INDONESIA dengan usia kemerdekaan 75 tahun bulan ini masih menyisakan warisan kolonialisme Belanda bernama sekat rasial. Perlakuan diskriminatif, utamanya terhadap Tionghoa, masih lestari dalam kehidupan masyarakat. Tokoh-tokoh Tionghoa yang punya jasa seperti Liem Koen Hian, misalnya, masih dimarjinalkan.
Sejarawan Didi Kwartanada melihat peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 menjadi momen era baru untuk bebas dari belenggu penjajahan Belanda dan Jepang. Namun kemerdekaan tak serta-merta dirasakan dengan kebahagiaan untuk orang-orang Tionghoa.
“Tapi sebenarnya peristiwa itu (proklamasi) juga merupakan penjungkirbalikan situasi, dimulainya tatanan baru. Di sisi lain, golongan Tionghoa menjadi golongan yang resah karena mereka minoritas perantara, mengingat mereka di masa kolonialisme Belanda (bersama orang-orang Arab) acap jadi masyarakat kelas dua di piramida klasifikasi masyarakat antara orang-orang Belanda dan bumiputera,” ujar Didi dalam webinar yang dihelat Roemah Bhinneka Surabaya bertajuk “Liem Koen Hian: Bapak Bangsa yang Ditolak”, Senin (17/8/2020) malam.
Didi mengakui, kalangan Tionghoa memang terbagi tiga golongan dalam pergerakan menuju cita-cita Indonesia yang merdeka. Seperti halnya kalangan bumiputera dan peranakan Arab, di kalangan Tionghoa ada golongan yang berkiblat ke negeri leluhur, setia kepada Belanda, dan berkiblat pada Indonesia merdeka.
Baca juga: Tirto Adhi Soerjo Berdarah Arab?
Di golongan yang terakhir inilah Liem Koen Hian salah satu yang paling menonjol. Pria kelahiran Banjarmasin, 3 November 1897 itu sejak kecil sudah jadi pribadi yang berapi-api jika bicara ketidakadilan di sekitarnya.
“Sampai tahun 1910 saja dia dikeluarkan dari ELS (Europeesche Lagere School, setara SD) karena dia mengajak gurunya yang orang Belanda berkelahi. Sejak muda dia memang orang yang idealis, tidak suka melihat ketimpangan sosial di masyarakat. Apa yang dia anggap tidak benar, akan dia tentang, kalau perlu berkelahi,” sambungnya.
Pada 1915, Liem mengadu nasib ke Surabaya. Dia lalu bekerja di suratkabar Tjhoen Tjioe. Petualangannya sebagai wartawan pun dimulai. Berturut-turut Liem melebarkan sayapnya dengan menerbitkan sendiri bulanan Soe Liem Poo (1917), mengasuh Sinar Soematra (1917-1923) di Medan, kembali ke Surabaya di bawah naungan koran Pewarta Soerabaia (1921-1925), mendirikan dan memimpin harian Soeara Poeblik (1925-1929), hingga memimpin suratkabar Sin Tit Po (1929-1932).
Cita-cita Indonesia merdeka dari diri Liem, lanjut Didi, sudah tumbuh sejak 1928 ketika menuliskan ide kebangsaan, “Indisch Burgerschap”. Ide itu lantas bertransformasi menjadi “Indonesierschap” (kewarganegaraan Indonesia) yang berbunyi: Indonesia adalah negeri jang terdiri dari semoea orang jang menganggap Hindia Belanda sebage tanah-aer mereka dengen aktif membantoe membangoen negara ini. Peranakan adalah satoe integral jang tida terpisahken dari bangsa itoe.
“Ide itu dipengaruhi mentor politiknya, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Mirip dengan teori kebangsaan Ernest Renan yang sering dikutip para founding fathers kita, yaitu sekelompok manusia yang ingin bersatu. Mirip juga dengan teori Otto Bauer, yaitu bahwa pengalaman bersama yang menyatukan sekelompok orang ke dalam satu entitas satu bangsa,” lanjutnya.
Baginya, yang dimaksud bangsa tak hanya kaum bumiputera. Kalangan peranakan seperti Tionghoa dan Arab sama-sama berhak mencita-citakan Indonesia yang merdeka dengan satu tujuan. Namun saat itu Liem hanya bisa “menggebuk” Belanda lewat media karena periode sejak Indische Partij dan Partai Komunis Indonesia dibekukan Belanda dari 1926 hingga 1937, tiada satupun partai yang didirikan kaum bumiputera bersedia menerima peranakan sebagai anggota penuh.
Melawan Belanda dari Lapangan
Liem kemudian memilih melawan kolonialisme dengan sepakbola. “Liem sosok yang cerdik, nekat, pandai memprovokasi. Dari aksi yang digalangnya tentang pemboikotan sepakbola di Surabaya inilah Liem menjadi dikenal luas dan diapresiasi berbagai kalangan,” timpal Rojil Nugroho Bayu Aji, sejarawan olahraga cum dosen sejarah di Universitas Negeri Surabaya (Unesa).
“Sepakbola sejak lahirnya PSSI tahun 1930 jadi alat perjuangan. Olahraga yang menyedot banyak penonton ini menjadi alternatif Liem untuk bisa mengumpulkan massa dan bisa dipolitisir. Ia menggunakan sepakbola sebagai salah satu alat meneguhkan awal pijakan Indonesierschap,” lanjutnya.
Liem memaksimalkan Sin Tit Po yang dipimpinnya untuk menggalang dukungan. Melalui Comite van Actie Persatoean Bangsa Asia, ia menyerukan boikot kompetisi Stedenwedstrijden, liga antarkota klub-klub milik Belanda se-Hindia Belanda.
“Gara-garanya dulu ada jurnalis suratkabar D’Orient bernama Bekker. Dia juga pegawai SVB (Soerabaiasch Voetbalbond), klub milik orang Belanda. Kalau klub bumiputera itu SIVB (Soerabaiasch Indische Voetbalbond, kini Persebaya). Padahal sebelumnya klub bumiputera, Tionghoa, Arab dan Belanda enggak pernah ada perkara seperti di kota-kota lain. Tapi itu berubah karena Bekker mengeluarkan larangan diskriminatif melarang wartawan kulit berwarna untuk meliput,” kata Rojil.
Baca juga: Persebaya dalam Pusaran Masa
Sejak April hingga Mei 1932, Liem membanjiri Sin Tit Po dengan tulisan-tulisan tentang boikot. Provokasinya sukses lantaran golongan peranakan Arab pun larut dalam kemarahan terhadap kebijakan rasis Belanda itu. Alhasil tak hanya Sin Tit Po, Soeara Oemoem yang dipimpin Soetomo pun turut menyerukan boikot. Pun dengan suratkabar golongan Arab Aljaum. Aksi boikot diperkuat oleh Radjamin Nasution yang memimpin SIVB.
“Pertandingan Stedenwedstrijden itu dimulai 13 Mei sampai 16 Mei. Nah, Liem dalam seruannya di korannya menyatakan untuk golongan non-Eropa untuk tidak menonton Stredenwedstrijden, melainkan beralih membanjiri laga-laga yang dimainkan SIVB. Ini jadi pelajaran dari Liem dan para tokoh-tokoh di Surabaya terhadap kaum Belanda yang congkak,” imbuhnya.
Stedenwedstrijden pun sepi penonton. Kerugian NIVB (Nederlandsch Indisch Voetbalbond), induk sepakbola Hindia Belanda yang jadi operator kompetisi, tak tertolong kendati sudah mengkorting harga tiket. Sebaliknya, laga-laga yang dimainkan SIVB dan klub-klub Tionghoa serta Arab penuh sesak oleh penonton.
“Menariknya kemudian pendapatan bersih dibagi kepada SIVB 50 persen, kepada Fonds Cooperatie Hap Siem Hwee 25 persen. Untuk pengentasan pengangguran, penyantunan anak yatim, kepada Armunzorg, Kinderzorg, dan Poliklinik Muhammadiyah masing-masing lima persen. Artinya, di samping penuh nilai pergerakan, aksi boikot itu juga menggiatkan kegiatan-kegiatan positif untuk sesama non-Eropa,” kata Rojil.
Liem pun dianggap provokator oleh pemerintah dan dijebloskan ke penjara. Namun berkat tuntutan para anggota Volksraad (perwakilan rakyat) di Batavia, salah satunya MH Thamrin, Liem dibebaskan tak lama kemudian.
Nestapa di Akhir Hayat
Empat bulan pasca-aksi boikot yang digalangnya, Liem memberanikan diri mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). PTI kemudian menginspirasi berdirinya Partai Arab Indonesia (PAI) yang salah satu pendirinya AR Baswedan (kakek Anies Baswedan, gubernur DKI Jakarta saat ini).
Baswedan mengenal baik Liem dari aksi boikot sepakbola Belanda. Dia kemudian turut bergabung di Sin Tit Po. Disebutkan Didi, AR Baswedan merupakan tokoh peranakan Arab yang menghendaki egalitariat dan enggan menikmati keistimewaan golongan Arab dari pemerintah kolonial.
“Bisa dibilang AR Baswedan murid dari Liem Koen Hian. Ia ingin mengalihkan orang-orang Arab yang berkiblat ke Hadramaut menjadi berkiblat ke Indonesia. Di Sin Tit Po, mereka sangat guyub. Ada chemistry. Karena cita-cita perjuangan yang sama, ingin Indonesia merdeka dan isu agama belum merasuk sampai ke hubungan inter-personal,” ujar Didi.
Baca juga: Riwayat Getir Perintis Pers Tirto Adhi Soerjo
Namun, sifat tempramental Liem membuatnya punya banyak musuh. Kalangan Tionghoa yang berkiblat pada Belanda atau daratan China memusuhinya.
“Dari pers-pers Belanda menyebut Liem dengan PTI-nya sebagai tukang hasut, tukang tipu, pemberontak, komunis, dsb. Dari pers Tionghoa Melayu, musuh Liem menjuluki Liem nasionalis China palsu. Berbagai cara dilakukan untuk menjatuhkan moral Liem dan PTI,” tambahnya.
“Dari golongan bumiputera juga ada dr. Soetomo. Ketika Soetomo terpukau pada Jepang, Liem menulis artikel bantahan. Soetomo mendebat dengan mengatakan Liem bias karena negeri leluhurnya sedang diduduki Jepang. Dr. Tjipto sampai harus menengahi dengan mengatakan Liem adalah orang Indonesia tanpa peci dan jangan ragukan nasionalisme Liem, sampai akhirnya Soetomo meminta maaf pada Liem,” papar Didi.
Di masa pendudukan Jepang (1942-1945), Liem masuk dalam anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tetapi di sini Liem mendapatkan “pukulan” dari para koleganya. Ketika dia mengusulkan keturunan Tionghoa otomatis diberi status warga negara Indonesia (WNI), para anggota lain menolak. Sebagai bentuk kekecewaan, Liem mengajukan surat pengunduran diri.
“Setelah Indonesia merdeka, bahkan Liem pernah ditangkap. Ketika Perdana Menteri Soekiman melakukan razia, Liem ditangkap dengan tuduhan simpatisan komunis, pada 16 Agustus 1951. Dia dipenjara di Cipinang tanpa diadili dan baru dibebaskan pada 29 Oktober 1951 dengan keadaan sudah sakit,” urainya.
“Liem jengkel karena ditangkap dan dipenjara tanpa diadili. Ditambah banyak kawan-kawannya di PTI juga diperlakukan tak selaiknya. Negeri yang ia ikut perjuangakan berdarah-darah tak mau mengakuinya. Jadilah dia semakin kiri. Saat RRC HUT kemerdekaan, ia mengibarkan bendera RRC di rumahnya dan bikin heboh. Tapi dia mengatakan agar orang Tionghoa lain jangan mengikutinya. Dia hanya ingin jadi martir dan biarlah dia yang menanggung karena tidak diperlakukan laik,” kata Didi.
Baca juga: Pemboikotan Sepakbola di Surabaya
Setelah Liem wafat 4 November 1952 pun Didi masih menemukan penolakan terhadap kiprah Liem. Penolakan itu terdapat pada buku Sejarah Nasional Indonesia di edisi pertama (1975) dan kedua (1977), di mana nama Liem sebagai anggota BPUPKI tak dicantumkan dan hanya disebutkan empat golongan Cina dan empat Arab.
“Padahal dari golongan Arab hanya AR Baswedan. Menariknya di edisi keempat, karena edisi ketiga hilang tiada catatan, penyebutan golongan Cina yang empat orang itu hilang. Hanya disebutkan empat orang golongan Arab. Lalu di produk reformasi, Sejarah Nasional Indonesia IV cetakan 2010 yang dimutakhirkan, masih tidak tercantum dan golongan Tionghoanya masih hilang,” sambungnya.
Di buku Arus Sejarah Jilid VI cetakan 2012, lanjut Didi, pencantuman golongan Tionghoa maupun penyebutan nama Liem pun masih hilang. Bersama sejarawan Taufiq Tanasaldi, Didi menyampaikan hal itu ke Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid beberapa waktu lalu.
“Tapi kebetulan ketika itu terjadi pergantian kabinet. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang sekarang kan meniadakan Direktorat Sejarah. Ditambah lagi pandemi (virus) corona yang membuat isu ini terkatung-katung,” tandas Didi.
Baca juga: Kwee Tek Hoay, Sastrawan Peranakan Terlupakan