Presiden Joko Widodo mengunjungi Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, sejak Selasa, 31 Mei 2022 untuk memperingati Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni. Ende dipilih Jokowi karena pernah menjadi tempat pengasingan Sukarno selama empat tahun sejak 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938.
Jokowi mengujungi beberapa situs bersejarah seperti rumah pengasingan Bung Karno hingga tempat di mana Bung Karno kerap berkontemplasi.
“Jejak Bung Karno masih terlihat di rumah itu berupa berbagai macam barang peninggalan sang Proklamator, lukisan tangannya, juga naskah drama sandiwara yang ditulisnya,” tulis Jokowi dalam akun Twitter resminya @jokowi, Rabu, 1 Juni 2022.
Keberadaan Ende sangat penting dalam sejarah Indonesia karena Bung Besar pernah diasingkan di kota ini selama empat tahun. Tak hanya itu, Sukarno mengatakan bahwa di kota inilah ia mendapat ilham revolusi Indonesia, seperti diceritakannya kepada Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Baca juga: Ende, Ujung Dunia Sang Orator
Sukarno menceritakan pohon sukun yang kerap ia datangi untuk menyendiri. Pohon itu berdiri di atas bukit kecil yang menghadap ke teluk. Di sini, ia mendapatkan pemandangan yang tidak ada batasnya, tempat ia melamun selama berjam-jam.
Sukarno biasa datang pagi hari untuk duduk-duduk di pohon sukun itu. Meski kadang udara laut membuatnya menggigil, namun ia tetap duduk dengan tenang. Ia merasa kekuatan gaib memaksanya ke tempat itu setiap hari.
Baca juga: Kisah Sukarno dan Pohon-pohonnya
“Aku memandang lautan dengan hempasan gelombang yang besar berirama memukul pantai. Dan aku tak henti-hentinya berpikir bagaimana lautan tidak pernah bisa diam. Memang ada pasang naik dan pasang surut, tapi ia terus bergulung secara abadi. Itu sama dengan revolusi kami, pikirku,” kata Bung Karno.
“Revolusi kami tidak akan pernah berhenti. Revolusi kami seperti juga lautan, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu … aku harus tahu … Bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah hukum dari Yang Maha Ada,” lanjutnya.
Menurut Frans Sarong dalam “Kisang Bung Karno di Ende (1)” yang termuat dalam Kisah Istimewa Bung Karno, pohon sukun itu berjarak sekira 700 meter dari rumah Bung Karno. Kini lokasinya berada di tepi Lapangan Perse Ende. Namun, pohon sukun yang menjadi saksi sejarah itu telah mati pada 1970-an. Pemerintah setempat kemudian menggantinya dengan anakan pohon yang sama di lokasi serupa. Pohon itu kini diberi nama Pohon Pancasila.
Selain sering berkontemplasi, Sukarno juga aktif dalam pertunjukan drama. Ia menulis naskah hingga segala urusan panggung. Beberapa naskah yang ia tulis misalnya Rahasia Kelimoetoe, Taoen 1945, Nggera Ende, Koetkoetbi, dan Dr. Sjaitan.
Baca juga: Negara Teater dan Teater Negara Bung Karno
Budayawan Taufik Rahzen dalam dialog sejarah bertajuk “Drama Bung Karno” di Youtube Historia.ID, mengatakan bahwa tema-tema yang dikembangkan Bung Karno selama empat tahun di Ende, sebenarnya semua kode rahasia yang digunakan untuk memberikan sinyal kepada gerakan perjuangan karena surat-surat sulit, disensor pemerintah kolonial.
“Coba lihat Koetkoetbi. Itu sebenarmya kode: ‘Kalian harus mulai menghimpun diri untuk membangun gerakan bawah tanah’. Atau ketika menulis Taoen 45, di mana itu kode bahwa Asia mungkin akan masuk ke dalam fase baru pada 1945,” kata Taufik.
Baca juga: Membaca Sejarah Bangsa dari Arsip Sukarno
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) merilis sejumlah arsip terkait Bung Karno di Ende dalam pameran arsip virtual “Ende dan Nilai-Nilai Pancasila” mulai 1 Juni 2022. Pameran ini menyajikan arsip peta wilayah Timor en Onderhoorigheden atau kini Flores, rancangan pangkalan kapal di Ende pada 1914, hingga foto-foto kunjungan Bung Karno ke Ende pada 1954.
Terdapat pula beberapa surat dan catatan pemerintah kolonial Hindia Belanda tentang pengasingan Bung Karno. Misalnya surat keputusan pengasingan yang dikeluarkan Gubernur Jenderal De Jonge pada 28 Desember 1933. Disebutkan bahwa pengasingan Sukarno disertai oleh istrinya Inggit Garnasih, anak angkatnya Ratna Djuami, dan mertuanya Ibu Amsi. Mereka berangkat dari Surabaya menuju Flores menumpang kapal barang KM van Riebeeck.
Selain itu masih ada surat lain seperti surat asisten residen Flores kepada residen Timor en Onderhoorigheden tanggal 11 Desember 1935 mengenai tunjangan Sukarno selama di Flores. Beberapa foto lawas orang-orang Ende dan kebudayaannya pada masa kolonial juga ditampilkan dalam pameran ini.