Masuk Daftar
My Getplus

Layar Belum Terkembang

Benarkah nenek moyang kita seorang pelaut? Ketidaktahuan terhadap masa lalu membuat kita sulit membedakan fakta dan mitos.

Oleh: M.F. Mukthi | 08 Jun 2017
Judul: Nasionalisme, Laut, dan Sejarah | Penulis: Susanto Zuhdi | Penerbit: Komunitas Bambu | Terbit: Desember 2014 | Tebal: xvi+ 582 hlm | Foto: sampul buku.

Angin ribut, petir, dan badai menerjang wilayah kerajaan Mataram. Pohon-pohon tumbang. Di laut selatan, ombak menggunung. Fenomena alam tak biasa itu membuat Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan terkejut. Dia berdiri di tepi laut untuk mencari tahu penyebabnya. Dia mendapati Panembahan Senapati sedang bersemedi. Kepada sang raja Mataram itu dia memohon.

“Wahai Sang Raja, lenyapkan huru-hara yang membuat laut selatan bergolak. Segala isi laut ini Tuanlah pemiliknya. Jin dan parayangan tunduk pada segala kehendak Tuan, manusia sakti,” kata Roro Kidul sebagaimana dimuat Babad Tanah Jawi.

Susanto Zuhdi, guru besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengutip kisah dalam babad tersebut untuk menunjukkan salah salah satu penyebab ketertinggalan masyarakat pesisir selatan Jawa dibanding masyarakat pesisir utara dalam bidang maritim.

Advertising
Advertising

Mitos tentang Nyi Roro Kidul dipercaya masyarakat Jawa Tengah, khususnya Yogya, hingga kini. Dalam anggapan mereka, Roro Kidul sosok jahat dan menakutkan. Mereka juga percaya Roro Kidul pernah minta raja Mataram agar memerintahkan rakyatnya tak mengeksploitasi laut selatan. Kepercayaan itu mereka takut melaut dan mengabaikan laut. Kendati punya tradisi nelayan, mereka tetap tak meninggalkan basis agrarisnya.

Tradisi nelayan sendiri di Yogya baru muncul pada 1980-an. “Adalah nelayan dari Cilacap yang mengajari penduduk Baron, pantai selatan Kabupaten Gunung Kidul, menangkap ikan, menggantikan tradisi sebelumnya sebagai petani ladang,” tulis Zuhdi.

Selain kepercayaan mistis, konsep konsentris yang dianut penguasa Mataram ikut andil sebagai penyebab ketertinggalan. Dengan orientasi ke darat (pertanian), laut tak lagi penting untuk diperhatikan.

Pandangan itu terus diyakini dan berjalan melewati berbagai masa, hingga kini. Bahkan cakupannya terus meluas. Negara ikut berperan dengan mengarahkan orientasi pembangunan ke darat. Perhatian pemerintah lebih besar kepada petani ketimbang nelayan. Potensi laut yang sangat kaya terabaikan. Kampung nelayan dan penduduknya menampakkan wajah ketertinggalan, kekumuhan, dan kemiskinan. Budaya maritim, yang diwariskan etnis-etnis di berbagai tempat, hanya jadi pelengkap narasi sejarah bangsa. Dan pameo “nenek moyangku seorang pelaut” yang diyakini hingga kini seolah hanya ornamen tanpa makna.

Memecah Mitos

Orientasi ke darat itu ikut pula merambah ke ranah keilmuan, khususnya sejarah. Sejarah Indonesia minim pembahasan mengenai dunia maritim.

Ilmuwan macam Adrian Lapian, yang giat menggali aspek dunia maritim kita di masa lalu, memiliki peran penting. Dia mengumpulkan fakta-fakta sejarah maritim, mengkritisi, dan menganalisisnya. Dari tangannya pula lahir sejarawan-sejarawan penerus, termasuk penulis buku ini, yang terus menggali fakta-fakta sejarah maritim.

Analisis para sejarawan maritim penting bagi penilaian kritis kita terhadap masa lalu dunia maritim. Ketidaktahuan terhadap masa lalu membuat kita kesulitan membedakan fakta dan mitos. Contoh kecil, kita tak pernah tahu kapan dan bagaimana tradisi maritim masyarakat Bugis bermula.

Sejumlah sejarawan, juga masyarakat Sulawesi Selatan, umumnya meyakini Bugis adalah bangsa pelaut. Padahal menurut Susanto Zuhdi, mengutip Christian Pelras, etnolog asal Prancis yang bertahun-tahun melakukan penelitian tentang Sulawesi Selatan dan menerbitkan buku Manusia Bugis, orang Bugis mulanya petani. Aktivitas maritim mereka baru mulai berkembang pada abad ke-18, setelah jatuhnya Makassar ke tangan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) pada 1669. Perubahan orientasi itu memperlihatkan kemampuan orang Bugis menjawab tantangan zaman. Ketika kekacauan politik dan ketidakamanan melanda wilayah mereka, banyak orang Bugis memutuskan bermigrasi ke wilayah barat. Kemampuan dan penguasaan teknologi pelayaran orang Bugis terus berkembang sejak itu. Mereka berlayar dan singgah di banyak pelabuhan di Nusantara, bahkan menyeberangi Samudera Hindia hingga ke Madagaskar.

Hal-hal kecil namun vital lain yang menurut Zuhdi patut dikritisi adalah penggunaan konsep “pulau terluar”. Konsep ini mempengaruhi psikis dan alam bawah sadar kita. “Pulau terluar” memberi kesan pulau-pulau tersebut jauh dari jangkauan, sulit dicapai, dan boros biaya untuk diperhatikan. Implikasinya, kita cenderung memberikan perhatian dan penanganan secukupnya saja. Wilayah-wilayah itu tetap miskin. Beberapa di antaranya lepas atau terancam lepas dari genggaman karena klaim negara lain. Semestinya, menurut Zuhdi, kita menyebutnya “pulau terdepan”.

Pengetahuan sejarah yang komprehensif seyogyanya menjadi kerangka pemahaman nasionalisme kita. Dengan pengetahuan yang lengkap, kita akan terhindar dari perbuatan picik –yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah tatanan dunia yang terus berubah. Meski belum memberikan banyak perhatian terhadap dunia maritim, para pendiri bangsa tak melupakan jati diri kita sebagai bangsa bahari. Frasa “tanah-air” atau Deklarasi Djuanda yang menyatakan Indonesia adalah negara kepulauan merupakan contoh nyata perhatian itu.

Tanpa Tali Pengikat

Buku ini merupakan kumpulan tulisan Susanto Zuhdi yang tersebar di berbagai media maupun naskah akademik. Tentu saja kita tak akan menemukan pemikiran yang utuh. Tiap tulisan dalam buku ini “berbicara” sendiri-sendiri tanpa benang merah yang mengikatnya.

Aktivitas laut di wilayah timur Indonesia mendapat tempat lebih banyak, seperti suku laut Bajo, Bugis, dan terutama kesultanan Buton. Maklum saja, Zuhdi membahas soal Buton dalam disertasinya yang berjudul “Labu Rope Labu Wana: Sejarah Butun Abad XVII-XVIII”. Maka, judul Nasionalisme, Laut, dan Sejarah hanyalah penyebutan topik-topik di dalam buku ini, bukan tali pengikat yang menyatukan dan membawa beragam tulisan di dalamnya ke suatu tujuan.

Hal lain yang juga mengganggu, banyak kesalahan kecil dalam buku, dari paragraf yang terbalik di halaman 63 hingga salah ketik di hampir setiap halaman.

Toh beberapa kekurangan itu tak mengurangi pentingnya buku ini. Ia hadir di saat yang tepat; ketika ketidaktahuan bangsa kita terhadap dunia maritim begitu memprihatinkan, bangsa Indonesia seperti kehilangan pijakan untuk melangkah, dan di saat pemerintahan baru berniat membenahi sektor maritim. Tulisan-tulisan dalam buku ini memberikan banyak hal penting, dari yang umum hingga yang renik.

[pages]

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Ibu dan Kakek Jenifer Jill Tur di Kawasan Menteng Daripada Soeharto, Ramadhan Pilih Anak Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Pieter Sambo Om Ferdy Sambo