Pemerintah berencana mengimpor beras 1-1,5 juta ton pada 2021. Beras impor ini untuk mencukupi cadangan beras pemerintah. Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi menyatakan cadangan beras pemerintah di Bulog terendah dalam sejarah. Tapi rencana ini mendapat tentangan dari dalam dan luar pemerintah.
Impor beras telah menjadi polemik sejak Indonesia merdeka. Impor beras menunjukkan “ironi bagi Indonesia, sebab negeri ini memiliki segala potensi untuk meningkatkan produksi beras,” tulis Dawam Rahardjo dalam “Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia”, Prisma, No 5, 1993.
Semenjak merdeka, Indonesia berupaya menjaga kedaulatan pangannya lewat pemenuhan kebutuhan beras. Saat itu kebijakan beras selalu identik dengan kebijakan pangan. Keseriusan pemerintah tampak dalam pembentukan Menteri Negara Urusan Pangan pada November 1947 atau Kabinet Amir Sjarifuddin II.
Selama masa itu, ancaman bagi Indonesia bukan saja dari bedil tentara Belanda, tapi juga dari kekurangan pangan. “Masalah yang serius sebagai akibat gangguan perang terhadap kegiatan produksi pertanian. Menteri Urusan Pangan mengemban tugas mengatasi masalah pangan ini,” lanjut Dawam.
Baca juga: Ketahanan Pangan Masyarakat Jawa Kuno
I.J. Kasimo, Menteri Kemakmuran sekaligus Menteri Persediaan Makan Rakyat dalam Kabinet Hatta I (1948) menetapkan program swasembada beras untuk menjamin kebutuhan pangan rakyat. Alasan lain, devisa Indonesia masih terlalu rendah. Membeli beras impor bisa menyedot sebagian besar devisa Indonesia.
Kasimo menargetkan swasembada tercapai sebelum 1956. Program itu akan ditopang oleh penyuluhan cara-cara bertani yang lebih baik. Program itu berhasil menambah produksi beras pada 1950–1953. “Ternyata bahwa tambahnya produksi tidak saja dapat mengimbangi tambahnya penduduk akan tetapi bahkan melebihinya,” catat Almanak Pertanian 1954.
Tapi pertambahan produksi beras belum menutup kebutuhan beras Indonesia. Di perdesaan, harga beras ternyata kelewat tinggi bagi kebanyakan orang. Padahal di desalah beras diproduksi. Keganjilan ini mendorong Wakil Presiden Mohammad Hatta menulis artikel “Politik Harga Beras Bagi Kemakmuran Rakjat” termuat dalam Beberapa Fasal Ekonomi terbitan 1954.
Baca juga: Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India
Untuk menurunkan harga beras agar terjangkau oleh orang banyak, pemerintah terpaksa mengimpor beras. Tapi kebijakan ini mendapat sorotan dari dalam internal pemerintah sendiri. Presiden De Javasche Bank Sjafruddin Prawiranegara heran terhadap kebijakan tersebut.
Menurut Sjafruddin, pada masa kolonial, pemerintah sanggup menghasilkan beras begitu banyak. “Sehingga sejak tahun 1940 Indonesia praktis self-supporting dalam soal beras, meskipun tiap tahun penduduknya bertambah,” tulis Sjafruddin dalam “Herorientasi di Lapangan Pembangunan Ekonomi”, Suara Partai Masjumi, April 1952.
Sjafruddin melanjutkan, tetapi sejak kemerdekaan, Indonesia justru harus mengimpor beras. Tiap tahun impor itu tak berkurang. Malahan terus bertambah. “Keadaan itu tak dapat kita biarkan, kalau kita tidak ingin hanyut dalam penderitaan dan kemiskinan di masa datang,” tulis Sjafruddin.
Baca juga: Karena Beras Pelabuhan Banyuwangi Dibom Belanda
Sjafruddin tak sepenuhnya benar. Menurut catatan Almanak Pertanian 1954, impor beras pada 1952 mencapai 600 ribu ton. Tapi turun menjadi 300 ribu ton pada 1953. Data Tim penulis Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-Butir Beras juga menyatakan impor beras menurun pada 1953, 1954, dan 1955. Kemudian naik lagi pada 1956 dan turun lagi pada 1957.
Impor beras selama periode 1950–1952 dilakukan oleh Kian Guan Concern melalui penunjukan oleh Yayasan Bahan Makanan (Bama) –pendahulu Bulog. “Bama menetapkan kwantum, kwalitas, shipping schedule, dan negara asal beras, sedang penunjukan eksportir/supplier di luar negeri dilakukan oleh Kian Guan Concern,” tulis tim penulis Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-Butir Beras.
Baca juga: Alkisah Beras Sintetis dari Zaman Orde Baru
Lisensi tunggal kepada Kian Guan Concern berubah ketika Bama menunjuk konsorsium Thai Grain Syndicate untuk menangani pembelian beras dari Muanghtai (nama lama Thailand). Konsorsium ini terdiri atas Gabungan Pedagang-Pedagang Beras, orang-orang Indonesia yang bermukim di Bangkok (ibu kota Muangthai), dan Kian Guan.
Kebijakan impor beras berubah lagi pada 1956. Kali ini, seiring perkembangan perusahaan-perusahaan nasional dalam bidang impor, pemerintah membuka tender impor beras dan membentuk Panitia Tender Beras Impor.
“Panitia mengadakan penilaian dan menetapkan pemenang tender berdasarkan persyaratan yang paling cocok, baik mengenai kwalitas, harga, waktu penyerahan maupun komisi yang diminta,” catat tim penulis Seperempat Abad Bergulat dengan Butir-Butir Beras. Masing-masing perusahaan berupaya membangun jaringan di beberapa negara pengimpor beras demi memenangi tender itu.
Baca juga: Impor Beras Burma Sebabkan Wabah Pes di Jawa
Negara pengekspor beras selama periode 1950–1957 antara lain Amerika Serikat, Brazil, Burma (Myanmar), Italia, Muangthai, Portugal, Spanyol, Taiwan, dan Vietnam Selatan. Burma dan Muangthai tercatat sebagai negara pengimpor beras terbesar untuk Indonesia.
Meski pemerintah terus mengimpor beras tiap tahun, kekurangan pasokan beras kerap terjadi. Tak jarang pula harga beras naik. Pernah pada November 1958, pemerintah justru menaikkan harga beras impor untuk injeksi. Beras injeksi adalah beras yang dilempar ke pasar dengan jumlah yang lebih banyak sehingga harga beras dapat turun.
Penaikan harga beras impor untuk injeksi itu langsung disambut protes keras dari berbagai kalangan. “Di DPR Jakarta Raya dan di Parlemen RI diajukan mosi ‘penggugatan’ terhadap keputusan pemerintah itu. Mosi itu didukung oleh orang-orang dari semua partai-partai posisi dan bukan oposisi,” catat Frans Seda dalam Penabur, 10 November 1958.
Baca juga: Sukarno dan Gerakan Makan Jagung
Karena impor beras tak menutup kekurangan pasokan beras dan menyelesaikan perkara seputar ketahanan pangan, pemerintah kembali menggiatkan program Padi Sentra untuk swasembada. “Suatu program yang gagal,” sebut L.A. Mears dan S. Moeljono dalam “Kebijaksanaan Pangan” termuat dalam Ekonomi Orde Baru.
Impor beras tetap tinggi memasuki dekade 1960-an. “Selama awal tahun 60-an, lebih dari 1 juta ton beras diimpor setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri,” lanjut Mears dan Moeljono.
Presiden Sukarno menyadari tingginya angka impor beras dan ketergantungan rakyat pada beras. Karena itu, dia berupaya mencari cara lain untuk memperbaiki masalah ini. Caranya dengan penganekaragaman pangan. Antara lain dengan memperkenalkan jagung, sagu, dan ketela sebagai makanan pokok. Tapi program ini tak bertahan lama seiring melemahnya pemerintahan Sukarno.