SEJAK kecil, Siti Latifah Herawati Latip yang kemudian dikenal sebagai Herawati Diah lebih banyak bermain di luar. Main boneka merupakan hal menjemukan buatnya. Ia lebih suka memanjat pohon dan membaca buku, khususnya tentang suku Indian Amerika. Rambutnya juga dipotong pendek sehingga ia sering dijuluki “boy”.
Herawati lahir di Belitung, 3 April 1917. Di sanalah ia menghabiskan sebagian masa kecilnya. Ayahnya, dokter Latip, bekerja sebagai tenaga medis pada perusahaan Belanda Biliton Maatschappij. Dokter Latip merupakan Jawa totok yang lahir dan besar di daerah Kadilangu, Demak. Sementara ibunda Herawati, Alimah, merupakan perempuan keturunan Aceh yang besar di Indramayu.
Dokter Latip berharap Herawati kelak menjadi dokter dan memberinya nasihat bahwa dokter adalah profesi yang menjunjung tinggi kemanusiaan. “Tetapi saya tidak tertarik. Ngeri melihat darah,” kata Herawati dalam autobiografinya, Kembara Tiada Berakhir.
Baca juga:
Herawati Diah Wartawati Brilian Penerus Jejak Sang Ibu
Herawati merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Kakaknya yang pertama, Retnowati, melanjutkan pendidikan di Hellerau Schule, Austria dan kemudian menjadi penari balet. Di kemudian hari, Retnowati menikah dengan Meester Sudjono. Sementara kakak lelakinya bernama Irawan dan adik Herawati bernama Saptarita.
Keluarga itu hidup dalam lingkungan orang Belanda. Kalau umumnya orang Jawa atau penduduk asli tak mau dikucilkan, maka mau tak mau hidup kebelanda-belandaan. Paman Herawati, Achmad Subarjo, selalu berkata, “Kalau tak mampu mengalahkan mereka, hendaknya kita ikuti saja dulu mereka.”
Keluarga mereka kemudian pindah ke Batavia. Herawati tak merinci tahun berapa ia pindah ke kota itu. Ia melanjutkan sekolah di Europeesche Lagere School di Salemba dan bergabung dengan Kepanduan Bangsa Indonesia. Ia pun aktif dalam Oesaha Kita, organisasi murid sekolah menengah (semacam OSIS kini), ketika sekolah di Lyceum dari Carpentier Alting Stichting (CAS). Ketika bergabung dalam dua organisasi itulah rasa nasionalismenya mulai tumbuh. Sementara di waktu luangnya, Herawati gemar bermain basket dan tenis.
Baca juga:
Tak banyak siswa pribumi di Lyceum. Di kelas Herawati hanya ada tujuh orang. Teman-teman pribumi di kelasnya yang masih ia ingat ialah Mimi Suyono, Mien Kusuma Sudjana, Eli Zakir, Luti Susilo, Surjono Surjo, dan Apetulay. Satu-satunya murid prubumi di angkatan sebelumnya yakni Ratna Purbacaraka, putri ilmuwan ahli Jawa.
Di Lyceum CAS, Herawati mendapat matapelajaran bahasa Yunani dan Latin dari Dr. Koets yang kemudian hari menjadi tim perundingan pihak Belanda di masa perjuangan kemerdekaan. Dr. Koets amat rasis dan suka menyepelekan murid pribumi di sekolah. Suatu hari ketika mengajar bahasa Latin, Dr. Koets mencibir orang inlander tak mungkin mampu menguasai bahasa Latin. Para murid pribumi merasa terhina. Omongan Dr. Koets itu sampai ke telinga para orang tua murid. “Kami ternyata semua pindah sekolah. Itu akibat ulah Dr. Koets…. Otak kami dinilainya sebagai inferior,” kata Herawati.
Setelah keluar dari Lyceum, Herawati dan adiknya, Saptarita, pindah ke Jepang untuk masuk sekolah menengah. Di sana ia masuk American High School di Tokyo selama 2 tahun. Pada awal tinggal di asrama, ia merasa bingung. Bahasa Jepang ia tak paham. Bahasa Inggris pun belum sepenuhnya dikuasai. Salah seorang gurunya menyuruh Herawati ke perpustakaan. “Tapi saya tidak tahu ‘library’ itu apa,” katanya.
Baca juga:
Ani Idrus, Wartawan Perempuan Lintas Zaman
Stres karena kesulitan komunikasi, ia pun keluar asrama dan pulang ke apartemen tempat ibu dan pamannya tinggal sementara. “Mengapa kamu tidak di sekolah?” tanya ibu Herawati. Ia hampir menangis karena merasa amat tertekan. Ibunya kemudian menenangkan, bahwa perasaan tidak betah itu akan hilang perlahan. Akhirnya, ibunya mencarikan solusi. Herawati tak tinggal di asrama sekolah melainkan indekos di rumah keluarga Amerika. Di sanalah ia belajar bahasa Inggris hingga lancar.
Setelah lulus dari sekolah menengah di Jepang, Herawati melanjutkan pendidikan ke Amerika atas dorongan ibunya. Ia belajar Sosiologi dan Ilmu Jurnalistik di Columbia University. Ia menambah lagi ilmu jurnalistiknya dengan mengambil kursus di Stanford University.
Sekembalinya ia ke tanah air, Jepang sudah mulai menguasai Asia Pasifik. Ketika Jepang menguasai tanah air, Herawati bekerja sebagai penyiar yang membacakan surat-surat dari para tahanan perang di Radio Hosokyoku. Di sinilah ia bertemu dengan BM Diah yang kemudian menjadi suaminya sehingga ia dikenal dengan Herawati Diah.
Baca juga:
Kisah Cinta Rohana dan Abdul Kudus: Dua Sejoli dari Tanah Minang
Herawati-BM Diah kemudian menjadi pewarta yang menggerakkan harian Merdeka dan bersama-sama mendirikan suratkabar berbahasa Inggris Indonesian Observer pada 1954. Herawati bahkan memimpin majalah mingguan Merdeka dan majalah titipan ibunya, Keluarga.
Dalam bukunya An Endless Journey: Reflections of an Indonesian Journalist, Herawati menerangkan jurnalisme bukan hanya profesi yang menggairahkan, penuh tantangan, dan terkadang berbahaya. Tapi yang paling menyenangkan dari menjadi jurnalis ialah tidak hanya menginformasikan pada publik tentang peristiwa yang terjadi dalam skala nasional maupun internasional tetapi juga bisa mempengaruhi pembaca tentang sudut pandang baru.