Jangan pernah menyia-nyiakan kesempatan, sebab kesempatan tak datang dua kali. Begitu kata pepatah. Sekali gagal memanfaatkannya, nasib baik bisa jadi takkan pernah menghinggapi hidup kita lagi.
Itulah yang dialami Philip Roeland Sigar di pedalaman Minahasa. Di zaman Hindia Belanda, ketika tak semua orang bisa membaca dan menulis Latin akibat akses pendidikan hanya untuk kalangan bangsawan, Philip bisa mendapatkannya. Bahkan, dengan kemampuan baca-tulis Latin itu dia sampai bisa bekerja sebagai juru tulis di pemerintahan sekitar 1870-an.
Namun, Philip tak memanfaatkan kesempatan itu dengan sebaik mungkin. Kariernya pun buruk. Pada 1878 ketika usianya 20-an tahun, kata koran Bataviaasch handelsblad edisi 11Desember 1878, Philip diberhentikan dari pemerintahan sipil sebagai juru tulis di bagian Sekretariat Umum.
Hidup Philip Roeland Sigar pun kemudian berantakan. Dia lalu berlayar ke Singapura, koloni Kerajaan Inggris di Selat Malaka. Namun hidupnya di Singapura bertambah rumit. Philip dituduh menipu beberapa orang. Jika ditotal, nilai kerugian yang dibuatnya mencapai 5.000 dolar. Begitu yang diberitakan koran Java Bode tanggal 10 April 1885.
Akibat penipuan yang dilakukannya itu, Philip diadili oleh pengadilan di Singapura pada Mei 1882. Namun, Philip tak menyelesaikan proses hukumnya lantaran berhasil kabur. Pemerintah setempat masih mencarinya hingga pertengahan tahun 1885.
Philip, kata Java-bode, “telah menemukan tempat persembunyian yang bagus di rumah orang tuanya.”
Untuk beberapa saat Philip ngumpet di rumah orangtuanya. Rumah orangtua Philip jauh dari Singapura, butuh berhari-hari pelayaran dari Singapura. Rumah itu berada di Gorontalo, bagian utara pulau Sulawesi.
“Kita ditanya apakah pengurus Gorontalo tidak tahu apa-apa soal ini? Saat itu, konsul Belanda di Singapura menyebarkan permintaan ke seluruh Hindia Belanda bahwa jika orang tersebut muncul, ia harus ditangkap dan diekstradisi ke pengadilan Inggris,” begitu koran Java Bode mewartakan.
Pemerintah kolonial Inggris tampak berharap untuk bisa mengadili Philip dan jika terbukti berhasil, akan menghukum Philip di Singapura. Setelahnya, tak ada lagi cerita mengenai Philip. Hanya diketahui, makamnya kemudian ada di Langowan, dekat makam Mayor Benjamin Thomas Sigar.
Nama belakang Philip kebetulan sama dengan nama salah satu orang berpengaruh di Minahasa. Sebelum pertengahan 1885, di Minahasa, tepatnya di Langowan, ada seorang kepala distrik yang disebut Hukum Besar dengan gelar Mayor. Nama kepala distrik itu Lourens Roeland Sigar. Dia berkuasa di sana dari 1870 hingga 1884.
Lourens Roeland Sigar jelas orang kaya di Langowan, sebagaimana disebut koran Soerabaijasch Handelsblad tanggal 3 Oktober 1879. Dia memiliki tanah seluas sekitar 230 bau (1 bau = 0,7 atau 0,8 hektare) di Noongan, sebuah daerah di antara Langowan dan Ratahan. Lahan tersebut dibelinya dari masyarakat setempat sekitar tahun 1875. Dia dianggap berhak memiliki tanah tersebut karena dia adalah orang Minahasa. Dia berharap tanah tersebut bisa disewakannya kepada orang-orang Eropa. Desa Noongan belakangan dikenal orang Minahasa sebagai daerahnya keturunan Belanda.