Masuk Daftar
My Getplus

Para Jenderal di Sisi Bung Besar

Mereka dikenal sebagai putra-putra kesayangan Sukarno. Namun, mereka kemudian disingkirkan.

Oleh: Martin Sitompul | 02 Apr 2018
Sukarno dan para jenderal andalannya.Dari kiri ke kanan: Omar Dani, Ahmad Yani, Ibrahim Adjie, Hartono, dan Soetjipto Joedodihardjo.Ilustrator: Gun Gun Gunadi/Historia.

Menteri Panglima AD, Letjen Ahmad Yani kadangkala jengkel dengan ulah sejumlah koleganya di ketentaraan. Sebabnya, beberapa jenderal punya akses khusus untuk melapor langsung kepada Presiden Sukarno. Yani tak senang. Gaya akrobatik tersebut terkesan melangkahi dirirnya selaku panglima. Bisa jadi pula Yani cemburu, menyadari bahwa Bung Karno punya anak emas yang lain.

Yani memang sohor sebagai jenderal pilihan Bung Karno. Dia menjadi satu-satunya Kepala Staf Angkatan Darat yang ditunjuk oleh Sukarno. Pada 1962, Presiden Sukarno mempercayakan Yani memimpin TNI AD menggantikan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pendaulatan Yani otomatis "melangkahi" para jenderal yang lebih senior, semisal, Mayjen Soeharto, Letjen R. Soedirman, Mayjen Soeprajogi, dan Mayjen Sungkono. Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, Nasution mengakui betapa karibnya Yani dan Bung Karno.

“Jenderal Yani mempunyai cara pendekatan dan pergaulan yang dihargai oleh Presiden. Dibanding dengan hubungan saya yang cukup kaku terhadap beliau, maka hubungan Jenderal Yani dengan beliau adalah cukup intim,” kenang Nasution. Menurut Nasution, Yani - yang merangkap Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi – kemudian lebih sering bertugas di Istana menghadap langsung kepada Sukarno. Keduanya cocok dalam hal pergaulan pribadi.

Advertising
Advertising

Dalam disertasinya yang dibukukan Politik Militer Indonesia 1945—1967, Ulf Sundhaussen mengungkap sebab mengapa Yani sangat berkesan di hati Sukarno. Dibanding Nasution, Yani yang halus dan berbudi-bahasa lebih supel memahami karakter high profile ala Sukarno. Sukarno mengharapkan Yani akan dapat ditarik ke dalam lingkungan pengikutnya di Istana.

Namun ternyata Yani tak sendirian di jejeran jenderal pilihan. Baik di lingkungan TNI AD, AU, dan AL, Sukarno punya jenderal andalan. Para loyalis pemanggul senjata ini memainkan peran penting dalam menjaga Sukarno di masa-masa genting era Demokrasi Terpimpin.

“Terdapat sejumlah perwira tinggi AD yang dikenal sebagai de beste zonen van Soekarno, putra-putra kesayangan Soekarno yang belum tentu komunis bahkan ada diantaranya yang amat anti komunis, namun akan lebih patuh kepada Sukarno sebagai Panglima Tertinggi,” tulis Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan. Siapa saja mereka?

[pages]

Setia tapi Merana

Selain Yani, jenderal AD dengan citra sebagai orang dekat Presiden Sukarno adalah Panglima Siliwangi Mayjen Ibrahim Adjie. Loyalitas Adjie terbukti ketika gejolak politik pasca Gerakan 30 September 1965 menggoyang kepemimpinan Sukarno. Arsip rahasia AS yang telah dideklasifikasi menyebut Adjie sebagai salah seorang jenderal anti komunis namun kesetiaannya condong kepada Sukarno. Di saat banyak kalangan perwira AD mulai memperlihatkan sikap anti Sukarno, Adjie tetap tampil sebagai pelindung (baca: Loyalis Bernama Adjie dan Jenderal AD dalam Dokumen AS).

“Dalam keadaan di mana Adjie memegang kontrol atas Jawa Barat maka suatu ancaman fisik dari pihak tentara terhadap pribadi atau kedudukan Sukarno menjadi hampir tak mungkin lagi,” tulis Sundhaussen.

Di luar AD, tercatat pula beberapa nama, antara lain: Panglima AU Laksamana Madya Udara Omar Dani dan Panglima KKO AL Mayjen Hartono. Di tubuh Angkatan Kepolisian ada Jenderal Polisi Soetjipto Judodihardjo.

Sukarno menyenangi Omar Dhani yang muda, tampan, dan flamboyan. Sebaliknya, Omar Dhani adalah pengaggum berat Bung Karno. “Sewaktu Laksdya Udara Omar Dani menjadi Men/Pangau, seluruh ajaran Bung Karno menjadi satu-satunya pegangan politik. Omar Dani juga menginginkan setiap insan AURI menjadi ’kleine Sukarnotjes’ menjadi Sukarno-Sukarno kecil ,” tulis Benedicta A. Surodjo dan JMV. Soeparno dalam biografi Omar Dani berjudul Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani.

Hartono barangkali yang paling menonjol. Sebagaimana diakui Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, Bung Karno sebenarnya hendak mengangkat Hartono menjadi Panglima AL menggantikan Laksamana R.E. Martadinata. Namun mengingat jabatan itu jatahnya untuk korps pelaut, maka Laksamana Mulyadi yang dipilih sedangkan Hartono mendampingi sebagai Wakil Panglima AL.

Di kala situasi kritis jelang para menterinya diringkus menyusul desas-desus prajurit RPKAD akan menyerbu Istana, Sukarno mempercayakan keselamatan dirinya pada Hartono (baca: Meringkus Loyalis Sukarno). Pada 10 Maret 1966, Sukarno mendatangi markas KKO di Cilandak, mengonfirmasi Hartono apakah KKO sanggup menghadapi RPKAD. Hartono tegas menjawab: “sanggup!”. Hartono menyatakan KKO cukup kuat dan sanggup menegakkan wibawa Sukarno. Dan sejak itu KKO diperintahkan untuk bersiap (baca: Ketika Si Bung Enggan Berperang).

“Pada hari-hari yang sengit itu Jenderal Hartono, Panglima KKO mengawal langsung Bung Karno, ia duduk dalam mobil di samping Presiden saat meninggalkan Istana, setelah pengamanan menteri-menteri ini,” ujar Nasution.

Selain pasukan KKO, Jenderal Polisi Soetjipto Joedodihardjo memerintahkan Brimob untuk berjaga dan melindungi Bung Karno. Brimob menjadi unit kepolisian paling loyal mendukung Sukarno. Komandan Brimob Kolonel Polisi Anton Soedjarwo di kenal sebagai pendukung Sukarno yang gigih

Ketika rezim berganti, semua para jenderal loyalis Sukarno ini dicopot dari kedudukannya. Beberapa diantaranya mengalami akhir hidup yang merana. Pada 1966, Ibrahim Adjie dikirim ke London sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Inggris. “Soeharto mengganti Jenderal Ibrahim Adjie dengan Jenderal HR. Dharsono, yang mengubah Divisi Siliwangi menjadi kesatuan militer anti- Sukarno dan anti PKI yang paling menyedihkan,” ujar jurnalis kawakan Belanda Willem Oltmans dalam memoarnya Bung Karno Sahabatku.

Omar Dani dipenjara oleh rezim Orde Baru selama 30 tahun akibat tudingan berkomplot dengan Gerakan 30 September. Nasib Hartono lebih tragis lagi. Setelah ditendang ke Pyongyang, Korea Utara sebagai Duta Besar, Hartono dipanggil pulang ke Indonesia sebelum masa tugasnya selesai untuk pemeriksaan.

Pada pagi buta 6 Januari 1971, Hartono ditemukan terbujur tak bernyawa di kediamannya yang terletak di kawasan dekat Manggarai. Dia meninggal dalam keadaan bersimbah darah dengan dua lubang peluru bersarang di bagian belakang kepalanya. Sebuah pistol jenis Makarov tergeletak tak jauh dari jasad Hartono. Tanpa menunggu visum, secara resmi Hartono dinyatakan bunuh diri. Namun beberapa orang terdekat meyakini kematian Hartono akibat pembunuhan politik.

[pages]

TAG

Sejarah-TNI Jenderal Sukarno

ARTIKEL TERKAIT

Arsip Foto Merekam Jakarta di Era Bung Karno Di Sekitar Indonesia Menggugat Bung Karno di Meksiko Kabinet 100 Menteri dan Kabinet Merah Putih Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Bowo Kecil Ditimang Bung Karno Evolusi Angkatan Perang Indonesia Bung Karno dan Jenderal S. Parman Penggila Wayang Kisah Perwira TNI Sekolah di Luar Negeri Pergeseran Kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto Melalui TAP MPRS 33/1967