Ketika bekerja di atase pers dan kebudayaan di Kedutaan Besar Indonesia di Manila, Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, berteman dekat dengan beberapa jurnalis Filipina. Salah satunya Benigno “Ninoy” Aquino yang bekerja di The Manila Times sebagai koresponden perang termuda dalam Perang Korea pada 1950 dan koresponden asing di Indo-China sampai 1954.
Des Alwi mengajak Aquino dan tiga jurnalis ke Manado menjelang meletusnya Permesta. Mereka bertemu dengan Letkol Ventje Sumual, pemimpin Permesta.
“Gara-gara ini saya dituduh mendukung pemberontakan Permesta,” kata Des Alwi dalam memoarnya di majalah Tempo, 25 November 2007. “Saya menetap di Malaysia setelah dituduh mendukung gerakan Permesta di Sulawesi Utara.”
Jakarta marah besar. Namun, inisiatif Des Alwi itu bermanfaat di kemudian hari ketika Jakarta salah perhitungan dalam menyikapi perkembangan politik di Filipina.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Permesta (Piagam Perjuangan Semesta Alam) dideklarasikan pada 2 Maret 1957. Permesta kemudian bergabung dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dideklarasikan pada 15 Februari 1958. Sesuai dengan tuntutannya, gerakan PRRI/Permesta merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang mengeksploitasi kekayaan daerah dan menumbuhkan kelompok komunis serta mengajaknya duduk dalam kabinet.
PRRI/Permesta mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan sekutunya, Filipina, Taiwan, dan Korea Selatan, yang khawatir dengan menguatnya komunis di Indonesia. Dukungan persenjataan dan lainnya disalurkan lewat operasi CIA.
Ventje Sumual dan Sumitro Djojohadikusumo mengadakan kontak pertama dengan orang CIA pada Januari 1958 di Singapura. Selanjutnya, CIA di Singapura menangani bantuan untuk PRRI di Sumatra, sedangkan CIA di Manila, Filipina memberikan dukungan kepada Permesta di Sulawesi Utara.
Baca juga: Senjata CIA untuk PRRI
Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953–1963, pada 22 Februari 1958, pemerintah pusat mengebom Manado sebagai tanggapan atas bergabungnya Permesta dengan PRRI. Pada hari yang sama, perwakilan Permesta, Mayor Jan Maximillian Johan Pantouw, bertemu dengan Joe Tonio, seorang pejabat intelijen Filipina yang ditunjuk sebagai penghubung dengan para pemberontak Permesta di Manila.
“Pantouw juga bertemu pejabat CIA Cecil Cartwright yang memberinya enam pucuk senapan mesin kaliber 50 sebagai tanda bahwa dia bersedia membantu para pemberontak di Sulawesi,” tulis Baskara.
Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI
Dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin menyebut bahwa Filipina bekerja sama dengan Amerika Serikat menyediakan kamp-kamp latihan, seperti di Lapangan Terbang Clark milik Amerika Serikat yang digunakan para pemberontak dan pilot asing (Taiwan, Filipina, dan Amerika Serikat) yang dikontrak oleh CIA untuk bekerja bagi Permesta.
“Sejumlah orang Filipina bekerja untuk CIA dalam bidang logistik selama operasi berlangsung dan orang Filipina paling penting adalah Benigno Aquino,” tulis Kahin.
Atas permintaan Presiden Carlos Garcia, Aquino menyediakan hasienda milik keluarganya, Hacienda Lusita di Tarlac, sebagai kamp latihan bagi para pemberontak. Garcia juga mengirim Aquino dan dua teknisi radio militer ke Manado pada awal Februari 1958 untuk membangun pemancar radio rahasia untuk melaporkan perkembangan di Sulawesi.
Juru Bayar CIA
Kahin mengungkapkan bahwa tugas Aquino yang paling penting selama empat bulan di Manado adalah menyalurkan dana dari Amerika Serikat bagi para pemberontak. Menurut teman dekatnya, Senator Jose Diokno, Aquino diangkat oleh Presiden Garcia menjadi salah seorang juru bayar utama atas dana yang disalurkan oleh pejabat CIA melalui kantor presiden Filipina untuk membiayai operasi-operasi militer Permesta. Diokno dan Aquino berteman dekat ketika menjadi tahanan rezim Presiden Ferdinand E. Marcos.
Salah seorang pengecam dukungan Filipina kepada para pemberontak adalah Jose Fuentabella, duta besar Filipina untuk Indonesia. Dia mendapat dukungan dari para anggota kongres.
Menurut Kahin, Fuentabella secara terbuka menentang Presiden Garcia, Menteri Pertahanan Jesus Vargas, dan Menteri Luar Negeri Serrano. Pers Filipina menyebut Serrano sebagai “alat Amerika Serikat”. Sedangkan Vargas sangat keras mengkritik pemerintahan Sukarno dan menuduh para teknisi dan pakar militer Uni Soviet membantu pemerintah pusat.
Baca juga: Ironi Operasi CIA di Indonesia
Sikap Fuentabella sama seperti John M. Allison, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia yang menentang dukungan Amerika Serikat dan CIA kepada PRRI/Permesta. Akibatnya, atas rekomendasi CIA, Allison dicopot dari jabatannya, lalu dipindahkan ke Cekoslowakia.
Filipina menghentikan dukungannya setelah Allen Lawrence Pope, pilot CIA yang bekerja untuk Permesta, ditembak jatuh dan ditangkap pasukan pemerintah pusat pada 18 Mei 1958. Amerika Serikat segera mengubah arah kebijakannya tanpa memberi keterangan lengkap kepada Filipina. Baru pada Juli 1958, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Manila melaporkan mengenai kemarahan Menteri Luar Negeri Serrano karena Amerika Serikat tidak memberitahukan perubahan itu.
“Aquino lalu membuat laporan akhir bagi Garcia dan melaporkan dia juga akan meninggalkan Manado,” tulis Kahin.
Baca juga: Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon
Menurut Kahin, di Manado pada 1958, Aquino menyamar sebagai wartawan untuk The Manila Times. Sebab, pada 1955, dia telah memulai karier politiknya sebagai walikota termuda (22 tahun) di kampung halamannya, Concepcion.
Aquino kemudian menjabat wakil gubernur termuda (27 tahun) di Provinsi Tarlac pada 1959. Ketika gubernur mengundurkan diri pada 1961, dia menggantikannya sebagai gubernur termuda di Provinsi Tarlac. Pada 1967–1972, dia menjadi senator Filipina.
Ensiklopedia Britannica mencatat bahwa Aquino seolah-olah berencana mencalonkan diri sebagai presiden pada 1973. Presiden Ferdinand E. Marcos menggagalkannya dengan mengumumkan darurat militer. Aquino tampil sebagai pemimpin oposisi menentang darurat militer. Dia dipenjara lebih dari tujuh tahun dan dijatuhi hukuman mati pada November 1977. Pada 1980, Marcos meringankan hukumannya dan mengizinkannya pergi ke Amerika Serikat untuk operasi jantung.
Baca juga: Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta
Aquino kembali ke Filipina setelah darurat militer dicabut. Dia ditembak mati di Bandara Internasional Filipina pada 21 Agustus 1983. Pembunuhan itu memicu gerakan oposisi populer yang memuncak pada people power yang menjatuhkan Marcos dan menaikkan istrinya, Corazon “Cory” Aquino, ke tampuk kekuasaan pada 1986. Kelak, anak mereka, Benigno “Noynoy” Aquino III, terpilih sebagai presiden Filipina pada 2010.
Dalam wawancara dengan Tempo, Des Alwi menceritakan bahwa Jakarta khawatir dengan people power di Filipina. Dengan alasan demi menumpas gerakan komunis di sana, Jakarta mengirim pesawat untuk menolong Ferdinand Marcos. Ternyata, rezim Marcos tidak bertahan. Des Alwi pun diutus ke Filipina untuk memperbaiki hubungan Jakarta-Manila. Kepada Cory Aquino, dia tidak langsung membahas pentingnya hubungan bilateral Indonesia-Filipina.
“Dia menceritakan persahabatannya dengan suaminya, Benigno ‘Ninoy’ Aquino, yang bahkan membuat Jakarta menuduhnya simpatisan Permesta, dan berakhirlah ketegangan itu,” tulis Tempo.