“Tulis, tulis di situ, pada biografiku, bahwa aku betul-betul bermental kolonial,” kata Arnold Mononutu kepada Ruben Nalenan ketika hendak menulis biografinya. Biografi berjudul Arnold Mononutu, Potret Seorang Patriot itu kemudian terbit pada 1981 dan Nalenan menuliskan dengan jujur siapa Mononutu. Tanpa menutupi bagian-bagian minus dari sang tokoh, sesuai keinginan Mononutu sendiri.
Begitulah Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu. Pria kelahiran Manado, 4 Desember 1896 ini menyadari bahwa ia pernah menjadi seorang yang sangat bermental kolonial. Ayahnya adalah elite Minahasa yang bekerja sebagai pegawai keuangan pemerintah Hindia Belanda.
Beragam keistimewaan bisa dinikmatinya. Terutama soal pendidikan, Mononutu mendapat jalan yang lebar. Tamat dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS), ia melanjutkan ke Middelbare Handels School di Jakarta hingga 1920. Ia kemudian ke Belanda untuk studi perbandingan kesusastraan Inggris, Belanda dan Prancis (1920-1924).
Baca juga: Sultan Baabullah, Pahlawan Nasional dari Ternate
Menurut Sunario dalam Arnold Mononutu, Ayam Jantan dari Indonesia Timur, Mononutu suka bergaul dengan orang-orang Belanda serta dansa-dansi dengan noni-noni. Kehidupan di Belanda awalnya memang membuai Mononutu.
“Bahkan ia suka hidup ‘parlente’ seperti Alex Maramis, Latuharhary, yang di antara kami dapat julukan boulevardier (yang suka melancong sepanjang trotoar jalan raya), selalu memakai kaus tangan sambil memegang tongkat di tangannya,” tulis Sunario.
Namun, lambat laun ia mulai memiliki perhatian terhadap politik. Selain mulai sering mengunjungi ceramah dan kuliah Akademi Hukum Internasional di Vradespaleis, Den Haag, Mononutu bergaul dengan para pelajar seperti Ahmad Subardjo, Hatta, hingga Cipto Mangunkusumo.
Mononutu juga sempat kuliah hukum internasional di Ecole Libre des Sciences Politique et Morales, Paris. Selama kuliah di Paris, ia menjabat sebagai wakil ketua Perhimpunan Indonesia (PI) cabang Paris. Peran penting yang dimainkannya selama periode ini adalah berusaha menjalin komunikasi dengan pelajar-pelajar Asia lain. Pasalnya, di Prancis mereka tidak menggunakan bahasa Inggris. Sementara, Mononutu menguasai tiga bahasa: Inggris, Belanda, dan Prancis.
Baca juga: Sultan Hamid II dan Polemik Gelar Pahlawan Nasional
Setelah kembali ke Indonesia, pada 1927 Mononutu menjadi anggota Partai Nasional Indonesia. Ia turut bicara dalam rapat terbuka di Logegebouw yang dipimpin HOS Tjokroaminoto. Mononutu mengecam Belanda karena menahan empat mahasiswa Indonesia di Den Haag. Ia kemudian juga mengumpulkan bantuan dana untuk para mahasiswa di Belanda.
Dalam Kongres Pemuda II, Mononutu turut dalam braintrus yang diadakan sebelum kongres. Sebagai tokoh Minahasa, Mononutu mewakili Persatuan Minahasa dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu.
Pasca-kemerdekaan, Mononutu memimpin redaksi Menara Merdeka di Ternate sambil memimpin Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Indonesia Timur. Dalam Konferensi Meja Bundar, ia hadir sebagai Wakil Ketua Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) dan wakil dari Fraksi Progresif. Pada 18 Februari 1948, sebagai Ketua Misi Muhibah Parlemen NIT ke Yogyakarta, Mononutu menyatakan bahwa NIT berbulat tekad untuk bergabung dengan Republik Indonesia.
Setelah Republik Indonesia Serikat berdiri, Mononutu dipercaya menjadi menteri penerangan Kabinet RIS. Peran Mononutu semakin penting mengingat Republik tengah menghadapi Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), pemberontakan Andi Aziz, dan Republik Maluku Selatan pimpinan Dr. Soumokil.
Ia kembali diangkat menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Sukiman dan Kabinet Wilopo sebelum diangkat menjadi Duta Besar RI di RRT Pada 1953. Setelah itu, Mononutu menjadi anggota Konstituante.
Baca juga: Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
Di Konstituante, Mononutu aktif memperjuangakan hak-hak agama minoritas. Mohammad Natsir menyebutnya seorang Kristen yang nasionalis. Natsir sepaham dengan Mononutu mengenai desekulerisasi Pancasila. Sila pertama mesti sebagai dasar dari sila-sila yang lain sehingga membuat Pancasila tidak hanya bersifat materialistis.
“Natsir menganggap tafsir Mononutu itu sebagai tafsir dan penilaian baru –malah yang paling terbaru– terhadap Pancasila, setelah berbagai penafsiran sejak tahun 1945,” tulis Lukman Hakiem dalam Biografi Mohammad Natsir.
Namun, Mononutu dan Natsir bersilang pendapat terkait Islam sebagai dasar negara. Jika Islam menjadi dasar negara, Mononutu sangat khawatir hak-hak agama minoritas akan hilang. Diskriminasi juga akan terjadi terutama terkait kepemimpinan maupun jabatan di pemerintahan.
Baca juga: Menanti Gelar Pahlawan Nasional untuk Ali Sastroamidjojo
Di masa Demokrasi Terpimpin, Mononutu menjadi anggota MPRS (1962) dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1964-1966). Sempat menjadi rektor Universitas Hasanuddin (1960-1965), Mononutu terakhir menjabat sebagai Pegawai Tinggi Utama Madya yang diperbantukan pada Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP).
Mononutu meninggal dunia pada 5 September 1983 dan dimakamkan di TMP Kalibata. Ia menjadi salah satu yang terakhir dari generasi Hatta dan kawan-kawan. Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2020, Almarhum Mononutu mendapat gelar Pahlawan Nasional dari Presiden Joko Widodo.