EROPA Timur lagi-lagi jadi tujuan pesepakbola Indonesia merintis karier. Setelah Egy Maulana Vikri di Polandia (Lechia Gdańsk), kini ada Witan Sulaeman yang mencoba peruntungannya di Serbia.
Sejak 11 Februari 2020, Witan, jebolan PSIM Yogyakarta cum gelandang Timnas Indonesia U-19, dikontrak klub papan tengah Superliga Serbia FK Radnik Surdulica dengan masa percobaan enam bulan. Bila penampilan Witan di klub yang didirikan pengusaha sepatu Gradimir Antić itu bagus, ia berpotensi mendapatkan penambahan durasi kontrak tiga tahun.
“Witan akan bergabung di tim utama Radnik. Semoga ini jalan yang terbaik. Dia harus bekerja keras dan mengambil kesempatan ini dengan cara terbaik,” kata Dusan Bogdanovic, agen Witan, sebagaimana dikutip Kumparan, 11 Februari 2020.
Baca juga: Egy Maulana Vikri dan Kisah Rasis Tak Kunjung Habis
Namun selain kerja keras dan skill mumpuni, Witan juga mesti punya mental baja untuk bisa sukses. Eropa Timur pada umumnya dan Serbia khususnya, dikenal sebagai negeri yang subur bagi rasisme. Egy sendiri pernah mengalaminya di Polandia pada Maret 2018 dan sukses melaluinya.
“Saya pikir dengan Egy berani masuk ke Eropa Timur, dia mestinya sudah siap mental. Karena di Eropa, khususnya Eropa Timur, masyarakatnya terdiri dari banyak bangsa,” ujar Timo Scheunemann, mantan pelatih klub Liga Indonesia berdarah Jerman, kepada Historia medio Maret 2018.
“(Rasisme) berakar dari konflik yang pernah terjadi, baik Perang Dunia I, II maupun perang-perang sebelumnya. Apalagi yang notabene Eropa Timur, di mana pendidikan kebanyakan masyarakatnya masih di bawah negara-negara Eropa Barat,” tambah pria yang kini tengah menemani tim Garuda Select di Inggris sebagai penerjemah.
Bola Sepak dari Mahasiswa Yahudi
Meski usianya nyaris seabad (didirikan tahun 1926), FK Radnik yang berbasis di kota Surdulica bukan perkumpulan sepakbola pertama Serbia. Klub sepakbola pertama yang teroganisir di Serbia bernama Bácska Szabadkai Athletikai Club (kini FK Bačka), berdiri pada 3 Agustus 1901.
Bácska berbasis di Subotica, kota perbatasan utara negeri itu dengan Astro-Hungaria. Maka namanya pun berbau Hungaria. Klub itu lalu terdaftar di otoritas olahraga Kekaisaran Austria-Hungaria setelah wilayah Subotica diduduki.
Sepakbola sendiri pertamakali diperkenalkan ke Kerajaan Serbia oleh mahasiswa berdarah Yahudi, Hugo Buli yang dijuluki “Bapak Sepakbola Serbia”. Dipaparkan Dejan N. Zec dalam risetnya “The Origins of Soccer in Serbia: Serbian Studies volume 24” yang dimuat di On the Very Edge: Modernism and Modernity in the Arts and Architecture of Interwar Serbia (1918-1941), Hugo Buli adalah pelajar asal Beograd dari keluarga saudagar dan bankir Yahudi nan kaya dan mengenyam pendidikannya di Berlin.
Saat bersekolah di Berlin itulah ia mengenal sepakbola. Ia lantas bermain di klub BFC Germania yang berbasis di Distrik Tempelhof kurun 1892. Sepulangnya dari Jerman, ia memperkenalkan sepakbola ke perkumpulan olahraga Soko pada 1896.
“Dia seorang yang antusias terhadap sepakbola dan merasa punya misi mengenalkannya ke publik di Serbia. Setelah kembali dari Jerman, dia menggelar pertandingan persahabatan antara dua tim yang berisi teman-temannya dan para atlet perkumpulan Soko pada 19 Mei 1896 di salah satu taman di Beograd, setelah lebih dulu memberi briefing singkat tentang aturan main sepakbola,” ungkap Zec.
Kendati laga itu diliput banyak wartawan, publik Serbia belum banyak yang kepincut permainan 22 pria berebut sebutir bola itu. Para penonton yang belum paham betul permainan si kulit bundar heran mengapa permainan itu hanya boleh dimainkan dengan kaki.
“Meski begitu, Buli dan perkumpulan Soko terus mempromosikan olahraga anyar itu dan beberapa tahun kemudian, tim amatir pertama didirikan. Pada 1899, anggota-anggota Soko: Buli, Mihajlo Živadinović, Bernar Robiček, Velizar Mitrović, Marko Milutinović, dan Blaža Barlovac, membentuk Prvo srpsko društvo za igru loptom (perkumpulan Serbia pertama yang bermain sepakbola),” lanjut Zec.
Namun kesebelasan itu sekadar perkumpulan di bawah naungan Soko, bukan klub sepakbola yang berdiri sendiri. Maka ia tak bisa dihitung sebagai klub tertua Serbia.
Baca juga: Balada Klub Antah Berantah Como 1907 yang Dibeli Pengusaha Indonesia
Klub yang didirikan Buli cs. itu tak didukung pemerintah kerajaan. Akibatnya, sepakbola berkembang lambat. Tapi sepakbola menarik minat beberapa pihak yang lantas turut mendirikan klub, meski tetap bernaung di bawah perkumpulan olahraga lain laiknya Soko. Selain FK Bačka pada 1901, klub-klub awal di Serbia yang berdiri adalah Concordia (1903), Šumadija (1904), Srpski mač (1905), Dušan Silni (1908), Vihor, dan Deligrad (1909).
“Jelang Perang Dunia I, sepakbola baru tumbuh dengan sangat cepat, baik di Beograd maupun kota-kota lain. Pada 1914 saja angka pesepakbola aktif sudah sekitar tiga ribu pemain yang tersebar di kota-kota seperti Čačak, Leskovac, Sokobanja, Smederevska Palanka, Natalinci, Zaječar, serta Niš. Beogradski Sport Klub (BSK) dan Velika Srbija (keduanya berdiri 1911) kemudian jadi dua klub paling sukses dan populer dalam sejarah Serbia pra-komunis,” sambung Zec.
Velika Srbija yang di kemudian hari berubah nama menjadi SK Jugoslavija dan bubar pada 1945, jadi klub pertama yang memenangkan kejuaraan resmi antarklub Serbia, sebuah kejuaraan yang digelar Komite Olimpiade Serbia pada musim semi 1914. Ironisnya, tak lama kemudian Kekaisaran Austria-Hungaria mendeklarasikan perang terhadap Serbia, mengakibatkan roda kegiatan sepakbola Serbia terhenti.
Zaman Edan Sepakbola Serbia
Hingga Perang Dunia I pecah, Serbia belum sempat mendirikan federasi sepakbola. Kesempatan memiliki federasi sepakbola sendiri hilang karena pasca-Perang Dunia I Serbia jadi bagian Yugoslavia bersama Kroasia, Bosnia, Herzegovina, dan Slovenia.
Alhasil, Beogradski loptački podsavez atau Sub-asosiasi Sepakbola Beograd yang berdiri pada 12 Maret 1920, bernaung di bawah FSJ (Asosiasi Sepakbola Yugoslavia). Namun sub-asosiasi Beograd turut membentuk timnas Yugoslavia pertama untuk ikut Olimpiade Antwerp 1920. Sejak 1923, sub-asosiasi Beograd juga turut menyertakan tim-tim Serbia dalam Liga Utama Yugoslavia.
Geliat sepakbola di Serbia vakum lagi dengan pecahnya Perang Dunia II. Banyak pemainnya tinggal nama, baik karena ikut angkat senjata bersama barisan Partizan dan Chetnik maupun akibat ditahan di kamp konsentrasi Nazi-Jerman. Buli si “Bapak Sepakbola Yugoslavia” salah satunya. Ia dimasukkan ke kamp konsentrasi Topovske Šupe di Beograd pada 1941 dan jadi korban holocaust.
Usai Perang Dunia II, para pemain Serbia menjadi tulang punggung timnas Yugoslavia. Mereka turut menikmati rangkaian prestasi medali perak Olimpiade 1948 dan 1952, serta runner-up Piala Eropa 1960 dan 1968.
Namun memanasnya situasi politik yang berbuah konflik pada 1990-an membawa sepakbola Serbia memasuki “zaman edan”. Dalam How Soccer Explains the World: An Unlikely Theory of Globalization, Franklin Foer menguraikan, pada 1990-an terdapat dua klub paling sengit rivalitasnya yang lazimnya memuncak pada aksi-aksi anarkisme suporter, yakni Red Star Beograd dan Partizan Beograd. Red Star juga berseteru dengan Kroasia.
“Orang Kroasia, polisi, tidak ada bedanya. Akan saya habisi mereka semua,” kata Krle, pentolan Ultras Bad Boys, suporter fanatik Red Star, saat ditanya Foer tentang siapa yang paling mereka benci.
Baca juga: Aroma Dendam Konflik Balkan
Kroasia mereka benci lantaran Perang Yugoslavia (1991-1999). Sementara, polisi mereka benci lantaran memonopoli kepemilikan klub sepakbola bersama militer. Lucunya, Red Star sendiri dimiliki Kepolisian Serbia, Sementara musuhnya, Partizan Beograd, dimiliki militer. Dua tim sekota inilah yang paling dahsyat rivalitasnya, acap berimbas pada aksi kekerasan di luar stadion.
“Fans Partizan pernah membunuh suporter Red Star berumur 15 tahun. Ia sedang duduk di stadion, mereka tembak dadanya. Monster-monster itu membunuh si bocah. Mereka tak tahu batas,” imbuh Krle menguraikan mula perseteruan mereka dengan suporter Partizan.
Kejadian itu sekadar puncak gunung es dari “api dalam sekam” rivalitas kedua klub. Kebencian para suporter Red Star yang merupakan kaum nasionalis, sudah mencapai ranah harga diri dan ideologis sehingga menstimulasi aksi fisik saat Yugoslavia memasuki perpecahan.
“Tentara melambangkan musuh dari cita-cita mereka. Ideologi tentara komunis menolak gagasan identitas separatis Serbia. Haram bagi soliditas buruh dan kerukunan etnis. Para pengikut Josip Broz Tito yang namanya dipakai untuk kesebelasan tentara (Partizan Beograd), telah membunuh Chetnik, pasukan nasionalis Serbia yang juga telah memerangi Nazi. Red Star pun jadi wadah bagi nasionalis Serbia yang bercita-cita merebut kembali martabat bangsanya,” sambung Foer.
Situasi makin runyam karena pemerintah dan aparat keamanan Serbia mendukung suporter-suporter garis keras macam hooligan Inggris itu. Selain Ultras yang beranggotakan campuran dari beragam kalangan, mulai pekerja kantoran hingga mantan tukang pukul dan anggota geng, kelompok yang paling dihormati adalah Delije. Basis suporter ini dikomando Željko ‘Arkan’ Ražnatović, yang dalam Perang Balkan membentuk milisi SDG (Garda Sukarela Serbia). Lewat SDG itulah kelompok Arkan angkat senjata dalam Perang Balkan. Arkan kemudian ditetapkan sebagai penjahat perang karena membantai banyak sipil Bosnia.
Baca juga: Perang Sepakbola dan Kemerdekaan Kroasia
Saat ini, ketika Serbia telah menjadi negeri sendiri, rasisme di dalam sepakbola tetap bertahan. Sebagaimana dikatakan Coach Timo, rasisme jadi “jalan” lain aksi kekerasan suporter di sana.
Di level timnas pun masih acap terjadi. Pada September 2019 dalam Kualifikasi Euro 2020, contohnya. Kala Serbia menjamu Portugal di Stadion Rajko Mitić itu, fans Serbia melancarkan teror rasisme nyaris sepanjang laga kepada para pemain berkulit hitam Portugal. Akibatnya Federasi Sepakbola Serbia didenda 33.250 euro dan dihukum dengan memainkan dua laga kandang berikutnya tanpa penonton. Semoga Witan punya mental sekuat baja seandainya diteror rasisme baik dari suporter lawan maupun suporter FK Radnik itu sendiri.