Kisah Hoegeng Disetrap Bung Karno
Hoegeng yang dikenal sebagai polisi jujur itu pernah mendapat hukuman dari presiden pertama RI. Apa gerangan yang terjadi?
Masa revolusi mempertemukan Hoegeng Iman Santoso dengan Presiden Sukarno. Pada pidato kenegaraan 17 Agustus 1947 di Yogyakarta, Hoegeng diperbantukan sebagai pengawal Bung Karno. Waktu itu Hoegeng tercatat sebagai mahasiswa Akademi Kepolisian Mertoyudan angkatan pertama (kini Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian).
Suatu hari, Hoegeng ditugaskan komandannya untuk mengawal Sukarno ke suatu tempat. Entah bagaimana ceritanya, dia lupa sarapan saat itu. Jadilah di tengah gegap gempitanya pidato Bung Karno itu, perut Hoegeng keroncongan. Sadar Bung Karno kalau pidato memakan waktu berjam-jam, Hoegeng lantas bersiasat guna memenuhi panggillan alam dari lambungnya.
“Karena saya tahu pidatonya bakal lama sekali, saya memberanikan diri njlintis (menyelinap) ke dapur,” tutur Hoegeng kepada wartawati Tempo Leila S. Chudori, 22 Agustus 1992 yang kemudian termuat dalam jilid ketiga Memoar Senarai Kiprah Sejarah.
Baca juga:
Di dapur, Hoegeng bersua dengan Hasan Din. Namun kala itu, dia sepertinya kurang begitu mengenal Hasan Din yang tidak lain ayah dari sang ibu negara Fatmawati. Terjadilah perbincangan singkat antara Hoegeng dan Hasan Din.
“Lho, ada apa?” tanya Hasan Din.
“Saya lapar,” kata Hoegeng memelas.
“Yoo, ayo makan…” sambut Hasan Din dengan ramah tamah.
Mendapat kesempatan, Hoegeng pun buru-buru makan. Setelah kenyang Hoegeng kembali ke posisi semula untuk mengawal Bung Karno. Namun Hoegeng tidak menyadari bahwa aksinya tadi tidak luput dari amatan Bung Karno.
Baca juga:
Pidato kenegaraan akhirnya selesai. Bung Karno lantas memanggil Hoegeng. Ditanyakan kepada Hoegeng alasan dirinya minggat ketika pidato berlangsung.
“Darimana tadi?” tanya Bung Karno.
“Dari belakang,” jawab Hoegeng.
“Mau apa ke belakang?”
“Makan.”
“Lho, kok makan?"
“Saya belum sarapan.”
“Nanti malam siapa yang jadi ajudan?” tanya Sukarno lagi.
“Saya ndak tahu, Pak,” ujar Hoegeng.
“Ya, sudah. Kamu saja yang jadi ajudan lagi,” perintah Bung Karno.
Mendengar perintah Bung Karno, Hoegeng hanya bisa patuh dan pasrah. Namun dalam hatinya, Hoegeng bergumam, “Wuaduh, cilaka! Dus saya disetrap (dihukum) jadi ajudan lagi.”
Sejak kejadian itu, Bung Karno selalu ingat pada polisi bernama Hoegeng. Pada 1952, Hoegeng lulus dari PTIK. Dalam acara pelantikan lulusan, Hoegeng kembali bertemu dengan Bung Karno. Para lulusan PTIK beserta istri masing-masing diundang ke Istana Negara.
“Saya begitu terkesan padanya, karena dia bersedia berbincang dengan kami satu persatu,” kenang Hoegeng.
Baca juga:
Lulus dari PTIK, Hoegeng bertugas di Surabaya sebagai kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) se-Jawa Timur. DPKN merupakan badan intel kepolisian pada zaman itu. Dari Surabaya, Hoegeng hijrah ke Medan pada 1956 sebagai kepala reserse kriminal se-Sumatra Utara. Memasuki 1960, Hoegeng berdinas di luar kepolisian sebagai kepala Jawatan Imigrasi.
Pertemuan Hoegeng dengan Sukarno berlanjut lagi dalam penyusunan Kabinet Dwikora II atau dikenal dengan Kabinet 100 Menteri pada 1966. Kali ini Bung Karno memanggil Hoegeng bukan bukan sebagai ajudan, melainkan untuk mengisi posisi Menteri Iuran Negara (setara dengan Dirjen Pajak). Hingga kemudian Hoegeng menggapai puncak kariernya sebagai Kepala Kepolisian RI periode 1968—1971.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar