Herawati Diah Wartawati Brilian Penerus Jejak Sang Ibu
Brilian sebagai wartawan dan tangguh sebagai aktivis perempuan, Herawati Diah terinspirasi dari keteladan sang ibu, Siti Alimah.
LANTARAN diminta pihak sekolahnya untuk mengenakan pita oranye sebagai perayaan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina, bocah Siti Latifah Herawati meminta pada ibunya, Siti Alimah, untuk disiapkan pita oranye. Betapa terkejutnya Herawati karena sang ibu justru melarangnya. Bagi Herawati, Ratu Wilhelmina ialah ratunya juga. Namun tidak bagi Alimah.
“Mengapa?” tanya Herawati kecil, bersedih.
“Karena kamu bukan orang Belanda,” kata Alimah.
Alimah tak menjelaskan kalau oranye adalah warna Kerajaan Belanda. Alimah memang perempuan teguh pendirian, yang mendorong Herawati untuk terus belajar dan mengadopsi gaya hidup Barat. Hidup dalam tekanan kolonialisme membuatnya ingin melihat anak-anak dapat maju supaya sejajar dengan penjajah. Alimah pernah dilarang masuk di Restoran Capitol, Batavia lantaran berpakian kebaya. Sejak itu, ia selalu mengenakan busana gaya Barat bila ingin memasuki tempat-tempat di mana inlanders dilarang masuk. “Apa yang terjadi bagi diri saya tidak akan kamu alami,” kata Alimah. Ia menginginkan putrinya belajar dan berpendidikan tinggi.
Alimah merupakan sosok panutan bagi Herawati. Alimah tak punya latar belakang pendidikan formal. Ia melatih dirinya sendiri. “Ia pun ke mana-mana mengendarai mobil sendiri. Hebat ibuku untuk zaman itu,” kata Herawati dalam autobiografinya, Kembara Tiada Berakhir.
Keputusan agar Herawati melanjutkan sekolah ke Amerika pun merupakan ide ibunya. Saat itu, menyekolahkan anak ke Amerika merupakan tindakan tak lazim. Pasalnya, kebanyakan keluarga terpandang mengirimkan anaknya ke Belanda. “Ibu menjadi ejekan dari saudara-saudaranya, khususnya dari mereka yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Tapi ia nekat, dan berangkatlah saya, naik kapal laut,” kata Herawati.
Petuah Alimah bahwa orang pribumi hanya akan maju jika memeluk kebudayaan Barat bukan berarti membuang seluruh tatacara yang diperolehnya semasa kecil. Alimah amat rajin mengaji dan menyuruh anak-anaknya mempelajari agama. “Haji Agus Salim pernah mengajar kami tentang aqidah. Dengan bahasanya yang tinggi, kami kurang menghayati pelajaran yang sebetulnya untuk tingkat jauh di atas anak usia 13 tahun,” kata Herawati.
Baca juga:
Alimah merupakan kakak dari Achmad Subardjo yang di kemudian hari jadi menteri luar negeri Indonesia pertama. Kakak-beradik ini suka sekali mengobrol soal politik. Aspirasinya begitu banyak. Suatu hari, Alimah mendirikan majalah bernama Dunia Kita, namun tak bertahan lama karena pendudukan Jepang. Mimpi Alimah itu ia teruskan pada Herawati. Setahun setelah kemerdekaan, Alimah menjual rumahnya untuk modal Herawati mendirikan kantor berita. “Kini terbitkanlah kembali majalah tersebut. Tapi ganti namanya menjadi Keluarga,” kata Alimah.
Herawati akhirnya menjadi wartawan dan menikah dengan wartawan pula, BM Diah, sehingga namanya dikenal dengan Herawati Diah. Keduanya menggerakkan harian Merdeka. Herawati bahkan memimpin majalah mingguan Merdeka dan majalah titipan ibunya, Keluarga. Pasangan itu lalu mendirikan harian berbahasa Inggris Indonesian Observer yang terbit pertama pada 1 Oktober 1954.
Kala para aktivis perempuan bertandang ke India untuk menghadiri All Indian Women’s Congress yang diselenggarakan di Madras, November 1947, Herawati ikut sebagai peliput dari Merdeka. Utami Suryadharma menceritakan dalam memoarnya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air, mereka semua menumpang pesawat Kalingga Airlines milik Bijayananda (Biju) Patnaik, pengusaha dermawan India kepercayaan Jawaharlal Nehru. Patnaik kerap mengemban misi rahasia bolak-balik terbang ke Yogyakarta untuk membawakan obat-obatan dan bantuan lain untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kebetulan, kala itu Patnaik di Yogyakarta untuk menemui Sukarno. Informasi tentang rencana kepulangan Patnaik ke India didapat dari suami Utami, Kepala Staf Angkatan Udara Komodor Soeriadi Suryadarma. Maka berangkatlah rombongan Kongres Perempuan Indonesia yang terdiri atas Utami, Siti Sukaptinah, dan Sulianto Sukonto (Saroso) dibarengi Herawati sebagai peliput.
Baca juga:
Sebagai wartawan perempuan yang sudah menikah, Herawati menemukan beberapa tantangan untuk menyeimbangkan kehidupannya. Baginya, keluarga sama pentingnya dengan karier. Ia pun mengaku merasa beruntung punya suami yang berprofesi serupa karena bisa memahami penyitaan waktu akibat pekerjaannya.
Ia mengkritisi bagaimana pembagian tugas dalam keluarga mempengaruhi karier perempuan, khususnya dalam bidang jurnalistik. Ia mencotohkan, di masyarakat jarang sekali wartawan pria bingung membagi waktu antara mengurus keluarga atau menyelesaikan deadline. Hal sebaliknya terjadi para perempuan. Padahal, bagi Herawati, bila pembagian tugas dalam keluarga diubah secara mendasar, seorang perempuan bisa dengan tuntas mengejar karier wartawannya.
“Sayang. Selama masyarakat menganggap itu wajar jika pria mengabaikan keluarganya, dan tidak wajar bila perempuan melakukan hal yang sama. Selama itu pula kita akan melihat bidang ini didominasi oleh praktisi pria,” kata Herawati.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar