SEJAK era Hindia Belanda, Karawang kadung dikenal sebagai salah satu lumbung padi terbesar di Pulau Jawa. Menurut sejarawan Aiko Kurasawa, predikat itu tersemat hingga akhir1980-an. Sejak itulah, masyarakat di sana mulai pindah profesi menjadi buruh pabrik.
“Dulunya (Karawang) adalah masyarakat pertanian, mayoritasnya petani…” ungkap Aiko dalam suatu seminar bertajuk “Historical and Land Use Transformation in Industrial Society” yang diadakan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 15 Agustus 2019.
Di era revolusi Indonesia tengah berkecamuk (1945—1949), para juragan beras di Karawang mempercayakan pengamanan distribusi beras kepada golongan kaum Republik yang terdiri dari tentara dan kelompok laskar. Selain membiayai kebutuhan pangan tentara dan laskar, mereka pun bahkan menyerahkan sebagian pengelolaan bahan makanan pokok itu kepada kaum bersenjata tersebut.
Baca juga: Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri
Contoh kasus itu terjadi di wilayah Rawagede. Adalah Bah Inem, seorang juragan beras yang memiliki ratusan hektar sawah yang membentang mulai wilayah Rawagede, Jatimulilit, Patenggong hingga Cilebar.
“Bah Inem yang suka berjudi itu memiliki kebiasaan unik yakni kalau lagi kalah judi, dia justru suka membeli sawah orang lain,” ujar Telan ketika saya wawancarai pada 2015.
Menurut eks anggota laskar Hizbullah Rawagede itu, Bah Inem memiliki hubungan yang sangat akrab sekali dengan kalangan tentara dan laskar. Bisa dikatakan, dia merupakan donatur utama TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) dan kelompok-kelompok laskar yang bermarkas di Rawagede dan sekitarnya.
Bukan saja uang dan beras yang mengalir setiap bulannya ke kelompok-kelompok bersenjata itu, namun soal pengelolaan bisnis beras pun, Bah Inem memberikan wewenang kepada mereka.
“Beras-beras itu dijual di koperasi-koperasi laskar dan tentara. Namun tak jarang beras-beras itu pun lari ke pasar gelap di Jakarta,” ungkap Kastal, eks komandan regu Hizbullah Rawagede.
Soal keterlibatan kaum Republik dalam pengelolaan bisnis beras di Karawang itu, diakui oleh sejarawan Robert Briston Cribb. Mereka yang terdiri dari tentara dan beberapa kelompok laskar (Laskar Rakjat Djakarta Raja, Hizbullah, Barisan Banteng Republik Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia) melakukan kebijakan monopoli terhadap perdagangan beras.
“Salah satu yang mereka lakukan adalah melakukan blokade di sekeliling kota agar beras tak masuk ke Jakarta,” ungkap Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries.
Aksi itu dijalankan tak lain sebagai upaya untuk melumpuhkan Jakarta yang telah menjadi kota pendudukan Sekutu dan Belanda. Bahkan lebih jauh kelompok laskar memberlakukan kembali aturan yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah pendudukan Jepang: melarang rakyat melewati batas keresidenan dengan membawa lebih dari 5 kg beras.
Baca juga: Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda
Situasi itu menyebabkan beras Karawang yang terkenal lezat tersebut menjadi barang yang langka dan sangat mahal di pasar-pasar Jakarta. Aksi penyelundupan pun menjadi tak terhindarkan. Kendati dilakukan pemeriksaan dan penggeledahan yang ketat di batas demarkasi (wilayah Kranji dan Klender), namun tak urung beras-beras asal Karawang ada yang lolos juga masuk ke Jakarta.
“Cara yang mudah untuk meloloskannya ya tak ada cara lain dengan menyogok orang-orang laskar dan tentara,” ungkap Haji Sidin, eks tukang beras keliling di Tambun dan Klender pada era 1940-an.
Praktik penyelundupan beras itu menumbuhkan kisah-kisah menyedihkan. Soe Hok Gie pernah mengungkapkan tentang nasib para perempuan tukang beras antara Karawang-Jakarta pada era revolusi tersebut. Untuk melancarkan pemeriksaan, para lasykar dan tentara yang menjaga perbatasan garis demarkasi itu tak segan-segan melakukan pelecehan dan pemaksaan seksual terhadap mereka.
“Di daerah garis demarkasi yang dijaga serdadu Belanda (Klender), mereka pun harus mengalami kejadian yang sama…” tulis Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan.
Batalyon Beruang Merah adalah salah satu kelompok tentara yang menjadi “subur” karena bisnis penyelundupan beras itu. Begitu sejahteranya kesatuan Divisi Siliwangi asal Tasikmalaya itu, hingga menimbulkan iri kesatuan-kesatuan lain.
“Mereka pun segera mendapat julukan 'ber-uang merah' (memiliki uang Belanda yang berwarna merah),” ungkap Cribb.
Pertengahan April 1946, Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir memutuskan untuk memberikan bantuan beras kepada India yang tengah dilanda kelaparan. Jumlah yang ditargetkan Sjahrir adalah 500.000 ton. Karawang adalaah salah satu wilayah yang menjadi andalan untuk menyediakan beras bantuan itu.
Baca juga: Sukarno dan Bantuan Beras Indonesia untuk India
Persoalan muncul ketika Laskar Rakjat Djakarta Raja (LRDR) yang anti Sjahrir menghalang-halangi upaya itu. Pun mereka yang selama berada di Karawang sangat tergantung dengan persedian beras yang disetor oleh para juragan beras tentu saja tidak mau kehilangan jatahnya.
“Mereka lantas melarang rakyat untuk menyetorkan beras kepada pemerintah,” ungkap Telan.
Aksi itu kemudian disikapi secara keras oleh Batalyon Beruang Merah selaku alat pemerintah RI yang memang juga menganggap LRDR sebagai saingan dalam soal bisnis beras itu. Tak berhasil menyelesaikan masalah dengan cara damai, pada sekira pertengahan 1946 kedua kelompok kaum Republik pun bersitegang dengan menggunakan senjata masing-masing.
“Sempat terjadi tembak menembak di wilayah Tanjungpura dan ada yang luka-luka juga. Tapi setelah sekitar sejam cepat selesai karena keburu datang Polisi Tentara mengamankan mereka,” kenang Telan.
Baca juga: Yang Raib Ditelan Bumi