Masuk Daftar
My Getplus

Nasi dalam Centhini

Bukan semata sebagai sumber karbohidrat, nasi memiliki posisi dan cerita tersendiri di masyarakat Jawa. Sebagaimana digambarkan Serat Centhini.

Oleh: Sulistiani | 30 Sep 2022
Sajian nasi (Historia/Fernando Randy)

Diet mengurangi konsumsi nasi sedang tren belakangan ini. Banyak yang meyakini, mengurangi karbohidrat dari nasi membuat tubuh semakin sehat. Ahli Gizi UGM Rahadyana Muslichah mengatakan bahwa pemenuhan kebutuhan karbohidrat saat diet tidak hanya bisa didapat dari nasi putih saja.

“Variasikan dengan bahan pangan lain seperti singkong, ubi, atau beras merah yang mengandung serat,” kata Rahadyanan, dilansir dari berita ugm.ac.id, 11 Januari 2022.

Pada 2012, Pemerintah Kota Depok bahkan mengeluarkan peraturan, SK wali kota Depok No. 010/27-um, yang menganjurkan warganya tidak mengonsumsi nasi setiap hari Selasa. Melalui  program ber-tagline “One Day No Rice”, warga Depok diharapkan mencari alternatif makanan mengandung karbohidrat seperti umbi-umbian. Konon, peraturan itu terinspirasi dari kesuksesan program serupa di Korea Selatan.

Advertising
Advertising

Baca juga: Sehidup Semati Bersama Nasi

Bukan perkara mudah, memang, menghilangkan kebiasaan makan nasi di negeri ini. Nasi sudah lama menjadi makanan utama masyarakat Indonesia. Bahkan, sampai ada anggapan di masyarkat bahwa seseorang yang belum makan nasi maka dianggap belum makan. 

Banyak catatan kuno “mengabadikan” tentang nasi dan segala macam yang menyertainya, semisal Prasasti Paradah (943 M) dan Prasasti Panggumulan (902 M). Akan tetapi Serat Centhini yang datang jauh setelah itu menunjukkan keunikan yang dimiliki nasi. Nasi, menurut serat tersebut, tidak hanya didapat dari beras olahan biji padi. Sekul /sega, istilah yang digunakan Centhini untuk nasi, saat itu juga dapat dibuat dari olahan jagung. Jenis-jenisnya dapat berupa gaga (beras merah), beras biasa, ketan, dan jagung.

Berbagai jenis beras. (freepik.com).

Selain menginformasikan bahan dasar nasi, Centhini juga menyebutkan cara pengolahan nasi, yang antara lain berupa nasi liwet. Ada dua cara membuat nasi liwet, menurut serat Centhini. Pertama, menggunakan kendhil (periuk kecil) dan cara kedua, menggunakan dandang. Penggunaan kedua jenis alat masak itu berangkat dari jumlah nasi yang diperlukan. Kendhil dipilih bila jumlah nasi yang diperlukan sedikit, sementara dandang digunakan bila keperluannya banyak. Seberapa banyak orang Jawa memasak nasi, biasanya ditentukan dari keperluannya.

Saat itu, nasi masih umum dijadikan jamuan istimewa tuan rumah kepada para tamunya, bukan barang konsumsi harian seperti kini. Hal itu bisa dilihat antara lain dari pupuh 56 Centhini, yang mengisahkan sebuah kunjungan yang dilakukan Raden Jayangresmi (Syeh Amongraga), buyut dari Sunan Giri sepuh.

“Usai perjalanan panjang, Raden Jayangresmi bersama Gatak-Gatuk sampai di Bogor, kemudian makanan yang disajikan adalah nasi liwet dengan lauk berbagai masakan yang dibuat dari bahan dasar ikan tambra,” kata Centhini.

Baca juga: Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu

Centhini juga menyebutkan fungsi lain nasi sebagai medium manusia untuk bersedekah. Hal ini digambarkan oleh tokoh utama dalam karya sastra Serat Centhini, Syeh Amongraga dan Niken Tembanglaras.

“Sepeninggalan Syeh Amongraga, setiap hari Jumat, Senin, dan Kamis Kliwon, Niken Tembanglaras selalu memberikan sedekah.”

Sedekah yang dilakukan Tembangraras berbeda-beda. Ada yang diniatkan untuk memuliakan para nabi, atau kemuliaan wali, dan ada pula yang untuk memuliakan leluhur.

Untuk memuliakan para nabi, hidangan yang disedekahkan berupa nasi langgi dengan lauk ayam dan lalapan cabai yang sudah dicuci bersih. Adapun untuk memuliakan wali, terdiri dari beras (belum dimasak), nasi golong, pecel ayam, jangan (sayur) menir, beraneka macam ikan, serta macam-macam lalaban. Kemudian saat memuliakan leluhur, sajiannya berupa nasi langgi, jangan pindhang merah putih, nasi tumpeng, nasi golong, nasi liwet, nasi megana, daging burung, ikan laut, ikan air tawar, bermacam-macam sayuran, bermacam-macam buah, dan jajanan pasar.

Baca juga: Sajian dari Beragam Pasar Kuliner

Tingginya “status” yang dimiliki nasi di masyarakat menjadikannya lebih umum digunakan sebagai suguhan untuk para tamu dalam acara-acara khusus besar maupun kecil. Mulai dari syukuran dan ruwatan anak hingga pernikahan atau upacara tradisional.

“Untuk keperluan acara ruwatan dengan pertunjukan wayang, disajikan nasi tumpeng sembilan jenis yaitu: tumpeng tutul, tumpeng lugas, tumpeng kendhit, tumpeng yang pucuknya diberi cabai merah, tumpeng megana dengan sayuran, tumpeng megana dengan lauk ayam, tumpeng rajeg, tumpeng berpuncak telur, dan tumpeng sembur,” kata Timbul Haryono dalam “Serat Centhini sebagai Sumber Informasi Jenis Makanan Tradisional Masa Lampau”, termuat di Jurnal Humaniora edisi Juni-Agustus 2008.

Umumnya, orang yang akan mengadakan hajatan mengumpulkan beras dalam jumlah banyak. Seringkali beras itu dikumpulkan sedikit demi sedikit dalam rentang waktu yang panjang. Penanganannya pun tidak sembarangan.

Baca juga: Rias Pengantin ala Serat Centhini

“Oleh karena itu beras ditempatkan di suatu ruangan tertentu (gedhong beras) dilengkapi sesaji,” kata Wahjudi Pantja Sunjata dalam buku Kuliner dalam Serat Centhini.

Selain beras, tempat-tempat yang berkaitan dengan makanan juga perlu diberi sesaji, seperti sesaji pawon (dapur), gedhong ulam (alas makan), dan gedhong sekul (tempat nasi). Ini harus dilakukan sebelum memasang janur kuning yang dipasang di kanan-kiri gapura orang yang memiliki hajat (tarub).

Kuliner-kuliner yang disebutkan di Serat Centhini masih sering ditemukan pada masa kini meskipun tidak sepenuhnya hadir saat ritual dan perayaan. Akan tetapi, nasi tetap berada di posisi utama dalam dunia grastonomi Jawa.

TAG

kuliner beras nasi

ARTIKEL TERKAIT

Cerita di Balik Keriuk Keripik Kentang Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto Dari Manggulai hingga Marandang Ranah Rantau Rumah Makan Padang Peristiwa PRRI Membuat Rumah Makan Padang Ada di Mana-mana Diaspora Resep Naga Kompak Unjuk Aksi Solidaritas HAM di Podium Olimpiade Menyongsong Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi Menteri Nadiem: Masih Banyak Benda Bersejarah Indonesia yang Belum Dikembalikan Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan