Kepala Kepolisian Republik Indonesia pertama Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo merupakan seorang spiritualis. Ia aktif dalam beberapa organisasi kebatinan, teosofi maupun vrijmetselarij. Namun, kegiatannya dalam kebatinan ternyata tak mengganggu pekerjaan Soekanto sebagai Kapolri. Pada masa kepemimpinannya (1950-1959) Polri justru berada dalam masa keemasan.
Soekanto pertama kali bergabung dengan vrijmetselarij ketika menjadi polisi Hindia Belanda di Semarang. Ia tercatat sebagai anggota Lodge La Contante et Fidele pada 15 November 1938. Namun, aktivitas vrijmetselarij harus berhenti pada masa pendudukan Jepang dan loji-loji ditutup.
Peneliti Freemason Indonesia, Sam Ardi dalam Dialog Sejarah "Soekanto: Pahlawan Nasional, Bhayangkara, dan Freemason" di saluran Youtube dan Facebook Historia.id, Selasa, 17 November 2020, menyebut bahwa loji-loji mulai bangkit pada 1950. Sementara itu, Soekanto dilantik sebagai murid di Loji Timur Agung yang kemudian menjadi Lodge Agung Indonesia. Dalam Loji Agung Indonesia, kemudian hari Soekanto menjabat posisi prestisius, yakni Penasehat Agung.
Baca juga: Kapolri Total Mendalami Spiritual
“Setelah Guru Agung (Lodge Agung Indonesia) pertama ini pensiun dari jabatan ketua baru, kedudukannya digantikan Pak Kanto yang saat itu posisinya sudah ahli atau mister,” jelas Sam Ardi.
Pengangkatan Soekanto menjadi Guru Agung terjadi pada 1959. Namun Loji Agung Indonesia tak berumur panjang. Organisasi ini dan yayasan yang berinduk di bawahnya dibubarkan Presiden Sukarno pada 1961.
Salah satu yayasan itu adalah Yayasan Raden Saleh. “Yayasan Raden Saleh ketuanya adalah Pak Kanto sendiri,” ungkap Sam Ardi.
Selain itu, jelas Sam Ardi, Soekanto juga aktif dalam organisasi Ancient Mystical Order Rosae Crucis (AMORC). Dalam AMORC, Soekanto juga menjabat sebagai Guru Agung. Jadi dalam satu masa, ia menjabat dua posisi Guru Agung.
Aktivitas Soekanto dalam organisasi-organisasi ini juga beriringan dengan pekerjaannya sebagai kapolri. Dalam periode kepemimpinannya (1950-1959), menurut peneliti sejarah kepolisian Ambar Wulan, Polri berada dalam masa keemasan.
Baca juga: Sebelum Soekanto Jadi Kepala Polisi
Kala itu, untuk pertama kalinya institusi kepolisian mendapatkan wilayah hukum yang sangat luas meliputi seluruh Indonesia kecuali Irian Barat. Meski itu menjadi tantangan berat, Soekanto justru dapat membangun Polri menjadi institusi yang modern dan profesional.
Keinginan Soekanto untuk memajukan polisi, guna menjadi polisi modern, adalah bagaimana meningkatkan persoalan fungsi-fungsi teknis kepolisian. Fungsi-fungsi teknis kepolisian seperti intelijen, Kepolisian Air dan Udara (Polairud), hingga National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia didirikan olehnya. Soekanto juga membangun satuan polisi wanita dan pendidikan-pendidikan polisi untuk meningkatkan SDM kepolisi.
“Apa yang ada polisi sekarang ini dengan segala fungsi-fungsi teknis operasionalnya, ini kan semua karya Sukanto. Hanya tambahan sekarang ini adalah seperti Densus 88, kemudian ada fungsi-fungsi teknis yang baru, cybercrime. Itu kan hanya menyesuaikan ya. Tapi basicly fungsi teknis ini adalah karya Pak Kanto,” jelas Ambar.
Warisan monumental lain Soekanto adalah Markas Besar Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Markas Besar yang dibangun Soekanto ini menjadi bangunan paling megah kedua setelah Istana Negara di masanya.
Baca juga: Misi Rahasia Soekanto Mencari Senjata
Menurut Ambar, Soekanto merupakan seorang yang visioner. Markas Besar dibangun dengan membayangkan bahwa ke depan markas ini akan menampung ribuan polisi, bukan hanya ratusan. Saat itu Polri tumbuh jadi salah satu institusi kepolisian yang modern di Asia.
Masalah teknis di mata Soekanto juga harus diimbangi oleh prinsip kepolisian yang teguh. Soekanto selalu menentang jika persoalan politik praktis dimasukan ke dalam tubuh Polri. “Karena menurut Pak Kanto dengan masuknya persoalan politik di dalam tubuh Polri, ini akan menurunkan profesionalisme teknis kepolisian, dengan sibuk dengan persoalan politik,” ujar Ambar.
Namun, prinsip itu belakangan justru yang menjatuhkan Soekanto dari Kapolri. Beberapa perwira muda yang tidak menyukainya mendatangi Presiden Sukarno dan menginginkan Soekanto diganti. Politik praktis yang dikhawatirkan Soekanto itu ternyata telah masuk ke dalam tubuh Polri.
Selain prinsip anti-politik praktis, Soekanto juga dikenal sebagai polisi jujur. Jika selama ini hanya Hoegeng yang sering dipuji soal itu, Soekanto adalah gurunya Hoegeng. Ketika memberi sambutan pada pemakaman Soekanto pada 14 Desember 1993, Hoegeng mengatakan, “Tanpa Pak Kanto polisi sudah berantakan.”
Baca juga: Soekanto Dikudeta di Tengah Prahara
Sam Ardi menambahkan, hal itu menunjukkan bahwa kegiatan Soekanto dalam organisasi kebatinan ternyata tidak mengganggu profesionalismenya sebagai kapolri. Pasalnya, meski aktif dalam organisasi, Soekanto baru diangkat sebagai Guru Agung setelah pensiun dari Polri.
“Yang sering diserang, Pak Kanto itu kan karena dia ikut vrijmetselarij sehingga terbengkalai dan sebagainya dan sebagainya. Ini sudah berhenti kok, sudah berhenti menjadi polisi baru menjadi Guru Pengarso dari Lodge Agung Indonesia sampai tahun 1961,” kata Sam Ardi.
Atas berbagai kontribusinya dalam membangun Polri, pada 10 November 2020 Soekanto Tjokroatmodjo diangkat sebagai Pahlawan Nasional oleh Presideen Joko Widodo.