SANDAL merupakan bentuk sederhana dari pelindung kaki. Ia bisa terbuat dari bahan kulit, plastik, tali, jerami, logam, atau ban bekas. Sandal cocok dipakai untuk keadaan panas, iklim kering, dan daerah berbatu. Ia juga dipakai untuk melindungi kaki dari serangga beracun, batu tajam, padang pasir nan panas, hingga dinginnya salju.
Sejak lama sandal sudah digunakan. Masyarakat Anasazi, misalnya, suku kuno yang mendiami daratan barat daya Amerika, pada 8.000-10.000 tahun lalu diketahui sudah menggunakan sandal. Terbuat dari serat tanaman Yucca yang disusun menjadi anyaman, sandal ini diikatkan ke kaki dengan tali yang berbentuk V.
Baca juga: Perjalanan Sepatu dari Zaman Batu
Sandal terus berevolusi, dari bahan hingga modelnya, dan tetap menjadi pilihan dalam berbusana dan beraktivitas.
Sandal Sumeria
Perajin sandal di Sumeria, sekitar 6000 SM, mulai menggunakan kulit binatang untuk membuat sandal.
Sandal Mesir
Para arkeolog mengidentifikasi salah satu hieroglif tertua dari Mesir menampilkan kisah tentang pembuat sandal. Gambar-gambar ini, yang tertera dalam sejumlah makam, menunjukkan bahwa Raja Menes yang berkuasa pada 3100 SM selalu menyertakan pembuat sandal ke mana pun dia pergi. Sandal biasa dipakai para bangsawan. Umumnya terbuat dari kayu, kulit kambing, atau serat dari tanaman papirus atau palem.
Chappli
Jalur perdagangan kuno, yang disebut Jalur Sutra, memberi pengaruh terhadap persebaran pola dasar sandal. Sejak 3000 SM, daerah Chappal, India, terkenal sebagai pembuat sandal yang kemudian dikenal sebagai Chappli. Sandal ini terbuat dari kulit lembu, kambing, atau sapi. Masuknya Islam ke India pada abad ke -11 memberi perubahan terhadap model sandal di sana, mulai dikenal model selop.
Kothurnus
Aktor teater Yunani kuno, pada 1000-700 SM, biasa menggunakan sandal ini. Bentuknya dibuat tinggi beberapa sentimeter, dengan alas dibuat empuk seperti lapisan gabus. Tak hanya aktor, para pelacur kota Yunani pun memakainya; terbuat dari kulit yang telah dicelup larutan berwarna hijau atau kuning.
Paduka
Sandal dari Babylonia kuno sekira 600 SM ini terbuat dari kayu. Di antara ibu jari dan jari telunjuk kaki terdapat pembatas yang dijepit supaya sandal tidak terlepas. Sandal ini dihiasi dengan batu-batu yang disusun dengan indah. Para bangsawan memakainya untuk ke tempat pemandian atau mengunjungi para harem.
Di Persia, selain digunakan para bangsawan, sandal juga dikenakan prajurit dan pemimpin agama. Khusus sandal prajurit biasanya masih ditambah dengan pelindung dari logam seperti kuningan.
Baca juga: Kerah Baju Tanda Status Sosial
Sandalium
Pada era Romawi, 100-50 SM, istilah “sandalium” menunjukkan sandal itu sendiri. Para petarung gladiator biasa memakai sandal yang terbuat dari kulit. Di era kekaisaran Romawi, persoalan warna sandal masih menjadi pembeda status. Julius Caesar, kaisar Roma, memilih sandal dengan warna merah dan ungu –begitu pula anaknya. Sementara Poppaea, istri Kaisar Nero, memilih sandal yang terbuat dari emas, dengan tatahan batu-batu berharga.
Geta
Sandal dari Jepang ini mulai berkembang di era Heian, 794-1194. Terbuat dari kayu, sandal ini memiliki semacam dua hak, yang disebut ha, setinggi 4-5 sentimeter. Fungsi dari hak setinggi ini adalah menghindarkan kain kimono, busana tradisional Jepang, dari kotoran ketika berjalan. Sandal bakiak seperti geta ini menjadi terkenal pada era Edo.
Selain geta, ada pula waraji. Waraji adalah sandal anyaman jerami atau tali. Pada zaman feodal, abad ke-12 hingga 19, kaum samurai Jepang dan pasukan infanteri (ashigaru) biasa memakai sandal jenis ini.
Espadrille
Di wilayah Spanyol, sandal ini dikenal ringan karena terbuat dari anyaman jerami dan bahan linen buatan pabrik. Nama Espadrille sendiri diambil dari sebuah tanaman, esparto, yang menjadi bahan utama sandal ini. Sebelum dianyam menjadi sandal, esparto terlebih dulu dibakar supaya mendapat serat tanaman yang ulet. Pada abad ke-13, sandal ini biasa dipakai pasukan infantri Raja Aragon. Perkembangannya terbatas di daerah Prancis selatan, Spanyol, dan Portugal. Sandal espadrille yang terbuat dari ban bekas sempat populer pada 1930-an, terutama di kalangan kaum bohemian di Amerika.
Sandal Modern
Film bisu yang diproduksi Hollywood pada awal abad ke-20 kerap menampilkan kisah-kisah epik yang bersumber dari Alkitab, seperti film The Ten Commandments yang disutradarai Cecil B. De Mille. Aktor dan aktrisnya menggunakan sandal berbahan seperti kulit. Yang memproduksi ribuan sandal untuk film itu adalah Salvatore Ferragamo, imigran asal Italia yang jadi pembuat sepatu terkenal. Desain itu langsung jadi tren fesyen.
Sandal Jepit
Setelah Perang Dunia II, serdadu Amerika kembali ke negaranya dengan membawa zori (sandal jepit tradisional dari Jepang) sebagai souvenir. Sempat tren, sandal ini ditinggalkan karena berbahan karet murah yang bikin lecet. Tapi ia tak benar-benar tenggelam. Pada 1957, Morris Yock, pebisnis dari Selandia Baru, mematenkan produk sandal karetnya dengan nama Jandal, diambil dari kata “Japan” dan “Sandal”.
Baca juga:
Ponsel Segede Sepatu
Dari Batu sampai Ponsel
Perkembangan industri plastik ikut andil dalam produksi sandal berharga murah secara massal. Jepang mempeloporinya. Kemudian pada 1950-an, teknik cetak baru yang menggabungkan karet dan plastik diperkenalkan di Taiwan. Hingga saat ini, sandal jepit paling banyak ditemui.