DINASTI Ming (1368–1644) punya kebijakan mendua terhadap Islam. Di satu sisi mereka melarang orang asing asal Arab, Persia, dan Asia Tengah –yang notabene penganut Islam utama di China saat itu– untuk menggunakan bahasa, busana, dan nama aslinya dengan tujuan secepat mungkin mengasimilasikannya secara paksa ke dalam masyarakat China; di sini lain mereka justru tampak mengapresiasi agama yang sudah masuk ke China sejak sekitar tujuh abad sebelum petani miskin bernama Zhu Yuanzhang memproklamasikan berdirinya dan menjadi kaisar pertama kedinastian ini.
Buktinya, pada masa-masa awal kepemerintahannya, Kaisar Zhu Yuanzhang diriwayatkan pernah menulis sendiri ‘seratus kata puji-pujian kepada Rasulullah’ (Zhi Sheng bai zi zan) yang belakangan banyak digurat di tembok masjid-masjid China.
Bunyi syairnya begini, sebagaimana dikutip ulama sohor era peralihan Dinasti Ming ke Dinasti Qing, Wang Daiyu, dalam mahakaryanya, Zhengjiao Zhenquan (Penjelasan tentang Islam):
“Qian kun chu shi, Tian ji zhu ming.
Chuan jiao da sheng, jiang sheng Xi yu.
Shou shou Tian jing, san shi bu ce, pu hua zhong sheng.
Yi zhao jun shi, wan Sheng ling xiu.
Xie zhu Tian yun, bao bi guo wang, wu shi qi you, mo zhu tai ping.
Cun xin Zhen zhu, jia zhi qiong min. Zheng jiu huan nan, dong che you ming.
Chao ba ling hun, tuo li zui ye.
Ren fu tian xia, dao guan gu jin.
Jiang xie gui yi, ming qing zhen jiao.
Mu han mo de, zhi gui sheng ren.”
Artinya kira-kira:
Sejak penciptaan alam semesta, namanya telah tertulis di lauḥu l-maḥfūẓ.
Nabi besar pembawa agama itu, lahir di Barat sana.
Ia menerima wahyu, kitab suci 30 juz, untuk memperbaiki akhlak manusia.
Ia adalah imam semesta, pemimpin para Nabi.
Ia diutus Tuhan-Nya, melindungi negeri, salat lima kali sehari, mendoakan
kedamaian di bumi.
Hatinya berserah kepada Tuhan, mengentaskan kemiskinan, menolong yang
kesusahan, menerangi kegelapan.
Ia menuntun jiwa dan raga, menjauhi dosa.
Ia rahmat bagi seluruh alam, ajarannya ṣālih likulli makān wa zamān.
Ia menunjukkan yang musyrik ke jalan tauhid, menamai agamanya sebagai Islam.
Ia adalah Muhammad, rasul agung nan mulia.
Tidak berhenti di situ, Zhu Yuanzhang juga memerintahkan pembangunan masjid di Yunnan, Hokkien, Kanton, dan dua di Nanjing yang merupakan ibu kota Dinasti Ming sebelum dipindah ke Beijing. Kitab Tianfang Dian Li (Hukum dan Ritual Islam) karangan ulama terkemuka zaman Dinasti Qing, Liu Zhi, menyatakan begitu. Masjid-masjid yang roboh pun diminta segera dibangun kembali dan tidak boleh ada yang menghalangi. Bukan hanya terhadap masjid, Zhu Di, putra Zhu Yuanzhang yang kelak menjadi kaisar ketiga Dinasti Ming, malah sekaligus menitahkan perlindungan terhadap muslim yang ada di negaranya. Tidak boleh ada yang merundung mereka.
“Semua pejabat baik sipil maupun militer, tidak diperkenankan merendahkan, menghina, atau mengintimidasi” muslim, dan “barang siapa berani melanggar titah ini, maka akan dihukum.” Demikian penggalan titah (chiyu) Zhu Di pada pertengahan tahun 1407. Zhu Di adalah kaisar yang mengutus Laksamana Cheng Ho ke mancanegara.
Kini, tak sedikit masjid tua di China yang memahat titah Zhu Di itu di pintu masuknya. Saya pernah melihatnya di masjid Quanzhou dan di masjid Fuzhou. Dua masjid gaek ini ada di Hokkien sana.
Namun demikian, yang paling menarik adalah kisah tentang salah satu kaisar Dinasti Ming yang dikabarkan telah memeluk Islam. ‘Alī Akbar Ḵeṭā’ī, pengelana asal Bukhara yang kerap menyebut dirinya “qalandar” (darwis), menulis kisah tentang bagaimana kaisar ini akhirnya menjadi mualaf dalam bab 2, 8, dan 15 Ḵeṭāy-nāma, catatan perjalannya ke China yang penulisannya dirampungkan di Istanbul pada 1516.
Saya sarikan ceritanya di sini:
Syahdan, pada suatu malam kaisar China (khāqān-i Chin) ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Setelah bangun, dia melihat di dinding kamarnya tergurat kalimat syahadat dengan aksara berwarna hijau. Dia kemudian menghafalnya, lalu menyebarluaskan ke orang-orang istana dan menitahkan orang-orang di seluruh negerinya untuk turut membacanya.
Orang-orang komplain karena tidak ada kaisar China sebelumnya yang menganut Islam, namun kaisar China ini bersikeras tetap akan menjadi muslim karena itu adalah urusan rohaniah yang tidak boleh ada siapapun yang mengintervensinya.
Maka direkrutlah kasim-kasim muslim untuk dipekerjakan di istana. Mereka setiap hari diminta mengumandangkan azan (bāng-i namāz) dan menggelar salat berjemaah. Kaisar juga membangun masjid di Beijing (khānbāligh). Pada bulan Ramadan, dia biasa membawa ribuan pengawalnya berdoa di sana sepanjang malam.
Pertanyaannya, siapa kaisar China yang diceritakan ‘Alī Akbar itu? Menurut Na Jufeng, sejarawan muslim jebolan Nanjing University, yang dinarasikan ‘Alī Akbar tersebut adalah Wuzong alias Zhengde, kaisar kesebelas Dinasti Ming yang terlahir dengan nama Zhu Houzhao. Dia bertakhta selama hampir 16 tahun terhitung sejak 1505 sampai 1521.
Dalam makalah berjudul “Ming Wuzong Hujiao Xinyang Kao” (Menyigi Keislaman Kaisar Ming Wuzong) yang dimuat jurnal Shijie Zongjiao Yanjiu (Studies in World Religions) volume 02 tahun 2012, Na Jufeng mengonfirmasi keislaman Kaisar Wuzong melalui satu-satunya piring keramik putih bertuliskan huruf Arab/Persia dan ayat-ayat Al-Qur’an berwarna merah marun (fan hong) yang saat ini disimpan di Museum Istana Kota Terlarang (Gugong Bowuyuan) di Beijing.
Karena penasaran, saya mencari foto-foto piring keramik yang dikaji Na Jufeng itu di laman resmi Gugong Bowuyuan. Dan, mengamini Na Jufeng, pada lingkaran kedua permukaan atas piring terbaca kalimat “Qāla Allāhu subḥānahu tabāraka wa ta‘ālā” jika dibaca dari atas ke bawah, lalu dari kanan ke kiri.
Saya lantas membaca tulisan dalam lingkaran terdalam piring dari atas ke bawah. Di sana terdapat potongan Al-Qurʾan surat Al-Isrā’ ayat 29: “wa lā tabsuṭhā kulla -lbasṭi fataq‘uda malūman maḥsūrā”.
Lanjut, saya melihat foto permukaan bawah piring dan membaca tulisan Arab di situ secara berlawanan dengan arah jarum jam. Ada Al-Quran surat Al-Zalzalah ayat 7–8, “Fa may ya‘mal miṡqāla żarratin khairay yarah, wa may ya‘mal miṡqāla żarratin syarray yarah”, yang diwali dengan kata-kata “Kamā qāla Allāhu subḥānahu tabāraka wa ta‘ālā” dan diakhiri dengan ayat 60 surat Al-Raḥmān, “Hal jazā’u l-iḥsāni illa l-iḥsān”.
Terakhir, lingkaran terdalam permukaan bawah piring itu mengandung kalimat “dāy Mīnk khān ya‘nī Shāh Sulaimān ‘imārat kard” bila dibaca dari atas ke bawah. Kalau dialihbahasakan secara kontekstual, kalimat ini berarti: “dibuat oleh kaisar Ming agung yakni Raja Sulaiman”. Itu menunjukkan, piring keramik ini diproduksi atas perintah “kaisar Ming agung” (dāy Mīnk khān) yang bernama “Raja Sulaiman”. Adapun “dāy Mīnk”, adalah transliterasi bahasa Persia untuk apa yang dalam bahasa China sebut sebagai “da Ming” –artinya “Ming agung”.
Lalu, siapa gerangan kaisar Dinasti Ming berjuluk Sulaiman yang memerintahkan pembuatan piring keramik berhiaskan ayat-ayat Al-Qur’an itu? Na Jufeng mantap menjawab Kaisar Wuzong/Zhengde. Pasalnya, selain satu piring yang disimpan di Beijing itu, masih ada enam piring serupa yang tersebar di Taiwan, Shanghai, dan luar negeri yang di permukaan bawahnya bertuliskan aksara Arab/Persia yang jika diterjemahkan berarti “dibuat pada era Zhengde”. Informasi keberadaan piring-piring ini Na Jufeng tahu dari karya monumental Luo Aili yang diterbitkan di Taipei pada 2008 silam, 15-16 Shiji de Huihui Wen yu Zhongguo Yisilanjiao Wenhua Yanjiu (Studi Terhadap Bahasa Muslim dan Kebudayaan Islam China Abad 15-16).
Untuk memperkuat pendapatnya, Na Jufeng masih mengajukan bukti lain berupa tempat pembakaran dupa dari tembaga yang kini disimpan di Museum Provinsi Gansu. Seperti Na Jufeng, saya juga mendapati dua sisi tempat pembakaran dupa ini bertuliskan aksara Arab berupa hadis “Qāla n-Nabīyu salla Allāhu ‘alaihi wa sallam afḍalu d-Du‘ā al-hamdulillāh”, dan aksara China dari kanan ke kiri yang berbunyi “da Ming Zhengde wu nian qin ci Huihui zhangjiao” (diberikan langsung oleh kaisar Ming agung pada tahun ke-5 pemerintahan Zhengde kepada pemuka agama Islam) di permukaan bawahnya. Selain Gansu, Museum Daerah Otonomi Suku Hui Ningxia juga menyimpan tempat pembakaran dupa dari tembaga dengan keterangan yang sama.
Penghargaan Kaisar Zhengde/Wuzong tidak terbatas pada pemuka agama Islam melalui pemberian cenderamata-cenderamata itu, melainkan juga pada agama Islam itu sendiri. Simaklah pernyataan Kaisar Zhengde/Wuzong di depan menteri-menterinya yang disitat Wang Daiyu dalam kitab Zhengjiao Zhenquan ini:
“Konfusianisme bisa menjawab persoalan duniawi, tapi tidak mampu menjawab persoalan ukhrawi. Buddhisme tampak bisa menjawab persoalan ukhrawi, tapi tidak menyuguhkan jawaban tentang yaumulakhir penghidupan kembali manusia untuk kembali pada Tuhannya. Masing-masing dari ajaran tersebut cuma berfokus pada satu persoalan semata. Hanya Islam-lah yang bersumber dari kebenaran hakiki, dan karena itulah agama ini relevan untuk menjawab persoalan-persoalan sepanjang masa dan di mana saja” (Ru zhe zhi xue, sui keyi kai wu cheng wu, er bu zu yi qiong shen zhi hua. Fo lao zhi xue, si lei qiong shen zhi hua, er bu neng fu ming gui Zhen. Ran zhu jiao zhi dao, jie ge zhi yi pian, wei you Qingzhen ren Zhu zhi jiao, shen yuan yu zheng li, ci suoyi chui jiao wan shi, yu tian rang jiu ye).
Subḥānallāh. Takbir!
Penulis adalah kontributor Historia di China, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, China.