Di puncak kekuasaannya, Sukarno memiliki serenceng gelar kebesaran. Mulai dari Proklamator Kemerdekaan, Pemimpin Besar Revolusi, hingga Penyambung Lidah Rakyat. Kendati demikian, dengan kuasa yang dimilikinya Bung Karno tidak selalu bisa berbuat sekehendaknya. Apalagi untuk kepentingan keluarganya.
Ali Sadikin menjadi salah seorang pejabat yang berani menolak permintaan Sukarno. Pada periode 1964—1966, Ali Sadikin menjabat Menteri Koordinator Urusan Maritim dalam Kabinet Dwikora I. Sebagai menteri dalam kabinet, Ali Sadikin kerap kali berurusan dengan presiden.
“Ada yang mengatakan bahwa dulu kemauan dan kehendak Bung Karno tidak bisa dicegah. Pengalaman saya, ya, bisa,” ujar Ali Sadikin dalam Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi yang disusun Ramadhan K.H.
Kepentingan Mertua
Sekali waktu Presiden Sukarno memanggil Menko Urusan Maritim Ali Sadikin. Rupanya Bung Karno meminta bantuan Ali Sadikin untuk kepentingan sang mertua, Hasan Din. Menurut Ali, Bung Karno tidak bilang harus dipenuhi, tapi bertanya, “Bisa nggak?” Alih-alih menuruti, Ali malah menimbang-nimbang.
Ali Sadikin membawa berkas-berkas Hasan Din ke kantornya. Bersama para stafnya, Ali Sadikin mempelajari masalah dalam berkas tersebut. Ternyata Ali Sadikin tidak dapat memenuhi permintaan Sukarno untuk membantu proyek mertuanya. Setelah Ali Sadikin menjelaskan duduk persoalannya, Bung Karno berkata, “Baiklah kalau begitu.” Selesai persoalan.
Baca juga:
Harapan Bung Karno pada Bang Ali
“Ini orang benar-benar hebat. Ia tidak mempergunakan kekuasannya sebagai presiden untuk soal-soal begitu,” kenang Ali Sadikin.
Walau terpaksa menolak, sebagai pembantu presiden Ali Sadikin merasa dihargai oleh Sukarno. Menurut Ali, Sukarno sama sekali tidak marah. Apalagi sentimen. Buktinya Bung Karno masih sering mengajak Ali Sadikin bersama istrinya, Nani berlenso ria di Istana. Ali Sadikin bahkan dipercaya Sukarno untuk memimpin ibu kota Jakarta sebagai gubernur pada 1966.
Melayani Istri
Kejadian yang persis serupa juga pernah dialami Hoegeng Iman Santoso. Pada 1965, Bung Karno mengundang Hoegeng beserta istrinya Mery ke Istana Bogor. Saat itu, Bung Karno meminta Hoegeng untuk mengisi salah satu kementrian baru yang akan dibentuk. Hoegeng bersedia. Namun setelah itu, Bung Karno mengajukan beberapa pertanyaan kepada Mery mengenai para istrinya.
Baca juga:
Kisah Hoegeng Disetrap Bung Karno
“Mery kenal dengan Bu Fatmawati?” kata Sukarno
“Kenal, kami satu pengajian,” jawab Mery.
“Bagaimana dengan Haryati? tanya Sukarno lagi.
“Kenal,” ujar Mery, “soalnya waktu di Surabaya, rumah Haryati berhadapan dengan rumah kami.”
“Lalu dengan Bu Hartini?”
Baca juga:
Hartini, First Lady yang Tak Diakui
“Belum.”
“Bu Dewi?”
“Belum juga.”
“Nah, Mery,” pinta Sukarno, “Kamu layani salah satu istri saya yang Mey kenal.”
Hoegeng dan Mary sama terdiam mendengar permintaan Sukarno. Menurut Hoegeng, zaman itu pelayanan yang habis-habisan terhadap istri Bung Karno maupun istri menteri menjadi suatu mode. Pelayanan itu bahkan dibarengi dengan membeo-nya cara hidup para istri menteri. Sementara itu, Hoegeng tahu betul istrinya tidak ingin larut dalam mode semacam itu. Semua istri Bung Karno dianggapnya sama saja
Akhirnya, Mery menolak secara halus permintaan Sukarno untuk melayani istrinya. Mery beralasan kalau hanya meladeni satu orang, maka tidak enak dengan yang lain. Perlakuan demikian akan menimbulkan ketegangan nantinya.
Baca juga:
Cinta Hoegeng-Mery Bermula dari Sandiwara Radio
Mendengar itu, Bung Karno hanya mengangguk seraya berkata, “Ya, itu betul.” Jawaban tersebut tentu diluar dugaan Mery dan Hoegeng. Padahal, mereka telah siap pasang telinga apabila mendengar Bung Karno marah.
“Dari jawaban Bung Karno terhadap pendirian kami, saya menyimpulkan betapa demokratnya beliau. Ia tidak marah dengan keterusterangan kami,” kata Hoegeng dalam wawancara dengan wartawati Tempo Leila S. Chudori pada 22 Agustus 1992, sebagaimana terkisah dalam jilid ketiga Memoar Senarai Kiprah Sejarah.
Tidak lama setelah kejadian itu, Hoegeng pun ditunjuk Sukarno sebagai Menteri Iuran Negara (setara Dirjen Pajak) dalam Kabinet Dwikora II. Selepas jadi menteri Sukarno, Hoegeng kemudian meniti puncak kariernya di kepolisian sebagai Kapolri periode 1968—1971. Dia dikenal sebagai polisi jujur dan anti suap.
Baca juga:
“Begitu kagumnya saya pada Bung Karno,” kenang Hoegeng, “Buat saya, ia adalah pemimpin yang demokrat dan seorang Bapak Negara.”