Banyak yang meyakini Barus di Tapanuli Tengah, Sumatra Utara, salah satu bandar tertua di mana Islam pertama kali berlabuh. Pelabuhan Barus dikenal sejak masa awal masehi dan semakin berkembang pada era kenabian Muhammad Saw. abad ke-7.
Claudius Ptolemeus, ahli geografi Romawi pada 100–170 M, mencatat keberadaan Barousai. Kata Claude Guillot, arkeolog Prancis, dalam Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, itu jika disepakati kalau Barousai yang ditulis Ptolemeus sebagai Barus.
Sayangnya, tidak ada penemuan yang tegas soal awal mula kedatangan Islam di Nusantara membuat pembahasannya belum tuntas. Selama ini pendapat soal kapan Islam menyebar dan dari mana datangnya selalu berputar pada hasil penelitian asing.
“Kita bisa melihatnya lagi sebagai orang yang tinggal di kepulauan Nusantara ini,” kata Bastian Zulyeno, ahli kajian Persia Universitas Indonesia, dalam dialog sejarah “Riwayat Masuknya Islam ke Nusantara” live di kanal Youtube dan Facebook Historia.id.
Baca juga: Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara
Menyebar Bertahap
Hingga saat ini masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli mengenai kapan tepatnya Islam masuk ke Barus. “Bagaimana Islam hadir di Nusantara? Menurut sumber sudah cukup lama. Ada yang menganut sejak abad ke-7, tapi ini pembuktiannya bukan arkeologis,” kata Irmawati Marwoto, arkeolog Universitas Indonesia.
Tetapi berita Tiongkok yang mencatat hal itu. W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, menyebutkan kalau Ta-shih atau olehnya disebut Da-zi, merupakan nama yang umum digunakan untuk bangsa Arab dalam catatan-catatan sejarah Tiongkok.
Baca juga: Catatan tentang Islamisasi di Sumatra
Groeneveldt menjelaskan Da-zi berada di pantai barat Sumatra. Lokasi ini tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi Tiongkok. Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Maka, ketika wilayah ini dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia atau mayoritas dengan Arabia.
“Sepertinya, permukiman Arab telah ada di pantai barat Sumatra sejak lama. Akibatnya, sejumlah penulis Tionghoa menyamakan negara ini dengan Arabia,” tulis Groeneveldt.
Irma menjelaskan, permukiman Arab atau Persia berawal dari para pedagang yang menetap. Setelah menetap, pedagang-pedagang muslim itu membutuhkan tempat ibadah, karenanya membangun masjid di permukimannya.
“Jadi, ada proses cukup lama bagaimana Islam masuk ke seluruh wilayah Indonesia,” kata Irma.
Baca juga: Catatan Tiongkok tentang Raja Arab di Nusantara
Islam berkembang hingga abad ke-11 dibuktikan oleh nisan-nisan kuno di Barus. Ini diperkuat dengan keberadaan naskah-naskah dari masa Kerajaan Kadiri. “Sudah ada pengaruh bahasa Arab, sudah masuk di situ,” jelas Irma.
Pada abad ke-13, Islam mulai membentuk sistem kerajaan. Dibuktikan dengan adanya nisan Pasai dari 1297. “Pertama kali kerajaan Islam di Indonesia adalah Samudra Pasai. Sudah disebutkan ‘sultan’. Islam di sini sudah masuk secara politis,” kata Irma.
Kemudian pada abad ke-15 mulai berdatangan para ulama. “Misalnya di Pasai ada ulama Persia datang, menjadi ulama di sana. Di Jawa juga ada,” kata Irma.
Dalam penelitiannya, batu nisan terawal dari masa masuknya Islam di Nusantara menunjukkan gaya budaya luar yang kental. Makin muda, nisan-nisan di makam Islam lebih bergaya Indonesia.
“Islam sudah datang untuk berdagang pada abad ke-7, membentuk kerajaan pada abad ke-13, berkembang ke seluruh Indonesia pada abad ke-15-16,” kata Irma. “Jadi, kita harus membedakan antara kapan Islam datang dan kapan Islam menyebar.”
Baca juga: Benarkah Samudera Pasai Kerajaan Islam Pertama di Nusantara?
Arab ke Persia Hingga Barus
Lalu dari mana datangnya? Menurut Bastian, dari fakta historis, artefak nisan, dan manuskrip, pengaruh Persia sangat kental.
“Kita juga kenal serapan dari bahasa Persia: nakhoda, jangkar, bandar, nisan. Ini menyerap dari bahasa Persia,” ujar Bastian.
Di Barus, jejak budaya Persia terlihat pada nisan-nisan tuanya. “Dalam bahasa Persia, nisan artinya tanda, secara umum ya,” kata Bastian.
Nisan bergaya Persia dibagi menjadi dua kategori: pra-Islam dan setelah kedatangan Islam. Bastian dan Ghilman Assilmi, arkeolog Universitas Indonesia, dalam “Representation and Identity of Persian Islamic Culture in Ancient Graves of Barus, North Sumatra”, termuat dalam International Review of Humanities Studies Vol. 3 No. 2 Juli 2018, menyebutkan bahwa sebagian besar batu nisan dari periode Islam memiliki ciri khusus. Misalnya bertuliskan ayat Al-Qur’an, kaligrafi jenis Kufi, dan gambar datar.
Baca juga: Jejak Peradaban Barus
Lalu ada juga nisan berbentuk pilar yang berdiri seperti mihrab. Nisan ini bisa ditemukan di wilayah Uzbekistan dan Azarbeijan dengan bentuk dan ornamen yang sama. Sementara hampir semua nisan tokoh-tokoh agama penting di Barus memiliki pilar tinggi berbentuk mihrab.
Beberapa nisan di Barus ditulis dalam aksara Arab dengan tata bahasa Persia. “Beberapa batu nisan teridentifikasi memiliki dua bahasa, yaitu bahasa Arab dan Persia,” jelas Bastian dan Ghilman.
Misalnya, makam Syekh Mahmud di dalam Kompleks Makam Papan Tinggi, Barus Utara. Pada batu nisan di sisi selatan inskripsinya ditulis dalam bahasa Arab. “Syekh Mahmud, semoga Allah menyucikan jiwanya!” tulis sebagian inskripsi itu.
Sementara batu nisan di sisi utara ditulis dengan bahasa Persia. Tertulis di sana, kalau hingga 829H/1425–6 M, makan ini tersembunyi di dunia gaib. Penggalan inskripsinya berbunyi: “Makam ini makam Syekh Mahmud. Dan setiap hari, keajaiban timbul bagi yang minta pertolongan.”
Baca juga: Mencari Bukti Awal Islamisasi di Nusantara
Pada nisan itu juga terdapat prasasti yang menampilkan puisi klasik Persia dari abad ke-11. Puisi ini karya penyair bernama Firdawsi yang terdapat dalam buku Shah Nameh atau (Risalah Para Raja), bab pertempuran antara Rostam dan Esfandiyar.
“Dunia adalah laluan, kita akan kembali. Tidak ada yang tersisa dari manusia kecuali kemanusiaannya,” demikian bunyi puisi itu sebagaimana dikutip Bastian.
Bastian dan Ghilman menjelaskan, Firdawsi dalam kesusastraan Persia disebut sebagai Bapak Bahasa Persia. Mahakaryanya, Shah Nameh adalah tonggak sejarah kebangkitan bahasa Persia setelah kurang lebih tiga abad berada dalam bayangan bahasa Arab.
Sejak Islam muncul dan berkembang pertama kali di jazirah Arab, mulai muncul tantangan bagi para mubalig untuk membawa ajaran Islam keluar wilayah. Contoh penaklukkan wilayah yang dilakukan Islam secara masif adalah di Persia. Rencana penaklukkan atas wilayah ini bahkan sudah muncul pada masa kenabian Muhammad Saw.
“Zaman keemasan Islam ketika Islam berhasil menaklukkan Persia,” kata Bastian.
Baca juga: Mempertanyakan Bukti Islam Tertua di Jawa
Persia merupakan peradaban yang sudah tua sekaligus kuat. Pada 2.500 SM mereka telah menjadi empire (kekaisaran). Itu pada saat di dunia hanya dikenal empat empire besar, yakni Romawi, Yunani, Tiongkok, dan Persia.
Menurut Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, ekspansi Islam ke Persia dan Anak Benua India sepanjang masa Dinasti Umayah (660–749) memberikan dorongan baru kepada pelayaran Arab-Persia untuk menjelajah sampai ke Timur Jauh.
“Persia sampai abad ke-16, sebelum ditaklukkan Dinasti Safawiah, masih sebagai pusat ortodoksi Suni. Banyak ulama Suni itu orang Persia,” kata Bastian.
Mayoritas orang di Persia, kata Bastian, sebelum menjadi Syiah, menganut mazhab Syafi’i dan Hanafi. Orang Indonesia akhirnya pun banyak merujuk pada ilmuan Persia, seperti Al-Ghazali.