PADA 30 September 1965 malam, Presiden Sukarno didaulat untuk berpidato di depan Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora, Senayan. Bung Karno, seperti biasa, selalu memikat dalam setiap pidatonya. Dia bahkan membukanya dengan lagu irama lenso Mari Bergembira yang diciptakannya sendiri.
Menurutnya, kemampuan teknik mutlak dibutuhkan oleh sebuah bangsa. Dalam kesempatan yang sama dia mengatakan revolusi kemerdekaan telah berhasil menghancurkan sistem imperialisme yang bertahun-tahun berkuasa di Indonesia. Perjuangan berikutnya adalah menentang alam dan menundukan alam supaya bersahabat. Karena dengan demikian alam bisa bersahabat untuk menciptakan kemakmuran rakyat.
Baca juga: Megawati Sukarnoputri: Tanpa arsip, kita tidak tahu siapa kita
“He kaum teknisi, sadarilah hal ini. Bahwa sekarang ini, saudara-saudara, kita berjuang menundukan alam, menundukan angin, menundukan gempa, menundukan laut, menundukan udara...semuanya kita tundukan, jadikan sahabat kita yang membantu kepada kita,” ujar Bung Karno.
Dia juga menegaskan bahwa tanpa kemampuan teknik yang mumpuni, kemakmuran dan keadilan bakal sulit dicapai. “Sosialisme tidak bisa dibina tanpa pengetahuan teknik.”
Karena alasan itu pula Bung Karno mendidik kedua anaknya, Guntur dan Megawati, agar membantu mewujudkan sosialisme di Indonesia. Kepada kedua anaknya itu dia mewanti-wanti agar belajar serius demi tercapainya Indonesia yang makmur dan adil.
Baca juga: Menyedihkan! Sukarno dilarang menghadiri pernikahan anaknya, Guntur Soekarnoputra
Dengan bangga Bung Karno mengisahkan dua anaknya tersebut yang juga memilih kuliah di jurusan teknik. Dia menuturkan, “Guntur Sukarnaputra, mahasiswa ITB, jurusan teknik. Megawati milih jurusan teknik pertanian. Megawati –saya panggil dia Dis... Dis, engkau harus bantu di dalam usaha rakyat mendatangkan sosialisme Indonesia yang cukup sandang, cukup pangan.”
Kendati menyampaikan hal-hal serius dalam pidatonya, Bung Karno tak lupa menyelipkan canda yang mengundang derai tawa peserta Munas. Sambil menujukan jarinya kepada para peserta Munas yang berjaket kuning (kemungkinan mahasiswa Universitas Indonesia), presiden pertama Republik Indonesia itu mengajukan satu syarat kepada mereka apabila mau mempersunting Megawati sebagai istri.
Baca juga: Sukarno menikahkan Rachmawati Soekarnoputri dalam keadaan sakit dan status tahanan
“Dus, he pemuda-pemuda, itu yang baju kuning itu, kalau engkau tidak jurusan teknik, jangan ngelamar Megawati, ya!” kata Presiden Sukarno disambut tawa para peserta.
Dalam otobiografinya Penyambung Lidah Rakyat, Bung Karno juga beberapa kali menyebut anak perempuannya itu. Dia mengisahkan tentang kemahiran Megawati menari. “Megawati, yang biasa kupanggil Ega, pandai menari dan tariannya menggairahkan," kata Bung Karno kepada Cindy Adams, penulis otobiografinya.
Baca juga: Sukarno menyebut penulisan yang benar adalah Megawati Soekarnaputri, Bukan Soekarnoputri
Megawati Sukarnoputri menikah pertama kali dengan Letnan Satu Surindro Supjarso, seorang pilot pesawat TNI AU yang tewas dalam tugasnya menerbangkan pesawat Skyvan T-701 di perairan Biak, 22 Januari 1970. Ia kemudian menikah lagi dengan Hasan Gamal, seorang diplomat Mesir. Pernikahan keduanya ini tak berlangsung lama setelah mereka memutuskan berpisah.
Suami ketiga Megawati adalah Taufiq Kiemas, aktivis politik yang pernah menjabat ketua MPR periode 2009-2014. Taufik wafat 8 Juni 2013 pada usia 70 tahun.