Saat di penghujung waktu kekuasaannya, Presiden Sukarno pernah dikunjungi oleh sahabat lamanya Muriel Stuart Walker alias Ktut Tantri di Istana Bogor. Ktut yang datang bersama Dewi A. Rais Abin, disambut hangat oleh Bung Karno. Terjadilah perbincangan kecil yang sempat direkam oleh Dewi dalam bukunya, Hidajat: Father, Friend and A Gentleman.
“Ktut, nowadays we have Old Order and New Order! (Ktut, sekarang ini kita memiliki dua masa: Orde Lama dan Orde Baru!)” ujar Bung Karno secara tiba-tiba.
“I don’t mint Bung, wether there is Old Order or New Order as long as there is order (Mau Orde Lama atau Orde Baru, selama ada tata tertib dan ketenteraman, itu tidak masalah Bung),” jawab Ktut.
Baca juga: Riwayat Radio Pemberontakan Bung Tomo
Banyak kalangan selama ini mengira istilah “Orde Baru” diciptakan oleh Jenderal Soeharto, seiring naiknya dia ke tampuk kekuasaan pasca tergulingnya Presiden Sukarno. Namun menurut jurnalis senior Jopie Lasut, sejatinya istilah itu diperkenalkan oleh kelompok Jenderal A.H. Nasution. Sebutan Orde Baru dimunculkan untuk membedakannya dengan Orde Lama yang merupakan orde pemerintahan Sukarno.
“Orde Baru terbentuk dengan dukungan generasi muda dan sebagian tentara yang tidak mau melanjutkan Demokrasi Terpimpin…” ungkap Jopie Lasut dalam bukunya, Kesaksian Seorang Jurnalis Anti Orde Baru: Malari Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orde Baru.
Jenderal Nasution sendiri tak pernah mengakui secara tegas bahwa istilah Orde Baru adalah ciptaannya. Dia malah menyebut, istilah Orde Baru dan Orda Lama mulai populer dalam sidang-sidang yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada awal 1967.
“Orde lama sebagai yang menyelewengkan UUD dan Orde Baru sebagai pengoreksi,” ungkap Nasution dalam otobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru.
Baca juga: Mengenang Si Lawan Tanding Rezim Orde Baru
Sejatinya istilah Orde Baru mulai dipatenkan secara definitif dalam Musayawarah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 17-21 Juli 1966. Mereka menyebut Orde Baru sebagai suatu sistem atau cara berpikir, bersikap dan bertindak yang selaras dengan aspirasi perjuangan dan perkembangan masyarakat serta nilai-nilai peradaban manusia.
Secara tegas Musyawarah KAMI menyatakan bahwa keberadaan Orde Baru merupakan antitesa dari Orde Lama. Sebagai suatu sistem atau cara berpikir, bersikap dan bertindak yang tidak sesuai dengan aspirasi perjuangan dan perkembangan masyarakat serta nilai peradaban manusia, Orde lama wajib dilawan.
Dalam Seminar Angkatan Darat (AD) yang dilangsungkan pada 25-31 Agustus 1966 di Bandung, Jenderal Soeharto menegaskan bahwa dalam perseteruan antara kekuatan Orde Lama versus Orde Baru, maka tidak ada cara lain ABRI memilih untuk berada di kubu Orde Baru.
Baca juga: Asal-usul Istilah Orde Baru
Menurut Nasution, pernyataan Soeharto itu sudah sangat tepat. Mengapa? Karena jika ABRI/ AD berdiri netral terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi Orde Baru, maka ia mengingkari peran serta panggilan sejarahnya.
“Tanpa memihak Orde Baru, maka stabilitas politik, stabilitas ekonomi dan Tritura tidak akan dapat tercapai,” tulis Nasution.
Pasca tersingkirnya Sukarno, Orde Baru pun berjanji akan membangun ekonomi rakyat dan meningkatkan taraf hidup, kesehatan, pendidikan serta kesehjateraan. Setelah sepuluh tahun berkuasa, janji itu memang terwujud namun sonder peningkatan taraf pendidikan dan kesejahteraan.
Sebaliknya dari sisi kebebasan berekspresi (terutama ekspresi politik), menurut Jopie Lasut, pemerintahan Orde Baru tidak lebih baik dibandingkan pemerintahan Orde Lama. Bukan rahasia lagi jika Jenderal Soeharto dikenal sebagai penguasa yang tak memiliki toleransi terhadap para pengeritiknya.
“Dalam waktu beberapa tahun, elite Orde Baru yang intinya terdiri atas faksi militer yang didukung oleh sekelompok kecil sipil terbukti telah banyak mengasingkan sekutu aslinya,” ungkap Jopie.
Baca juga: Purwodadi: Skandal Pertama Orde Baru
Sejarah mencatat, begitu banyak pendukung Orde Baru, baik dari kalangan sipil maupun kalangan militer yang kemudian disingkirkan dan dipenjarakan. Sebut saja misalnya A.H. Nasution, H.R. Dharsono, Kemal Idris dan banyak eks perwira-perwira tinggi lainnya yang pada awal pendirian Orde Baru begitu loyal terhadap Soeharto.
Kendati mengklaim berbeda dan bertentangan dalam hal misi, pengamat politik dan militer Indonesia Ulf Sundhaussen menyebut sejatinya tak ada perbedaan yang berarti terkait corak kekuasaan antara Orde Lama dengan Orde Baru. Keduanya sama-sama memiliki watak otoriter. Namun dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967: Menuju Dwifungsi ABRI, Ulf menilai Jenderal Soeharto lebih memiliki “strategi yang lebih halus dan hati-hati” dibandingkan Bung Karno yang dikenal selalu berapi-api.