perekonomian Indonesia merosot drastis. Dalam bulan-bulan berikutnya, harga kebutuhan pokok meningkat. Nilai tukar rupiah merosot.

Menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah melalui Penpres No. 27, 13 Desember 1965, menerbitkan kebijakan moneter baru. Mata uang Rp1000 lama menjadi Rp1 mata uang baru. Dalam Perjuangan Mendirikan Bank Sentral Republik Indonesia yang ditulis tim riset Bank Indonesia, pada praktiknya, tujuan dari kebijakan ini tak tercapai. Penggantian mata uang 1000 lama menjadi 1 mata uang baru, justru mendorong meningkatnya inflasi sampai mencapai 635 persen yang diikuti oleh semakin melambungnya harga-harga kebutuhan pokok. Keadaan carut ekonomi kemudian mendorong gelombang demonstrasi masyarakat menentang kepemimpinan Sukarno.

“Uang Rp1000 nilainya jatuh jadi seperak. Dalam hitungan lima minggu, Sukarno dijatuhkan,” ujar pengamat politik ekonomi, Ichsanuddin Noorsy dalam “Ekspose Inventaris Arsip Bank Indonesia (1956-1957) 1960-1964, di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), 31 November 2016.

Ketika pemerintahan berganti, menurut Ichsanuddin, inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan. Pemerintahan Soeharto dengan lobi-lobi tim ahli ekonominya yang dijuluki Mafia Barkeley, lantas membuka diri terhadap investasi modal asing di Indonesia. Ekonomi Indonesia cenderung berkiblat ke Barat yang berbasis kapitalis.

Pada paruh kedua tahun 1967, 250 pebisnis AS, Jepang, Australia, dan Eropa Barat bertemu dengan para pebisnis Indonesia dan sejumlah pejabat Indonesia di Jakarta. Agenda rezim Soeharto menarik modal asing dirancang dalam pertemuan itu. Untuk pertama kalinya, komunitas bisnis Amerika dan komunitas bisnis Indonesia bertemu dengan para petinggi pemerintah. Setahun berselang, UU penanaman modal asing di Indonesia diresmikan. (Baca: Melacak Jejak Silam Freeport Mengeksploitasi Bumi Papua)

Dengan gelontoran modal luar negeri, stabilitas ekonomi dan pembangunan berjalan beriringan dengan pemerintahan otoriter Orde Baru. Geliat rezim “ekonom bersenjata” ini terjaga selama tiga dekade. (Baca: Ekonom Bersenjata)

“Seperti di negara-negara lain, kepentingan ekonomi dan strategis Washington melampaui segala retorika tentang praktik demokratis,” tulis Simpsons. “Karena CIA menolak mendeklasifikasi dokumen-dokumen operasionalnya untuk Indonesia, kita hanya bisa berspekulasi tentang luasnya operasi rahasia pada tahun 1964 dan 1965.”

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Sponsor Jersey Timnas Indonesia dari Masa ke Masa Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Roland Garros Pahlawan di Udara Mendarat di Arena Tenis Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan