SEKIRA 250 ribu jamaah yang menyesaki kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur, Palestina, mendirikan shalat tarawih berjamaah dengan khusyuk di malam Lailatul Qadar, Rabu (27/4/2022) waktu setempat. Pelaksanaan ritual itu berjalan lancar walau di luar kompleks masjid, di jalan-jalan Kota Tua Yerusalem, maupun di pos jaga Qalandia tetap diawasi pasukan Israel dengan ketat. Pun ketika selesai, 250 ribu jamaah itu keluar dari kompleks Al-Aqsa dengan tertib.
Pengawalan pasukan itu merupakan realisasi dari pernyataan pemerintah Israel yang mengklaim akan tetap mempertahankan status quo kompleks Masjid Al-Aqsa yang steril dari non-muslim. Kompleks Masjid Al-Aqsa sendiri berlokasi di kawasan Har Bayit (Bukit Kuil, sebutan Yahudi) atau Al-Haram ash-Sarif (Tempat Suci, sebutan Arab) yang merupakan kawasan suci bagi tiga agama samawi: Islam, Yahudi, dan Kristen. Selain kompleks Al-Aqsa, di sana juga terdapat Tembok Ratapan yang jadi tempat suci Yahudi.
Suasana tarawih Rabu itu berbeda dengan suasana dua pekan lalu, yang penuh teriakan dan jeritan muslim Palestina maupun letupan senjata pasukan Zionis Israel. Pada Jumat pagi, 15 April 2022, kompleks Al-Aqsa diserbu pasukan Israel. Dengan arogan pasukan Israel menggeruduk masjid, menahan 400 orang, dan melukai 150 lainnya dengan granat kejut dan peluru karet.
Baca juga: Nasib Tragis Desa Palestina yang Dibantai Zionis
Kisruh itu berawal dari pernyataan sekelompok akvitis garis keras Zionis yang ingin melakoni upacara kurban untuk Hari Raya Pesakh di kompleks Masjid Al-Aqsa. Rencana itu pun diprotes keras umat Islam.
Pihak Israel mengklaim bahwa mereka hanya melakoni langkah preventif. Mereka masuk ke halaman masjid untuk menangkapi ratusan pembuat onar yang diklaim berniat menyerang Tembok Ratapan dengan batu dan mercon sebagai balasan para aktivis Zionis.
“Orang-orang bertopeng melempar batu dan menyalakan petasan, menodai Masjid Al-Aqsa. Kontras dengan laporan-laporan palsu, pasukan polisi tidak memasuki (bagian dalam) masjid,” ungkap Kementerian Luar Negeri (kemlu) Israel di akun Twitter resminya, @IsraelMFA, 15 April 2022.
Baca juga: Prahara Yerusalem
Pernyataan itu justru kontras dengan yang terjadi di lapangan. Al Jazeera mengunggah video yang menyatakan sebaliknya. Di atas sajadah merah panjang yang membentang di dalam Masjid Al-Aqsa, tampak belasan orang ditahan dengan tangan terikat ke belakang. Terdengar lantang pula teriakan polisi-polisi Israel bersenjata lengkap dan masih mengenakan sepatu boot menodai tempat suci tersebut.
“Mereka (pasukan Israel) dengan brutal mengosongkan kompleks (masjid). Mereka menyerang staf masjid, jamaah, baik tua maupun muda. Banyak yang terluka, mereka menembakkan peluru karet di dalam kompleks Masjid Al-Aqsa. Mereka memukuli semua orang, bahkan paramedis juga dipukuli,” kata Rami al-Khatib, kameramen Palestina yang juga terluka, kepada Al Jazeera, 15 April 2022.
Gambaran itu jadi bukti nyata pihak zionis Israel untuk kesekian kalinya menodai Masjid Al-Aqsa. Tak ayal Israel banjir kecaman, termasuk dari Yordania yang menuntut Israel untuk bersungguh-sungguh dan konsisten pada pernyataannya memulihkan status quo Masjid Al-Aqsa. Pasalnya, sejak 2000 Israel kerap mengubah kebijakan pembatasan ibadah di Al Aqsa.
“Yordania terus melakukan kontak secara langsung dengan pihak Israel dan Washington (Amerika Serikat) dan pihak-pihak internasional lain untuk menuntut Israel menghormati situasi historis yang telah eksis sejak 2000,” kata Kementerian Luar Negeri Yordania, disitat Reuters, Kamis (28/4/2022).
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina
Perang Enam Hari hingga Intifada
Sebelum dikuasai Israel pada 1967, kompleks Masjid Al-Aqsa dilindungi Kementerian Wakaf Yordania. Setelah kota tua Yerusalem direbut Zionis Israel sebagai buntut kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari (5-10 Juni 1967), pemerintah Israel mengambil-alihnya. Di masa itulah untuk pertamakalinya Israel menodai Masjid Al-Aqsa.
Pada pagi 7 Juni 1967, pasukan Komando Tengah IDF (Tentara Pertahanan Israel) sudah membidik kota tua yang masih dipertahankan pasukan Yordania yang mulai kepayahan dan nyaris terkepung. Butuh keputusan matang bagi dewan keamanan Israel untuk meneruskan ofensifnya, mengingat banyak situs suci di dalam kota. Kendati Israel sudah dalam tekanan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) untuk melakukan gencatan senjata lewat Resolusi 233, para petinggi militer Israel ingin lebih dulu menguasai Yerusalem baru menaati gencatan senjata tersebut.
“Terdapat bahaya di mana Dewan Keamanan (PBB) akan memutuskan gencatan senjata. Anda harus segera merangsek ke Kota Tua (Yerusalem). Tapi lakukan dengan hati-hati, gunakan otak Anda,” ujar Deputi Kepala Staf IDF Jenderal Haim Bar-Lev kepada Panglima Komando Tengah IDF Uzi Narkiss, dikutip sejarawan Israel Michael Bornstein Oren dalam Six Days of War: June 1967 and the Making of the Modern Middle East
Baca juga: Sumbangsih Pertama Indonesia untuk Palestina
Namun, serangan belum bisa dilaksanakan lantaran belum ada lampu hijau dari pemerintah. Terlebih untuk meminta bantuan artileri, kavaleri, dan serangan udara, Komando Tengah IDF harus mendapat persetujuan Menteri Pertahanan Israel, Moshe Dayan.
“Dayan akhirnya menyetujui penggunaan tank-tank secara terbatas dan pesawat untuk menembus serangan. Perintahnya datang dengan keras agar tak mengenai Dome of Rock (situs Kubah Batu), Masjid Al-Aqsa, atau Gereja Makam Kudus karena kerusakan apapun akan memicu krisis internasional lain,” imbuh Oren.
Pada 7 Juni 1967 menjelang siang, pasukan Brigade Lintas Udara (Linud) Cadangan ke-55 IDF pimpinan Mordechai Gur sudah memijakkan kakinya di kawasan Bukit Kuil atau Al-Haram al-Sarif. Para tokoh Arab Kota Tua Yerusalem kemudian menyatakan penyerahan kota kepada Gur, termasuk persenjataan yang tersimpan di dalam masjid.
“Bukit Kuil sudah di tangan kita,” ujar Gur kepada Narkiss dalam pesan radionya.
Baca juga: Hagia Sophia dan Keteladanan Sahabat Rasulullah
Tidak hanya dinodai sepatu-sepatu militer pasukan Israel, kompleks Masjid Al-Aqsa dijadikan sasaran sejumlah ekskavasi pasca-Perang Enam Hari. Para arkeolog Israel yang dinaungi Kementerian Agama Israel, mulai melakukan penggalian di Bukit Kuil/Al-Haram al-Syarif hingga ke batas kompleks Masjid Al-Aqsa pada 1968. Israel mengabaikan protes para pemuka Islam yang mengkhawatirkan ekskavasi itu bisa merobohkan fondasi halaman dan bangunan masjidnya.
“Setelah aneksasi Kota Tua oleh Israel pada 1967, beberapa kali terjadi penggalian oleh para arkeolog Israel di sekitar Bukit Kuil tanpa riset lebih dalam. Di tembok selatan Bukit Kuil, di mana titik itu jadi pembatas dengan Masjid Al-Aqsa, ditemukan istana-istana (warisan Dinasti) Umayyah dan tulang-belulang prajurit Perang Salib,” tulis Jacqueline Schaalje di majalah The Jewish Magazine, edisi April 2001.
Pada 21 Agustus 1969, seorang jemaat Grace Communion International (GCI) asal Australia, Denis Michael Rohan, menyusup sampai ke bagian dalam masjid. Ia menyulut api hingga beberapa bagian interior masjid, termasuk mihrab utama dan Mimbar Salahuddin, hangus terbakar.
“Atas niat pribadi, Rohan membakar Masjid Al-Aqsa dengan harapan untuk mempercepat kedatangan juru selamat akhir zaman. Setelah ditahan, Rohan mengaku, dalam pengadilan, bahwa ia mendapat bisikan ilahi untuk menghancurkan Al-Aqsa demi bisa membangun kembali kuil Yahudi. Ia dinyatakan kelainan jiwa dan dideportasi dari Israel,” tulis Bassil A. Mardelli dalam Middle East Perspectives: From Lebanon (1968-1988).
Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor
Proyek inisiasi renovasi lantas diangkat Komite Rekonstruksi yang berbasis di Yordania dibantu para arsitek dan sejarawan Yordania hingga Suriah. Pasalnya riset mendalam mesti lebih dulu dilakoni untuk mereplika mendekati bentuk aslinya, di mana pada tahun 1168 mimbar aslinya dibuat Gubernur Provinsi Syam Nur al-Din Mahmud Zengi.
“Sementara para pekerja lapangannya dipilih berdasarkan kepakarannya, termasuk dalam ukiran kayu, bagian interlocking, tatahan kayu, hingga pembubutan. Sekitar 30 ahli perkayuan dan pengrajin bahu-membahu menyelesaikan model mimbar dari banyak negara Islam, di antaranya Turki, Mesir, Maroko, Suriah, Indonesia, dan Yordania,” ungkap Walid H. Abweini dkk. dalam jurnal “Reconstructing Salah Al-Din Minbar of Al-Aqsa Mosque: Challenges and Results” dari Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil Universitas Yordania.
Pada 8 Oktober 1990, provokasi yang berujung bentrokan terjadi di kompleks masjid. Pemicunya adalah protes terhadap kelompok ekstremis Yahudi dengan dikawal barisan polisi Israel yang dengan arogannya meletakkan batu fondasi kuil Yahudi di halaman masjid.
“Kelompok ortodoks Temple Mount and Eretz Yisrael Faithful Movement ingin meletakkan batu fondasi untuk Kuil Ketiga di halaman masjid yang menyebabkan protes massal. Sebanyak 22 warga Palestina tewas dan 100 lainnya terluka akibat bentrok dengan Kepolisian Perbatasan Israel,” tulis suratkabar The Jerusalem Post, 19 Juli 1991.
Satu dekade berselang, kekerasan terbesar di kompleks Al-Aqsa memicu Intifada Kedua atau Intifada Al-Aqsa (28 September 2000-8 Februari 2005). Konflik panjang itu bermula dari upaya Menteri Perumahan dan Pembangunan Israel Ariel Sharon memimpin delegasi Partai Likud memaksa masuk ke halaman muka masjid dengan dikawal ketat polisi Israel pada 28 September 2000.
Baca juga: Sepuluh Masjid yang Diubah jadi Gereja (Bagian I)
Pihak Palestina, terutama Palestine Liberation Organization (PLO), menyatakan aksi Sharon dan delegasi Likud tak lain merupakan aksi provokasi. Tak ayal warga Palestina berdemonstrasi massal lepas shalat Jumat pada 29 September dan berakhir bentrok dengan 2000 polisi Israel.
“Sekelompok jamaah Shalat Jumat melemparkan batu kepada polisi. Pihak polisi kemudian menggeruduk kompleks masjid, menembakkan peluru karet dan peluru tajam yang menewaskan empat orang dan melukai sekitar 200 lain,” ungkap Lucy Dean dalam The Middle East and North Africa 2004.
Serangkaian konfrontasi melebar dan jadi salah satu faktor kegagalan perundingan perdamaian Palestina-Israel di Pertemuan Tingkat Tinggi Kamp David (11-25 Juli 2000). Hingga penghentian konflik lewat Pertemuan Tingkat Tinggi Sharm el-Sheikh pada 8 Februari 2005, lebih dari 4.700 jiwa warga Palestina melayang dan 1.010 tentara maupun sipil Israel tewas.
Sementara itu, penguasaan keamanan dan status quo di Bukit Kuil atau Al-Haram al-Syarif, termasuk di dalamnya Tembok Ratapan dan Kompleks Al-Aqsa, tetap di tangan Israel. Itu terus bertahan kendati aksi provokatif dan bentrokan kecil terjadi pada 2014, 2015, 2016, 2017, 2021, dan terakhir pada 15 April 2022.
Baca juga: Sepuluh Masjid yang Diubah jadi Gereja (Bagian II – Habis)