Pagi-pagi tanggal 17 Oktober 1952, dua buah tank, empat kendaraan berlapis baja, dan ribuan orang menyerbu dan memasuki pintu gerbang Istana Merdeka, kediaman Presiden Sukarno. Satu batalion artileri dengan empat buah meriam menderu di halaman istana. Kerumunan massa menggelar spanduk-spanduk bertuliskan “Bubarkan Parlemen!”.
“Meriam-meriam 25-pon bikinan Inggris digerakkan dan dihadapkan kepadaku,” ujar Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. “Pameran kekuatan ini mencerminkan kelatahan dari zaman itu. Tindakan ini tidak dapat dikatakan bijaksana, karena para panglima yang memimpin gerakan itu berada bersamaku di dalam istana.”
Di balik aksi pengerahan meriam itu tersebutlah nama Mayor Kemal Idris, Komandan Resimen Tujuh Divisi Siliwangi. Dengan memegang sepasukan kavaleri dan infanteri, Kemal diperbantukan memantau situasi kota Jakarta.
Dalam biografinya, Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi, dia mengaku mendapat perintah dari inisiator gerakan sekaligus pimpinan Angkatan Darat, Kolonel AH Nasution untuk menempatkan meriam di depan Istana Merdeka. Menurut Kemal, tujuan penempatan senjata tersebut untuk melaksanakan tindakan pengamanan, mengantisipasi aksi massa. Nasution di kemudian hari justru mengakui bahwa peristiwa itu sebagai “percobaan setengah kudeta.”
Sebagai tindak lanjut penyelesaian peristiwa itu, pada akhir November atau awal Desember, pimpinan Angkatan Darat hingga tingkat komandan resimen dipanggil ke Istana. Di sana, Kemal bertemu dan berbicara dengan Achmad Yani, Sutoyo, Suprapto, dan Haryono.
Sementara mereka tengah bercengkrama, Sukarno datang menghampiri. Satu persatu disalami. Tiba giliran Kemal, Sukarno seakan enggan melihatnya sehingga tak mengulurkan tangan untuk berjabatan.
“Saya dilewatinya begitu saja. Dia seolah-olah tidak kenal saya, karena dia sangat marah,” kenang Kemal.
Begitu pula ketika para undangan sedang berbaris di belakang Istana. Sebagaimana biasa, Sukarno menyambut dan mendatangi tetamu dengan ramah. Sembari berjabat tangan, dia menanyakan nama dan kesatuan. Tatkala berhadapan dengan Kemal, terjadilah pembicaraan singkat.
“Kamu siapa,” Bung Karno bertanya dengan suara dingin.
“Kemal Idris, Pak,” jawab Kemal salah tingkah.
“Pangkatmu?”
“Mayor, Pak”
“Jawaban-jawaban saya hanya di jawab dengan ‘oh’ oleh Bung Karno. Saya merasa terhina” ujar Kemal.
Padahal menurut Kemal, saat berdinas di Cirebon, Bung Karno telah mengenal persis dirinya. Ketika itu, Sukarno berkunjung ke Cirebon, datang naik kereta api dari Jakarta ke Cirebon. Kemal menjemputnya dengan mobil, lengkap dengan pengawalan. Sukarno memanggilnya, “Mal, sini, Mal.”
“Kalau arah meriam itu menyebabkan beliau tersinggung, maka beliau bukanlah seorang pemimpin yang berjiwa besar, bahkan sebaliknya, berjiwa kecil dan berhati pengecut” ketus Kemal.
Insiden meriam ternyata berbuntut panjang. Karier militer Kemal mandek semasa Sukarno berkuasa. Selama delapan tahun dia tidak diberi jabatan dan meja. Dalam jenjang waktu itu, Kemal seyogianya mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal. Merasa terkucil, Kemal mempertanyakan nasibnya kepada Nasution.
“Pak Nas, kenapa saya mengalami keadaan semacam ini?”
“Orang nomor satu harus tahu kemana kamu harus ditempatkan. Kalau dia bilang tidak setuju, berarti tidak jadi,” jawab Nasution.
Di senjakala pemerintahannya, Kemal Idris memukul balik Sukarno. Pada Jumat pagi, 11 Maret 1966, rapat kabinet 100 menteri yang dipimpin Sukarno di Istana Merdeka, disatroni oleh pasukan tanpa tanda pengenal. Kendati tak ditujukan langsung pada dirinya, Sukarno merasa terancam dan ketakutan sehingga harus diamankan ke Istana Bogor.
Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal yang saat itu sebagai Kepala Staf Kostrad dengan pangkat Brigadir Jenderal, mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Soebandrio, orang kepercayaan Sukarno yang menjabat wakil perdana menteri satu, oleh pihak Angkatan Darat dianggap mengetahui Gerakan 30 September 1965.
Setelah Mayor Jenderal TNI Soeharto mengambilalih kekuasaan dari Presiden Sukarno dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Kemal berada di atas angin. Dia makin rapat dengan Soeharto. Dari Soeharto, dia mendapat kabar bahwa Bung Karno tidak setuju menaikan pangkatnya kecuali dia ditugaskan ke luar negeri.
“Saya memperoleh cerita ini dari Pak Harto, yang tidak berapa lama kemudian menaikan pangkat saya menjadi Mayor Jenderal,” ujar Kemal.
Menurut pengamat politik militer Salim Said, Soeharto telah mengetahui rekam jejak Kemal. Dengan itu, Soeharto dapat menggunakan Kemal yang berwatak pemberang dan tidak kenal kompromi untuk menyingkirkan Sukarno.
“Kalau pada 17 Oktober 1952, Kemal gagal memaksa Sukarno membubarkan Parlemen, pada 11 Maret 1966, Kemal berhasil memaksa Sukarno menyerahkan kekuasan kepada Soeharto,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian.
Di era Orde Baru, Kemal dikenal sebagai salah satu dari tiga serangkai bersama Panglima Siliwangi HR Dharsono dan Panglima RPKAD Sarwo Edhie Wibowo. Mereka berperan membantu Soeharto naik tampuk kekuasaan.