BELUM lama ini, wacana upaya pengembalian peran politik ke dalam tubuh militer mengemuka. Hal itu bermula dari wacara perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang digodok Mabes TNI.
Dalam penggodokan itu, ada usulan penambahan delapan kementerian dan lembaga negara yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Padahal, dalam pasal 47 ayat 2 UU TNI, sudah ada 10 kementerian dan lembaga negara yang dapat diduduki prajurit aktif.
Hal tersebut sontak memantik perdebatan. Ketua Centra Initiative Al Araf menyatakan, perluasan jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh perwira TNI aktif membuka ruang kembalinya doktrin “Dwifungsi” ABRI seperti yang dipraktikan di rezim Orde Baru.
“Hal ini tentunya menjadi kemunduran jalannya reformasi dan proses demokrasi tahun 1998 di Indonesia yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara,” ujar Al Araf, dikutip kompas.com, 11 Mei 2023.
Baca juga: Jenderal Widodo Disingkirkan Soeharto
Sejak Panglima TNI Laksamana Widodo AS “mengembalikan” TNI ke barak, militer Indonesia tak berpolitik praktis lagi. Upaya sang “admiral” mengubur peran yang sudah digeluti militer sejak republik masih "bayi" itu amatlah berani.
Sebelumnya, tentara punya kaki di mana-mana. Di parlemen pun, tentara punya wakil sebuah fraksi. Namanya Fraksi ABRI. Para anggotanya berasal dari empat matra dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), termasuk kepolisian. Para anggota Fraksi ABRI masuk ke DPR bukan berdasarkan perolehan suara dalam Pemilu.
Fraksi ABRI lahir tak sampai setahun setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, di mana Sukarno dengan dukungan tentara membubarkan DPR dan Konstituante yang dipilih oleh Pemilu 1955. Orang terpenting di tentara kala itu KSAD Jenderal Nasution, yang sebelum dekrit pernah mengadu nasib sebagai politisi partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Baca juga: IPKI: Ini Partai Kolonel Indonesia
Dekrit Presiden tersebut adalah permulaan dari masa Demokrasi Terpimpin, yang tak disadari banyak orang sebenarnya didukung oleh tentara. DPR-DPR pilihan Pemili 1955 itu lalu digantikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) yang di dalamnya terdapat wakil dari angkatan bersenjata.
“Pada 25 Juni 1960 para anggota DPR Gotong Royong tersebut dilantik oleh Presiden Sukarno. Itulah sebabnya tanggal 25 Juni 1960 diperingati sebagai hari lahirnya Fraksi ABRI di DPR,” catat Agus Widjojo dalam Transformasi TNI dari Pejuang Kemerdekaan menuju Tentara Profesional dalam Demokrasi.
Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden
Majalah Parlementaria No. 10 tahun 1995 mencatat, pada 1960 ada 35 wakil angkatan bersenjata dari 283 total anggota DPRGR. Seiring berjalannya waktu, jumlah anggota DPR meningkat. Begitu juga wakil ABRI di DPR. Pada 1967, setelah PKI dihabisi, jumlah wakil ABRI menjadi 43 orang. Seperti sebelumnya, persentasenya tetap 12 persen. Pada 1968, persentasenya baru naik menjadi 18 persen. Artinya, dari total 414 anggota DPR pada 1968, terdapat 75 wakil ABRI.
Setelah Pemilu 1971, terdapat 75 anggota Fraksi ABRI di DPR dari 450 keseluruhan anggota DPR. Di antara 75 anggota Fraksi ABRI tersebut terdapat 28 perwira tinggi dari berbagai angkatan. Paling benyak berpangkat kolonel, ada 32 orang. Pangkat tertinggi dipegang Laksamana Madya Udara Moehamad Soedjono. Ia merupakan cucu dari pendiri Sarekat Dagang Islam Haji Samanhudi.
Baca juga: Militer Meminta Sukarno Membubarkan Parlemen
Dari kalangan perwira pertama terdapat Kapten Otiah Nahraeni (dari Korps Wanita Angkatan Laut), Kapten dr. Abdul Gafur (yang sempat jadi menteri Pemuda dan Olahraga), Letnan Saut Hariadi Darmawan, dan Inspektur Satu H. Moch Ilham.
Satu-satunya anggota fraksi ABRI itu yang bukan perwira adalah Pembantu Letnan Satu Sumardjo. Menurut buku Memperkenalkan Anggota-Anggota Dewan Perwakilan Rakjat Hasil Pemilihan Umum 1971, sebelum menjadi anggota DPR, Sumardjo adalah anggota Polisi Militer di KODAM V Jakarta Raya. Pria kelahiran 27 Maret 1928 ini di masa revolusi pernah menjadi anggota Polisi Tentara (PT) dan Tentara Pelajar (TP).
Setelah Pemilu 1977, di DPR masih terdapat 75 anggota Fraksi ABRI. Kali ini dalamnya terdapat dua perwira perempuan, yakni Kolonel Djasmainar Husein dari Polwan dan Mayor KOWAD Tutis Artica Saleh. Pangkat terendah di fraksi ABRI ini adalah Kapten FA Suwarno. Pada 1985, dari total 500 anggota DPR, terdapat 100 wakil ABRI di DPR yang kita kenal sebagai Fraksi ABRI. Sudah pasti selalu ada jenderal dan banyak perwira menengah di dalam fraksi ABRI.
Baca juga: Gedung Parlemen di Antara Dua Rezim
Fraksi ABRI adalah fraksi yang “menjadi kepanjangan tangan” pemerintahan Orde Baru-Soeharto di DPR. Setelah reformasi dan Soeharto lengser dari kursi kepresidenan, fraksi ABRI berubah nama menjadi Fraksi TNI-POLRI, dan anggotanya berangsur dikurangi. Namun setelah Pemilu 2004, fraksi TNI-Polri pamit dari dunia politik.
“Keberadaan Fraksi TNI/Polri di DPR baru berakhir pada 2004 dan DPR periode 2004-2009 yang merupakan hasil Pemilu 2004 telah diisi oleh seluruh anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilu,” tulis Patrialis Akbar dalam Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945.