Pertengahan Juli, 1947. Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatera. Dia mengunjungi wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur sebagai destinasi utama. Saat itu, keadaan di tempat-tempat tersebut sangat gawat. Di Pematang Siantar, ibu kota Sumatra Timur, Hatta bersua dengan seorang pimpinan laskar yang disegani: Timur Pane
“….Sarwono telah ditangkapnya dan hendak dibunuhnya. Kupanggil Timur Pane ke tempatku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” kenang Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi.
Nama Timur Pane kesohor sampai ke Jawa. Para bandit dinaungi di bawah pimpinannya untuk bertempur melawan tentara Belanda. Kendati demikian, pasukannya laskar “Naga Terbang” dikenal liar dan suka mengacau. Kadang-kadang suka merampas milik rakyat. Panglima Divisi Siliwangi saat itu, Abdul Haris Nasution mencatat, di Lubuk Pakam yang menjadi markas Naga Terbang, pasukan Timur Pane menduduki beberapa perkebunan.
“Tindakan mereka tidak dapat dikendalikan oleh badan-badan pemerintah yang berwajib,” ujar Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati.
Dijinakkan Bung Hatta
Ekses-ekses perjuangan memicu perselihan antar laskar. Timur Pane yang tunduk kepada PNI daerah sedang bertentangan dengan suatu laskar lainnya yaitu Ksatria Pesindo di bawah Sarwono Sastro Sutardjo. Naga Terbang-nya Timur Pane adalah salah satu penentang terkeras Sarwono. Masalah ekonomi serta persaingan memperebutkan wilayah atau sumber-sumber uang yang mendasarinya. Hatta sampai turun tangan menengahi persoalan laskar di Sumatra Timur.
Ketika berhadapan dengan Hatta, Timur Pane tak berani mendebat. Dia mematuhi Wakil Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia itu. Untuk membuktikan diri, Timur Pane meminta persetujuan Hatta bagi pasukannya yang mau menggempur dan mengenyahkan Belanda dari Medan Area. Sontak para hadirin terperangah. Mereka meragukan kemampuan pasukan Timur Pane, terlebih sejak 1946 mereka lebih banyak di garis belakang. Dugaan mereka, Timur Pane hanya ingin memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan karena mereka kerap meresahkan masyarakat. Namun Hatta mengizinkannya.
Baca juga:
“Aku menyuruhnya pergi ke Tapanuli, sebab ia bermaksud akan menggempur daerah Medan,” ujar Hatta.
Menurut Hatta, di hari yang sama, Timur Pane langsung kembali dari Tapanuli membawa beberapa ratus senjata disertai beberapa golongan laskar. Timur Pane melaporkan kesiapan pasukannya untuk menyerang. Hatta segera memberi perintah memasuki daerah Belanda di sekitar Medan.
Tanggal 27 Juli 1947, militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit mendarat di Pantai Cermin, lebih kurang 40 kilometer sebelah timur kota Medan. Perlawanan sengit berlangsung namun hasil akhir pertempuran di luar dugaan. Legiun Penggempur yang ditugaskan menghadang pendaratan tak kuasa membendung laju tentara Belanda. Pasukan Belanda bergerak terus ke arah Lubukpakam. Sementara rencana Timur Pane memasuki kota Medan dibatalkan.
Baca juga:
Pada saat pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tahun 1948, Legiun Penggempur termasuk salah satu badan perjuangan yang dilikuidasi. Semenjak itu, Timur Pane dicopot dari kedudukan militernya. Gelar jenderal mayor kebanggaannya dilucuti.
Jenderal Mayor yang Hilang
Kendati kehilangan jabatannya, Timur Pane masih punya banyak pengikut setia. Mereka dikumpulkan dalam barisan pengawan yang dinamakan “Sang Gerilya”. Kelompok pasukan tak resmi ini ditampung dalam Divisi Banteng Negara oleh Mayor Liberti Malau. Malau adalah komandan Sektor II Komandemen Sumatera yang meliputi wilayah Tapanuli Utara. Timur Pane dan Malau merupakan rekan seperjuangan ketika membentuk Brigade Marsose.
Dalam suatu rapat di Samosir, Timur Pane berusaha agar Mayor Malau diganti sebagai komandan Sektor II. Gerakan Timur Pane menyebabkan kekacauan di Sektor II karena suka menghasut rakyat. Persoalan ini dibawa sampai kepada gubernur militer, Ferdinand Lumbantobing. Suatu pasukan ekspedisi dikerahkan untuk mengusir pasukan Timur Pane.
Baca juga:
Setelah keluar dari Divisi Banteng Negara, Timur Pane mengundurkan diri ke Sektor III di wilayah Dairi, komandemen Sumatera. Di sana, dia diterima oleh Mayor Selamat Ginting. Selamat Ginting tak sampai hati menangkap Timur Pane.
“Rupanya perasaan setia kawan pada seorang teman seperjuangan sejak Medan Area mengikat kedua tokoh ini,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara.
Kendati demikian, Timur Pane lagi-lagi membuat gerakan. Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi menyebut, pasukan Timur Pane sering bertindak tanpa izin atau sepengetahuan Komandan Sektor III, Selamat Ginting.
Timur Pane malah memilih bergabung dengan Gerakan Rakyat Murba Indonesia (Germi). Germi dipimpinoleh Tama Ginting yang berseteru dengan Selamat Ginting. Pasalnya, program penebangan kayu hutan untuk ekonomi rakyat yang digagas Germi dilarang oleh Selamat Ginting selaku pimpinan militer.
Baca juga:
Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Koalisi ini mendapuk Timur Pane sebagai panglima dan Sang Gerilya sebagai pasukan tempur. Dalam suatu operasi, Sang Gerilya berhasil melucuti pasukan Batalyon III dari Sektor III. Selamat Ginting memutuskan untuk menumpas aksi pasukan mantan kompatriotnya itu.
“Pasukan Sang Gerilya akhirnya digempur habis-habisan sehingga pada saat pengkuan kedaulatan tidak kedengaran lagi mengenai Timur Pane dan pasukannya,” kata Maraden.
Tak ada catatan lanjut mengenai akhir kiprah Timur Pane. Berita kematian atau di mana pusara nya juga tak diketahui. Dalam narasi sejarah, namanya kerap diidentikan sebagai bandit sekaligus pejuang yang melegenda.
Pada 1987, sineas dan sutradara kenamaan Asrul Sani mengadaptasi kisah Timur Pane ke dalam layar sinema. Sosok Timur Pane dilakonkan sebagai Naga Bonar dalam film Naga Bonar.
Baca juga: