“Tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” begitu bunyi kelakar yang tak asing lagi terdengar dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Lewat candaannya itu, dia mengimbau masyarakat untuk mengonsumsi ikan.
Ikan menjadi makanan favorit sejak dulu kala. Sebagaimana disebut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin, kekayaan ikan di Kepulauan Nusantara membuat kagum para penjelajah asing. Marcopolo misalnya. Pelaut asal Italia itu sempat menginjakkan kaki di tanah Sumatra pada akhir abad ke-13. “Ikan di kawasan Asia Tenggara merupakan yang terbaik di dunia,” kata Marcopolo.
Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi ke Nusantara pada abad ke-15 M sempat menggerutu langka dan mahalnya beras, daging, maupun sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara. Namun, ikan murah dan melimpah di mana-mana.
Jauh sebelum kedatangan mereka, data dari masa kerajaan-kerajaan kuno sudah membuktikan banyaknya ragam ikan yang dikonsumsi masyarakat kuno. Arkeolog Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa menyebut orang-orang pada masa itu telah memanfaatkan ikan tawar dan laut untuk dikonsumsi.
Baca juga: Santapan aneh para raja
Ikan tawar, seperti kepiting (hayuyu), udang sungai (hurang), sejenis ikan (wagalan, kawan-kawan, dlag). Ikan laut adalah kepiting laut (gtam), cumi (hnus), kerang-kerangan (iwan knas), sejenis ikan laut (kadiwas, layar-layar, prang, tangiri, rumahan, slar). Ada pula beberapa jenis ikan yang tidak diketahui habitatnya, yaitu bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari.
Sumber prasasti juga menyebutkan beberapa jenis ikan yang diawetkan dalam bentuk dendeng (deng) atau rasa asin (asin-asin) sebelum dikonsumsi. Kedua jenis itu, baik ikan segar maupun yang telah dikeringkan, menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar.
Data prasasti menggambarkan sajian dari ikan selalu ada dalam upacara penetapan sima. Keterangan itu ditemukan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 M), Panggumulan (824 Saka/902 M), Sangguran (850 Saka/928 M), Paradah (865 Saka/943 M), dan Rukam (829 Saka/907 M).
Pada prasasti-prasasti itu tertulis asin asin dain kakap (ikan asin kakap), kadiwas, bilunglung, hala hala, layar layar , dan kawan. Hewan air lainnya dijumpai dengan istilah hurang (udang).
Untuk ikan yang diasinkan atau dikeringkan istilahnya grih (ikan asin) atau gêreh dalam bahasa Jawa) dan ḍeŋ/ḍaiŋ (dendeng/ikan yang dikeringkan).
Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti ada dua macam dendeng yaitu ikan yang dikeringkan dengan rasa asin atau rasa tawar.
“Demikianlah mereka semua menambah kepada daun mereka, lalu menyantap jenis-jenis makanan, nasi matiman menumpuk ikan yang diasinkan, seperti dendeng kakap, dendeng bawal, ikan asin kembung (ikan peda?), ikan layar atau pari, udang, hala hala, dan telur,” sebut Prasasti Panggumulan.
Baca juga: Inilah makanan orang Jawa kuno
Dalam Prasasti Rukam (829 Saka/907 M), disebutkan jenis makanan yang dihidangkan di antaranya adalah nasi paripurna timan? berlimpah-
Kata Titi, dari jenis hidangan yang disajikan pada upacara penetapan sima terdapat juga jenis makanan yang umum dijadikan konsumsi sehari-hari, yaitu ikan asin.
“Sampai saat ini pun ikan asin masih umum dikonsumsi sebagai salah satu jenis lauk pauk sehari-hari di pedesaan,” jelas Titi.
Baca juga: Balada ikan asin dari zaman Jawa kuno
Pada sebuah panil di relief Candi Borobudur tergambar beberapa menu dari ikan. Pertama, empat ikan belut yang disajikan dalam posisi melingkar. Kedua, tiga ekor ikan yang cukup besar, disajikan utuh, kepala, tubuh, hingga ekor. Ketiga, dua tusuk potongan tubuh ikan yang dirangkai dengan tusuk bambu persegi memanjang.
Baca juga: Nasi sejak dulu kala
“Hal ini memgingatkan kita kepada pepatah Jawa ‘kutuk marani sunduk’. Kemungkinan lain adalah semacam sate daging ikan yang dihaluskan dan dibumbui, kemudian dipanggang, yang kini disebut dengan ‘brengkes ikan’,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang.
Lalu ada juga dua kepiting atau yuyu dan empat ekor ikan. Kedua jenis masakan itu, masing-masing nampak hanya bagian atasnya, sepasang sapit dan kepala ikan.
“Boleh jadi itu lantaran makanan ini berkuah, bagian tengah dan bawahnya terendam kuah,” kata Dwi.