Jelang hari Valentine tahun 1946, sebuah pesta ulang tahun diadakan di rumah keluarga Servius Dumais Wuisan. Kepala keluarga ini dikenal dengan Mais Wuisan. Rupanya itu hanya kedok yang bagus untuk rapat rahasia.
Rapat rahasia yang dipimpin oleh Charles Chosei Taulu itu memutuskan untuk bergerak pada pukul 03.00 dini hari pada 14 Februari 1946. Rapat yang dibalut pesta ulang tahun itu tentu saja merepotkan Petronella Maas Tangkilisan, istri Mais Wuisan.
“Sudah tentu ibu Maas Wuisan harus mengalihkan perhatian umum dari rapat tertutup ini ke arah pesta ulang tahun yang dibuat-buat itu,” catat Ben Wowor dalam Sulawesi Utara Bergolak: Peristiwa Patriotik 14 Februari 1946 dalam Rangka Revolusi Bangsa Indonesia. Maksudnya untuk mengelabui aparat Belanda.
Pesta menjadi budaya yang umum di Sulawesi Utara. Namun, pesta yang diadakan keluarga Wuisan-Tangkilisan itu tentu menjadi penting bagi sejarah Indonesia. Setelah pesta tersebut bubar, peserta rapat pun telah sepakat.
Baca juga: Maria Walanda Maramis, Pahlawan Nasional dari Sulawesi Utara
Para peserta rapat dan kolega lainnya bergerak. Meski pada 10 Februari 1946, Wuisan dan Taulu ditangkap Militaire Politie (Polisi Militer Belanda). Beberapa orang sipil seperti John Rahasia dan Mat Canon juga ditahan.
Pada hari yang telah ditetapkan, meski kekuatan sudah digembosi Belanda, Kopral Mambu Runtukahu bersama delapan anak buahnya dari kompi VII, membawa bedil kosong. Namun, itu cukup untuk menakuti penjaga gudang senjata dan sel tempat menahan Taulu-Wuisan di Asrama Teling, Manado.
Tak hanya itu, anasir revolusiner KNIL itu juga ada yang bergerak ke kota Tomohon. Mereka dipimpin Freddy Lumanauw dan Sersan Frans Bisman yang membawa dua peleton KNIL revolusioner untuk merebut Tomohon yang terkenal dengan Pasar Berimannya. Mereka naik jip ke sana.
Baca juga: Sersan Jawa dalam Peristiwa Merah Putih di Manado
Gerakan anggota KNIL, yang dibantu pemuda-pemuda sipil pendukung Indonesia, berhasil menahan banyak orang Belanda. Perebutan kekuasaan itu berhasil dan bendera merah putih dikibarkan. Peristiwa Merah Putih itu menegaskan bahwa orang Sulawesi Utara di awal kemerdekaan sudah mendukung Republik Indonesia.
“Kudeta ini berhasil meneguhkan Kawanua di luar daerah yang sedang diteror pada masa bersiap tersebut dan menunjukkan kapada suku lain bahwa Minahasa bukanlah antek-antek Belanda,” kata sejarawan Minahasa, Bode Talumewo. Peristiwa itu membantah bahwa orang Minahasa termasuk yang pro-Belanda. Bode menyebut pendukung Belanda di Minahasa hanya sekitar 20 persen.
Setelah kudeta itu dibentuk Tentara Rakyat Indonesia Sulawesi Utara (TRISU). Mulanya yang ditunjuk jadi panglima TRISU adalah Kapten KNIL Jan Kaseger, namun ia menolak. Akhirnya, Taulu jadi panglima dan Wuisan jadi wakilnya dengan pangkat mayor TRISU. Sayangnya, kudeta anggota KNIL revolusioner itu kemudian digulung aparat Belanda. Sehingga para pemimpinnya ditangkapi.
Baca juga: Arnold Mononutu, Putra Minahasa jadi Pahlawan Nasional
Koran Het Dagblad, 1 Agustus 1946 menyebut Mais Wuisan ditahan enam tahun. Sementara Taulu ditahan sepuluh tahun, Nelwan delapan tahun, dan Bisman empat tahun. Mais Wuisan harus meninggalkan Maas Wuisan yang dikenal sebagai tokoh wanita di Manado.
Maas Wuisan atau Maas Tangkilisan, menurut Perry Tangkilisan, adalah adik dari ayahnya, Petrus Muntu-untu Tangkilisan yang ikut menggalang dukungan luar negeri terhadap Republik Indonesia di Australia pada 1945. Dua saudara lainnya, Peils Maurits Tangkilisan yang pernah jadi kepala daerah di Minahasa, dan Paulina M. Tangkilisan yang pernah menjadi anggota parlemen daerah.
Sebelum ikut memimpin pemberontakan di hari Valentine 1946 itu, Mais Wuisan sebenarnya sudah jadi pekerja yang bergaji lumayan di KNIL. Mais Wuisan adalah seorang sersan di KNIL, sebuah pangkat yang cukup tinggi bagi kebanyakan orang Indonesia di KNIL.
Baca juga: Jenderal-jenderal dari Minahasa
Buku Ringkasan Riwayat Hidup Anggota DPRD-I, Hasil Pemilihan Umum Tahun 1977: Untuk Wilayah Kalimantan & Sulawesi menyebut Mais Wuisan menjadi anggota KNIL sejak 1934 ketika berusia hampir 20 tahun. Ia sempat bertugas di Sumatra Barat. Pada 1937, ia lulus Kaderschool calon kopral di Magelang, lalu pada 1939 lulus Kaderschool calon sersan. Ketika Jepang berkuasa, laki-laki kelahiran Airmadidi, 8 November 1914 ini sempat jadi polisi, lalu jadi tentara lagi setelah Jepang kalah.
Mais Wuisan dibebaskan dari penjara Belanda setelah tahun 1950. Ia tak lagi jadi tentara, tapi jadi polisi di Sulawesi Tengah. Ia menjabat kepala polisi di sana dengan pangkat komisaris. Sejak 1977, Mais Wuisan diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara mewakili Golongan Karya (Golkar).
Mais Wuisan suka nongkrong di warung kopi sebelum pergi ke kantornya sebagai anggota DPRD. “Kalau di Sulut (Sulawesi Utara) beliau dikenal di kalangan anak muda/pemuda karena akrab dengan mereka. Suka nongkrong di sekretariat KNPI Sulut,” kata putrinya, Hetty Wuisan. Menurut Hetty, ia sosok yang keras dan penuh kepedulian.
Mais Wuisan meninggal dunia pada 25 Februari 1980 di usia 65 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kairagi, Manado, Sulawesi Utara.*