AGAMA Islam masuk ke Cirebon pada permulaan abad ke-14. Itu bersamaan terjadinya kontak pertama antara orang-orang asing (Arab dan Tiongkok) dengan pribumi. Islam pun dikenal oleh masyarakat Cirebon sebagai agama pendatang yang dibawa oleh para pedagang Arab dan Tiongkok. Namun karena saat itu belum terjadi kontak budaya yang signifikan, penyebaran Islam pun baru terjadi secara masif pada masa Sunan Gunung Jati berkuasa di Cirebon.
Baca juga: Islamisasi ala Sunan Gunung Jati
Ketika pertama datang orang-orang Arab dan Tionghoa menempati wilayah pesisir Cirebon. Sebagai pedagang, mereka lebih banyak melakukan aktivitasnya di sana. Maka tidak heran jika hanya wilayah pesisir saja yang sejak awal telah mengenal Islam.
Pada 1415 berdiri kampung Tionghoa (Pecinan) di wilayah Pelabuhan Muara Jati. Pemukiman itu dibangun oleh utusan Laksamana Cheng Ho, penjelajah Tionghoa Muslim dari Dinasti Ming. Salah seorang utusan itu adalah Tan Eng Hoat.
“Ia adalah seorang Cina Muslim dan sudah menjadi haji” tulis Rokhimin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon.
Para pedagang asing itu banyak berinteraksi dengan penduduk lokal. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk menetap di Cirebon. Mereka kemudian menikahi perempuan-perempuan pribumi. Orang-orang Tionghoa menempati Pecinan, sementara orang-orang Arab menempati Kampung Arab.
Peran orang-orang Tionghoa dan Arab di Kesultanan Cirebon cukup besar. Keberadaan mereka berdampak pada perkembangan kebudayaan di masyarakat. Seperti terlihat pada bangunan, kesenian, hingga benda-benda pusaka.
Pengaruh Arab
Dalam Babad Cirebon diceritakan peran orang-orang Arab dalam penyebaran Islam di Cirebon. Terdapat tiga tokoh penting, yakni Syarif Abdurrahman, Syarif Abdurrahim, dan Syarifah Baghdad. Ketiganya merupakan anak kandung,dari Sultan Baghdad.
“Mereka diperintah untuk berlayar ke Pulau Jawa oleh sang ayah. Di Cirebon ketiganya berguru kepada Syekh Nurjati dan diperkenalkan dengan Pangeran Cakrabuana, pendiri Cirebon.” tulis Bambang Setia Budi dalam Masjid Kuno Cirebon.
Baca juga: Orang Hadrami Membangun Koloni
Pangeran Cakrabuana kemudian meminta Syarif Abdurrahman dan Syarif Abdurrahim mengajarkan Islam kepada masyarakat Cirebon. Masing-masing diberi satu wilayah untuk dikelola menjadi pemukiman Muslim. Sang kakak menempati wilayah yang sekarang dikenal sebagai Panjunan. Sedangkan sang adik dipercaya mengelola wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kejaksan.
Di Panjunan, Syarif Abdurrahman membangun sebuah masjid sebagai pusat ajarannya. Pengaruhnya yang besar membuat masjid Panjunan pernah digunakan sebagai tempat musyawarah dan pertemuan para wali penyebar Islam dari seluruh Nusantara. Sebelum akhirnya dipindahkan ke Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang didirikan Sunan Gunung Jati.
Syarif Abdurrahman juga mendirikan tempat pembuatan jun atau keramik porselen. Dalam prosesnya ia mengajak serta masyarakat pribumi. Sehingga mulai bermunculan tenaga pertukangan di wilayah Panjunan.
“Keberadaan tenaga pertukangan dan pengrajin mengandung arti yang dalam bagi masyarakat Cirebon karena memunculkan kelompok masyarakat baru” tulis A. Sobana Hardjasaputra dalam Cirebon dalam Tiga Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20.
Sama seperti Panjunan, di Kejaksan Syarif Abdurrahim pun membangun sebuah masjid. Pembangunan masjid Kejaksan hampir berbarengan dengan masjid Panjunan. Keduanya memperlihatkan arsitektur khas masjid abad ke-15 di Cirebon. Cirinya adalah bentuk yang sederhana, terdiri dari ruang shalat, serambi, tempat wudhu, tiang besar, dan sakaguru di puncak atapnya.
Sementara itu saudara perempuan mereka, Syarifah Baghdadi, menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia pun turut membantu penyebaran agama Islam bersama saudara dan suaminya.
Pengaruh Tiongkok
Sama seperti kebudayaan Arab, pengaruh tradisi Tiongkok pun cukup kental terasa di Cirebon. Beberapa masjid kuno di sana menggunakan keramik dari Tiongkok untuk hiasan dindingnya. Jumlahnya tidak sedikit dan motifnya pun sangat beragam.
Keramik-keramik itu didatangkan langsung dari Tiongkok. Sebagian besar dibawa oleh para pedagang, sementara sisanya didapat dari utusan raja. Namun ada juga yang dibuat oleh orang-orang Tionghoa yang sudah menetap di Cirebon.
Tidak hanya di masjid, keramik-keramik Tiongkok juga menghiasi bangunan publik lainnya. Bahkan di makam Sunan Gunung Jati pun tersebar hiasan-hiasan keramik Tiongkok. Hal itu diperkuat dengan keberadaan istri Sunan Gunung Jati yang berdarah Tionghoa, yakni Ong Tien Nio.
Nuansa Tiongkok juga terlihat pada salah satu motif batik di Cirebon, yakni Megamendung. Sobana menyebut bahwa gambaran naga pada kereta pusaka kesultanan Cirebon sangat erat kaitannya dengan kebudayaan Tiongkok.
“Namun selain menyerap budaya luar yang bersifat positif, diduga sebagian warga masyarakat Cirebon juga menyerap budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam” kata Sobana.
Salah satunya adalah arak. Hal itu didasarkan pada keberadaan pabrik arak di Cirebon yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa. Dalam Eenige Offciele Stukken met Betrekking tot Tjirebon, laporan resmi pemerintah Belanda yang ditulis J.L.A. Brandes, menyebut kebiasaan minum minuman keras telah menjadi budaya di pelabuhan-pelabuhan Cirebon yang dibawa oleh para pedagang dari mancanegara.
Baca juga: Canting dari Sungai Kuning