Jembatan Kedung Gede yang terletak di Tangjungpura, Karawang itu terlihat masih kokoh. Gaya arsitekturnya sungguh unik, mengikuti tren yang pernah berjaya di Eropa pada 1920-an. Sekilas bentuknya mengikuti Jembatan Arnheim yang ada dalam film A Bridge to Far, sebuah film tentang Perang Dunia II yang mengambil setting pertempuran di Belanda.
Tak banyak yang tahu bila jembatan yang melintasi Sungai Citarum itu pernah menjadi ajang pertempuran besar selama tiga hari berturut-turut. Pada 21 Juli 1947, tentara Belanda yang datang dari arah Jakarta mencoba menguasai jembatan tersebut untuk menusuk pertahanan Republik di Karawang.
“Mereka datang bergelombang seolah tak habis-habisnya,” kenang Telan (94), eks pejuang Republik di Karawang.
Baca juga: Kisah Desersi di Front Karawang-Bekasi
Dalam Gangsters and Revolutionaries, sejarawan Robert B. Cribb menuliskan bagaimana para serdadu Belanda dari Batalyon 3-9-RI Divisi 7 Desember merangsek ke Karawang via Tambun. Penyerbuan itu dilakukan persis sehari setelah H.J. van Mook, Gubernur Jenderal NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda), mengumumkan pembatalan sepihak kesepakatan Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda beberapa bulan sebelumnya. Inilah yang mengawali Aksi Polisional I Belanda (pihak Republik menyebutnya Agresi Militer Belanda I).
Milisi bumiputra yang tergabung dalam HMOT (Pasukan Non Organik Sang Ratu) juga ada dalam rombongan pasukan Belanda. Mereka masing-masing menjadi pasukan pendobrak yang menempati sebuah gerbong utama, didorong oleh lokomotif yang membawa 17 rangkaian gerbong penuh tentara dan amunisi di belakangnya.
Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda
“Pemimpinnya sendiri yakni Panji bergerak lewat jalan besar Bekasi-Karawang bersama komandan tentara Belanda bernama Letnan Satu Koert Bavinck. Mereka berdua menaiki jip terbuka dengan karung-karung pasir dan senjata otomatis di kapnya,” ungkap Cribb kepada Historia.id.
Sebelum jembatan sempat terjadi bentrokan hebat antara TNI yang diperkuat Batalion Beruang Merah dari Divisi Siliwangi plus pasukan Hizbullah dan pasukan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Karena persenjataan militer Belanda lebih unggul, pasukan TNI akhirnya terpukul mundur ke arah Karawang. Sementara itu, kereta api yang berisi amunisi, tenaga tempur, tenaga zeni, dan para penjinak bom berpacu dengan waktu untuk sampai ke Jembatan Kedung Gede dengan dikawal pesawat Mustang.
Di wilayah Cikarang, kereta api sempat dihujani mortir pasukan Republik. Sesaat sebelum memasuki Stasiun Cikarang, sebuah jalur rel kereta api berhasil dirusak oleh prajurit Batalion Beruang Merah.
“Ternyata rel kereta api yang rusak itu justru rel yang tidak digunakan kereta api tentara Belanda,” tulis sejarawan Ali Anwar dalam K.H. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang.
Baca juga: Kiai dan Jagoan dalam Perang Kemerdekaan
Kereta api terus melaju ke arah timur. Para prajurit Republik berusaha mengadang di sekitar Jembatan Kedung Gede, namun berhasil diusir oleh tembakan senapan 12,7 dari pesawat Mustang dan tembakan mitraliur dari pasukan Belanda yang stelling di jalan besar. Beberapa puluh meter sebelum jembatan, pasukan pun diturunkan. Ada 38 ranjau darat yang terpasang di rangka jembatan yang bisa dijinakan oleh tim penjinak ranjau Batalion 3-9-RI.
Tentara Republik yang terpukul mundur, lantas melakukan upaya terakhir untuk menghantam laju kereta api milik militer Belanda. Dari Stasiun Karawang, mereka meluncurkan sebuah lokomotif tak berawak dalam kecepatan tinggi. Harapannya lokomotif itu menabrak kereta api yang memuat ratusan prajurit Batalion 3-9-RI dan anggota HMOT.
Baca juga: Panji, Pemimpin HMOT Raib Ditelan Bumi
Upaya mereka memang berhasil. Tabrakan hebat terjadi di wilayah Tanjungpura. Namun, hasil yang diharapkan tidak sesuai karena prajurit Batalion 3-9-RI dan HMOT sudah turun. Kerugian militer Belanda hanya hancurnya lokomotif dan meriam kaliber besar yang terpasang di depan lokomotif tersebut.
Keesokan harinya, militer Belanda melalui Pos Jembatan Kedung Gede melakukan tusukan ke Karawang. Namun, perlawanan dahsyat dari pejuang Republik memukul kembali mereka ke arah Tanjungpura.
“Pada 23 Juli 1947, mereka datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan didukung pesawat tempur dan tank-tank baja,” ujar Telan.
Pejuang Republik mundur karena kalah jumlah dan perlengkapan. Batalion Beruang Merah di bawah pimpinan Letnan Kolonel Abdullah Saleh Hasibuan bergerak menuju Tasikmalaya, Hizbullah pimpinan K.H. Noer Ali menghindar ke Yogyakarta, dan pasukan ALRI pimpinan Madmuin Hasibuan meluputkan diri ke arah Tegal. Karawang pun jatuh ke tangan tentara Belanda.