HAGIA Sophia atau Ayasofya dalam lidah orang Turki masih dipermasalahkan dunia Barat setelah bangunan berusia 1.438 tahun itu diubah kembali jadi masjid. Bangunan yang didirikan pada abad keenam Masehi sebagai katedral Ortodoks itu sempat jadi masjid pada abad ke-15, lalu diubah jadi museum pada 1935, hingga akhirnya pada 10 Juli 2020 dikembalikan menjadi masjid oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan.
Salah satu pemimpin yang gencar mengecam tindakan Turki adalah Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis. Ia sampai meminta dukungan Amerika Serikat untuk menekan Turki agar membatalkan keputusan kontroversial itu. Mantan Wakil Presiden Amerika Joe Biden mengamininya kala bertemu di Thessaloniki, Yunani pada 7 Oktober 2020.
“Hal yang penting di mana kemarin mantan Wapres Amerika dan calon presiden, Joe Biden, menyatukan suaranya dalam gelombang protes global terkait transformasi (Hagia Sophia) menjadi masjid. Dia menyerukan kepada Turki untuk mengembalikan bangunannya sebagai monumen untuk semua umat manusia,” ujar Mitsotakis, dikutip Greek City Times, Kamis (8/10/2020).
Meski dibanjiri protes pada Agustus silam, Erdoğan membela diri bahwa yang dilakukannya terhadap Hagia Sophia bukan hal yang luar biasa lantaran negara-negara Eropa juga banyak mengubah masjid menjadi gereja. Seperti Masjid Agung Córdoba di Spanyol, misalnya.
Baca juga: Hagia Sophia dan Keteladanan Sahabat Rasulullah
Di Spanyol banyak masjid yang tak lagi berdiri atau hancur sejak era Reconquista (perebutan kembali Semenanjung Iberia dari Islam ke Kristen) dalam kurun 711-1492. “Dalam peradaban kita sekarang, penaklukkan bukan lagi dalam bentuk pendudukan atau perampasan – melainkan menyebarkan ajaran Allah di tanah yang ditaklukkan,” cetus Erdoğan medio Agustus 2020, disitat Global Security Review, 1 Oktober 2020.
Namun entah karena minim pengetahuan sejarah, Erdoğan tak mempedulikan fakta historis bahwa Masjid Agung Córdoba, sebagaimana Hagia Sophia, mulanya didirikan orang-orang Visigoth (Jermanik Kuno) sebagai gereja Katolik pada abad ketujuh. Fungsinya baru diubah jadi masjid seabad kemudian (784 Masehi) menyusul penaklukan Semenanjung Iberia (kini Portugal, Spanyol, dan Andorra) oleh Kekhalifahan Umayyah.
Memang pada 1236, pasca-Reconquista, masjid itu diubah lagi jadi gereja katolik oleh Raja Castilla Fernando III. Di masa itu, hampir semua masjid peninggalan era Kekhalifahan Umayyah hingga masa Kekhalifahan Qurṭuba (Córdoba) dihancurkan.
Hanya sedikit dari peninggalan-peninggalan itu yang menyisakan bangunan utuh. Berikut 10 bangunan yang didirikan sebagai masjid yang kemudian diubah menjadi gereja di Semenanjung Iberia pasca-Reconquista:
Masjid Agung Sevilla
La Giralda atau menara lonceng setinggi 104,1 meter di salah satu pusat kota Sevilla, Spanyol masih berdiri tegak hingga kini. Terletak tepat di sebelah Catederal de Santa María de la Sede, gaya arsitektur menara itu berbeda lantaran menara itu lahir dari masa berbeda. La Giralda satu-satunya bukti bahwa lokasi itu pernah berdiri Masjid Agung Sevilla dan ia sendiri merupakan menara masjidnya.
“Masjid Agung Sevilla didirikan tahun 829 selama masa kekuasaan Abd ar-Rahman II (Emir Córdoba keempat, red). Bangunannya memiliki aula sholat seluas 16 x 13 meter persegi. Di dalamnya ditopang 11 pilar yang berjajar hingga arah tembok kiblat, serta berkolom-kolom hiasan dari batu marmer yang menyokong lengkungan batu-batanya,” tulis Michael Greenhalgh dalam Marble Past, Monumental Present: Building with Antiquities in the Mediaeval Mediterranean.
Baca juga: Teror di Masjid Al-Noor
Pada masa Kekhalifahan Almohad, abad ke-12, bangunannya direnovasi. Namun baru pada tahun 1248 masjid itu diubah menjadi katedral setelah Pengepungan Sevilla, Juli 1247-November 1248, sebagai salah satu bab Reconquista.
Meski begitu, katedral tersebut sempat mangkrak. Pada 18 Oktober 1356, hampir seluruh sisa bangunannya runtuh akibat dampak gempa bumi berkekuatan 7,1 SR. Pada 1506, di tempat reruntuhannya dibangun sebuah katedral tepat di sebelah La Giralda.
Masjid Al-Mardum
Walau tak seluas Masjid Agung Cordoba, ia masih utuh berdiri di kota Toledo sejak akhir abad ke-10. Masjid Al-Mardum atau populer disebut Mezquita Cristo de la Luz namanya diambil dari dari nama gerbang kota Bab al-Mardum. Sejak tahun 932 Masehi, Tulaytula alias Toledo menjadi bagian dari Kekhalifahan Umayyah di bawah Khalifah Abd al-Rahman III. Bangunan masjid yang dibangun pada tahun 999-1000 Masehi (390 Hijriah) itu hanya berukuran 8 x 8 meter persegi dan tanpa menara masjid sebagaimana lazimnya masjid.
“Tetapi motif-motif dekorasi Córdoba masih tampak, termasuk dua dekorasi melengkung yang ditopang barisan pilar yang memang seperti menirukan masjid lain. Strukturnya dibangun dengan bahan batu-bata. Sisi timur dan baratnya terdapat gerbang masuk dan mihrab-nya (tempat imam) berada di sisi selatan. Adapun sisi utaranya terdapat struktur atap melengkung yang terbuka sebagai tempat salat lantai dua,” ungkap Jonathan Bloom dan Sheila S. Blair dalam Grove Encyclopedia of Islamic Art & Architecture.
Baca juga: Kala Khalifah Umar jadi Korban Penusukan
Tak seperti banyak masjid lain, Masjid Al-Mardum punya “akta kelahiran”. Hingga kini tembok depan sisi barat dayanya masih jelas menampakkan sebuah tulisan berbahasa Arab: “Bismillah (dengan menyebut nama Allah), Ahmad bin Hadidi telah membangun masjid ini menggunakan hartanya sendiri hanya mengharapkan balasan surga dari Allah. Masjid ini berdiri berkat pertolongan Allah di bawah arahan arsitek Musa bin Ali dan selesai pada bulan Muharram tahun 390 Hijriah.”
Setelah Toledo direbut Raja Castilla Alfonso VI pada 1085, Masjid Al-Mardum diubah menjadi kapel dan pada 1186, Raja Alfonso VIII mengalihkan kepemilikan bangunan kepada pasukan Ksatria Hospitalaria dari Ordo Santo Yohannes. Bangunannya tetap menjadi tempat peribadatan umat Katolik, Ermita de la Santa Cruz atau Kapel Salib Kudus.
Masjid Al-Dabbagin
Selain Masjid Al-Mardum, di Toledo juga terdapat masjid dari era sama yang berubah jadi gereja, yakni Masjid Al-Dabbagin. Namun tempo pembangunan Masjid Al-Dabbagin tak seterang Al-Mardum.
Bangunan Masjid Al-Dabbagin memiliki gaya arsitektur Mudéjar, bukan gaya Córdoba. Strukturnya masih utuh walau sudah tiga kali mengalami pengembangan bangunan pasca-Reconsquista.
“Masjid Al-Dabbagin dibangun pada abad ke-10, di mana interiornya terdapat tiga aula sholat. Pada perkembangannya kemudian aulanya bertambah di sisi timur lautnya,” sebut Antonio Jesús García Ortega dalam Transformations of Mosques into Churches: Formalizing and Tracing in the Restructuring Processes of Toledo and Córdoba.
Baca juga: Mula Kristen di Sri Lanka
Ketika Toledo direbut Raja Léon dan Castilla, Alfonso VI, pada 1085, Masjid Al-Dabbagin diubah menjadi Gereja San Sebastián. Beberapa konstruksinya direnovasi pada akhir abad ke-12 atau awal abad ke-13. Hanya menaranya yang masih asli dari era bangunan masjid.
Ia berubah fungsi lagi pada 1916 dengan dijadikan aula musik dan museum. Keutuhan bangunannya membuat pemerintah Spanyol memasukkannya ke daftar Bien des Interés Cultural, semacam cagar budaya.
Masjid Al-Mustimim
Tak jauh dari Masjid Al-Mardum, terdapat Masjid Al-Mustimim. Sejumlah pakar sepakat masjid ini dibangun pada pertengahan abad ke-11.
“Karena ada tiga tulisan yang terukir di beberapa bagian bangunan. Satu ukirannya merujuk tahun 1032, ukiran kedua merujuk antara tahun 1932/1035, dan ketiga tahun 1075. Dari tiga sampel ini kita bisa simpulkan, terutama di ukiran kedua, bahwa hubus (landasan keagamaan) sudah berakar sejak awal abad kesembilan, di mana hal itu cukup membuktikan sudah terjadi Islamisasi secara besar-besara di kota Tulaytula (Toledo),” ungkap Sabine Panzram dalam The Power of Cities: The Iberian Peninsula from Late Antiquity to the Early Modern Period.
Baca juga: Pandangan Westerling terhadap Islam
Masjid ini diyakini didirikan di atas bekas sebuah bangunan untuk sistem saluran air era Romawi Kuno. Indikatornya merujuk pada temuan reruntuhan tangki air minum di lantai bawahnya. Sementara lantai dua yang kemudian dijadikan mihrab, diduga dijadikan tempat pertemuan atau tempat pemujaan Romawi Kuno.
Saat Reconquista, masjid ini diduduki pasukan Raja Léon dan Castilla, Alfonso VI, (1805). Pada 1458, bangunannya diubah menjadi Gereja de las Tornerías meski pada 1505 beralihfungsi lagi menjadi penginapan, lalu kantor dagang karena lokasinya berada di jantung perekonomian kota Toledo. Kini, bekas masjid itu difungsikan sebagai Pusat Promosi Kerajinan Tangan Casilla la Mancha yang dikelola oleh Fundación Mezquita de las Tornerías.
Masjid Aljama Martulah
Tak seperti di Spanyol, di Portugal hampir semua masjid yang diubah menjadi gereja “wajahnya” ikut berubah. Satu di antara yang tak berubah adalah Igreja de Nossa Senhora da Anuncição (Gereja Kabar Sukacita kepada Santa Perawan Maria) di kota Mértola.
Diungkapkan Robert M. Hayden dalam Antagonistic Tolerance: Competitive Sharing of Religious Sites and Spaces, di kota Mértola yang oleh pendatang Arab disebut Martulah, didirikan Masjid Aljama Martulah pada pertengahan abad ke-12, kala Mértola dikuasai Kekhalifahan Almohad. Ia dibangun di atas bekas reruntuhan bangunan pemujaan Romawi Kuno.
Baca juga: Kisah Dua Paus dalam The Two Popes
“Bentuk bangunannya mirip dengan gaya gereja-gereja pra-Katolik Roma di wilayah setempat. Pintu masuk utamanya terletak di sisi barat. Pada bagian interior terdapat struktur lengkungan gaya Moor dan di sisi utara dibangun tempat wudhu. Bangunan utamanya didesain dengan lima aula besar yang ditopang 20 pilar silinder, mirip seperti di Granada atau Maroko,” singkap Hayden.
“Tetapi kekuasaan muslim tak bertahan lama di Mértola. Lewat sebuah kampanye besar Reconquista di pertengahan abad ke-13 yang dipimpin pasukan Ksatria Santiago, Mértola direbut dengan waktu singkat pada tahun 1238, menandakan berakhirnya rezim Islam di Mértola,” tambahnya.
Masjid Aljama Mértola pun diambilalih dan ditukarguling menjadi gereja. Sejumlah atribut keagamaan Islam berganti atribut-atribut Nasrani. Menara masjid yang jadi tempat mengumandangkan adzan diubah jadi menara lonceng gereja. Sedikit perubahan struktur bangunan sekadar adanya penambahan dekorasi parapet atau sandaran tepi atap di atas bangunannya.