Sekali siang di awal tahun 1964, Buya Hamka didatangi sejumlah polisi dari Departemen Angkatan Kepolisian (DEPAK). Berbekal Surat Perintah Penahanan Sementara, berdasarkan PenPres No. 11 tentang penangkapan orang-orang yang dicurigai, para polisi berpakaian preman itu melakukan penggeledahan di kediaman Hamka.
Menurut putra sulung Hamka, Yusran Rusydi, dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, ayahnya dibawa tanpa mengetahui kesalahan apa yang telah diperbuat. Keluarga pun hanya bisa pasrah menerima penahanan tersebut karena surat penahanan langsung datang dari presiden. Hamka diketahui ditahan di Sekolah Kepolisian Sukabumi, Jawa Barat.
Baca juga: Hamka dan Maag Berjamaah
Hamka baru mengetahui tuduhan kepadanya ketika berada di dalam tahanan. Sewaktu diinterogasi, para polisi itu mengatakan bahwa Hamka telah bersekongkol dengan Malaysia untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Sukarno. Lebih khusus, dirinya dituduh mengadakan rapat-rapat rahasia, serta menyebar gagasan subversif di Pontianak dan Jakarta. Bahkan para polisi itu yakin Hamka telah menerima uang sebesar empat juta rupiah dari Perdana Menteri Malaysia Tuanku Abdul Rahman.
“Aparat tidak mengumumkan penahanannya, tapi bisik-bisik mengenainya segera menyebar di jamaah Masjid al-Azhar dan kelompok-kelompok politik. Ketika orang dalam rezim Sukarno, Ruslan Abdulgani, menggantikan Hamka memberi khotbah shalat Idul Fitri, sebagian besar jamaah shalat berdiri dan pergi sebagai protes,” tulis James R. Rush dalam Adicerita Hamka: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern.
Di dalam catatan kecil yang ditulis sendiri oleh Hamka, kemudian diterima secara diam-diam oleh putranya Fachry, tentang bulan-bulan pertamanya tinggal di tahanan diketahui bahwa para polisi menginterogasinya habis-habisan. Hamka dicerca banyak pertanyaan tentang kehidupan pribadi, hingga mengarah kepada rencana pembunuhan Sukarno. Ketika dia menjawab “Tidak tahu”, para penyidik tidak memercayainya dan menyebut dia menghalangi penyidikan karena berbohong.
Ketika sedang menginterogasi, kata Rush, para penyidik kadang memperlakukan Hamka dengan begitu hormat, memanggil dia “Pak Hamka”. Tetapi tidak jarang mereka bersikap kurang ajar, kadang menelanjangi Hamka sampai tinggal berpakaian dalam dan menghinanya dengan menyebut “Kiyai Pembohong”.
Baca juga: Cerita Hamka Ditipu
Namun melalui para penegak itu jugalah Hamka mengetahui jika tuduhan polisi kepadanya dibuat berdasar informasi dari beberapa orang kenalan Hamka, salah satunya seorang pemuda Masyumi bernama Zawawi. Hamka tidak percaya pemuda yang diingatnya begitu baik bisa membuat pengakuan yang salah. Tidak hanya Zawawi, rekan Hamka di Masjid al-Azhar Ghazali Sjahlan pun membuat pengakuan yang sama tentang Hamka.
Kenalan Hamka yang lain seperti Nasuhi, juga membuat tudingan kepadanya. Belakangan Hamka bertanya kepadanya, “Apa sebab saudara memfitnah saya?”
“Kita ini semuanya telah kena fitnah. Fitnah ini dibuat komunis untuk menghancurkan kita dan menyingkirkan kita dari masyarakat. Saya sudah mengakui tuduhan palsu ini setelah saya disiksa. Kabarnya kawan-kawan yang lain juga disiksa. Sebab itu saya nasehatkan kepada Pak Hamka supaya Pak Hamka mengakui saja,” ucap Nasuhi dalam bahasa Arab.
“Apa yang akan saya akui, padahal saya tidak berbuat sama sekali?” kata Hamka.
“Karang-karangkan sajalah satu pengakuan,” jawab Nasuhi. “Karena kalau polisi-polisi ini tidak mendapatkan juga apa yang mereka ingin, Pak Hamka akan mereka pukul. Pak Hamka sudah tua, tidak tahan nanti kena tangan. Nanti di hadapan Hakim kita buka sebab apa kita harus terpaksa mengaku.”
Baca juga: Kisah Hamka dan Si Kuning
Hamka awalnya menolak tegas usulan Nasuhi. Tetapi pada 6 Februari, kata Rush, Hamka mengakui semuanya. Dia membuat pengakuan palsu berdasar informasi yang dibuat oleh Zawawi. Jadi Hamka hanya menambahkan bumbu di dalam karangan Zawawi. Semua itu dilakukannya demi menghindari siksaan yang lebih berat dari para polisi.
Namun Hamka tetap bertekad membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Dia lalu meminta keluarganya membawa buku catatan harian di tahun-tahun sebelumnya. Berdasar informasi di dalamnya, Hamka memastikan bahwa dia tidak mungkin melakukan pertemuan-pertemuan rahasia. Pidato-pidato karangannya pun tidak ada yang menentang konfrontasi Sukarno terhadap Malayisa, malah sebaliknya. Dia juga tidak pernah mendorong tindakan makar yang dituduhkan kepadanya.
Pada akhir Maret, Hamka mendapat kabar secara pribadi dari kepala penginterogasi bahwa dia dan timnya telah menyimpulkan seluruh perkara Hamka tidak terbukti. Dia meminta maaf karena telah memperlakukan Hamka dengan buruk selama tujuh minggu terakhir, dan berjanji akan mencari tahu sumber tuduhan palsu itu.
“Beberapa penginterogasi membawakan pisang dan rokok, serta meminta nasihat rohani darinya,” tulis Rush.
Baca juga: Hamka dan Patung Nabi Muhammad
Meski begitu perkara yang sudah berjalan tidak bisa dihentikan begitu saja. Hamka tetap menjalani tahanan, meski kondisinya sudah lebih baik dari sebelumnya. Seorang komisaris polisi yang mendampingi Hamka menyebut urusan kali ini bukan secara hukum terjadi, tetapi lebih kapada urusan politik. Bagi Mohammad Roem, yang juga turut menjadi tahanan Sukarno, dalam Bunga Rampai dari Sajarah, kondisi politik pada akhir pemerintahan Sukarno itu memang memaksa orang-orang yang tidak disukasinya harus tersingkir.
Selama dua setengah tahun berikutnya, Hamka ditetapkan akan meringkuk di tahanan tanpa proses pengadilan. Selama itu pula dia terus dipindah-pindah di sekitar perbukitan Bogor. Tetapi pada akhir-akhir masa tahanan, sekitar Agustus 1964, Hamka dipindah ke Rumah Sakit Persahabatan di Jakarta Timur karena harus mendapat perawatan akibat penyakit diabetes dan wasir yang dideritanya. Hamka baru dibebaskan pada sekitar awal 1966.