LAMAN Republika Online pada 25 Januari 2018 menurunkan berita Partai Komunis Cina memaksa para anggotanya yang menganut Islam meneken sumpah meninggalkan agamanya dan berkomitmen terhadap ateisme. Penandatanganan ikrar yang dihadiri sejumlah pejabat senior Partai Komunis Cina tersebut sengaja dihelat di Linxia, prefektur otonomi khusus suku Hui yang mayoritas muslim di Provinsi Gansu, karena, tulis Republika Online, “Partai [Komunis Cina] khawatir […] pemahaman Islam terus meluas.” Benarkah demikian?
Setidaknya ada dua hal yang perlu dijernihkan mengenai kebijakan keagamaan yang diberlakukan Partai Komunis Cina (PKC) sebagai ruling party di Cina kepada warga negaranya dan kepada anggota partainya. Keduanya, meski sama-sama berstatus sebagai warga negara Cina, namun diperlakukan berbeda dalam perkara penerapan kebijakan keagamaan.
Pertama, kebijakan keagamaan PKC terhadap warga negara Cina sudah cukup jelas. Yakni, sebagaimana tertuang dalam Konstitusi Cina (Zhonghua Renmin Gongheguo Xianfa) yang disahkan pada 4 Desember 1982 pasal 36: “Warga negara Cina mempunyai kebebasan beragama. Instansi negara, kelompok masyarakat, dan perorangan tidak boleh memaksa warga negara untuk menganut agama atau tidak menganut agama. Tidak boleh mendiskriminasi warga negara yang menganut agama dan yang tidak menganut agama. Negara melindungi aktivitas keagamaan yang normal (zhengchang de zongjiao huodong). Siapapun tidak boleh melakukan kegiatan yang dapat merusak ketertiban sosial, merugikan kesehatan warga negara, dan merintangi sistem pendidikan negara dengan menggunakan agama. Kelompok keagamaan dan urusan keagamaan tidak boleh dikontrol oleh kekuatan dari luar negeri.”
Pasal 36 yang menjadi dasar “kebijakan kebebasan beragama” (zongjiao xinyang ziyou zhengce) di Cina ini memang masih kerap diperdebatkan. Terutama pemakaian bahasa ambigu “aktivitas keagamaan yang normal” yang bisa multitafsir itu. Sebab, sampai sekarang, PKC belum membuat produk legislatif maupun administratif yang menyebut secara detail apa saja kategori suatu “aktivitas keagamaan” dicap “normal” atau sebaliknya.
Sekalipun begitu, dari pasal 36 itu dapat diketahui bahwa PKC, melalui konstitusi, menjamin kebebasan warga negara Cina untuk menganut agama apapun atau tidak menganut agama apapun. PKC juga menjamin tak ada (si)apapun yang boleh memaksa warga negara Cina untuk keluar dari atau masuk ke agama manapun. Tentu, asal agama yang dianut warga negara Cina tetap berada dalam koridor “normal”. Alias agama yang, meminjam istilah Gus Dur, “ramah, bukan yang marah-marah.” Harap maklum, saya yakin negara manapun tak akan ada yang sudi menoleransi aktivitas penganut agama apapun yang kelakuannya bikin onar saja.
Kedua, kebijakan keagamaan sesuai pasal 36 di atas tidak berlaku bagi warga negara Cina yang menjadi anggota PKC. Alasannya, sebagaimana ditegaskan dokumen nomor 19 yang dikeluarkan Komite Sentral PKC pada 11 Maret 1982, “Kebijakan kebebasan beragama hanya berlaku bagi warga negara [biasa], tidak bagi anggota PKC. Seorang anggota PKC tidaklah sama dengan warga negara biasa. [Anggota PKC] sudah barang tentu adalah anggota partai [penganut] Marxisme, sudah barang tentu adalah seorang ateis (wushenlun zhe), bukan seorang teis (youshenlun zhe). Partai kita pernah beberapa kali mengatur dengan tegas: anggota PKC tidak boleh menganut agama, tidak boleh mengikuti aktivitas keagamaan. Kalau [ada anggota PKC] dalam waktu lama tidak mengubah [agama yang dianut], maka dipersilakan keluar dari partai.”
Artinya, prasyarat menjadi anggota PKC memang mesti menanggalkan segala atribut keagamaan yang dianut. Jika ogah menaati aturan main begitu, maka jangan masuk PKC. Atau, jika sudah masuk tapi tetap menjadi penganut agama tertentu, PKC hanya memberikan satu opsi: keluar dari partai lantas jadilah warga negara biasa. Intinya, laiknya tak ada paksaan untuk menganut atau tidak menganut agama apapun, PKC juga tak memaksa siapapun di Cina untuk menjadi anggota PKC dan atau mengamini paham ateisme yang diyakini PKC. Pendek kata: menjadi anggota PKC dan atau mengamini paham ateisme yang diyakini PKC adalah keputusan sukarela.
Masalahnya, ada saja warga negara Cina yang menganut agama tertentu, menjadi anggota PKC tanpa melucuti terlebih dahulu kepercayaan religiusnya secara sembunyi-sembunyi. Setelah terciduk, mereka yang mempraktikkan “taqiyyah” ini dihadapkan pada pilihan keluar dari partai atau tetap menjadi anggota partai dengan syarat bersumpah tidak lagi beragama (kendati sulit dipastikan apakah mereka benar-benar murtad).
Walau seperti itu, bukan berarti PKC alergi terhadap agama. Mao Zedong dalam artikelnya, “Teori Demokrasi Baru” (Xin Minzhuzhuyi Lun), yang dimuat mingguan Pembebasan (Jiefang) edisi 20 Februari 1940 memberi “lampu hijau” kepada anggota PKC membangun aliansi politik dengan para penganut agama untuk bersama-sama melawan imperialisme dan feodalisme. Bahkan, Mao dalam pidato yang disampaikan pada 27 Februari 1957, “Tentang Penanganan yang Benar Konflik Internal Rakyat” (Guanyu Zhengque Chuli Renmin Neibu Maodun de Wenti), menyatakan, “Kita tidak boleh […] memusnahkan agama, tidak boleh memaksa orang-orang untuk tidak menganut agama, […] juga tidak boleh memaksa orang-orang untuk memercayai Marxisme.”
Jadi, tidak tepat jika dikatakan PKC memaksa anggotanya menganut ateisme. Lebih tidak tepat lagi jika dikatakan PKC memaksa warga negaranya menganut ateisme. Yang benar adalah agama semakin kesulitan memperoleh pasar di Cina lantaran negara-negara yang mendasarkan pemerintahannya pada agama tertentu malah karut marut, sedangkan Cina yang “kafir” justru maju pesat.
Silahkan saja kaum agamawan menenangkan diri dengan berpendapat bahwa sukses di dunia belum tentu di akhirat pula. Tapi, dari dulu Cina sudah sesumbar melalui pepatahnya, “qian ke tong shen”: jika kau punya uang, dewa pun bisa kau ajak bincang-bincang.
Penulis adalah kontributor Historia di Cina, sedang studi doktoral di Sun Yat-sen University, Cina.