TAK hanya mempengaruhi kehidupan politik dan ekonomi, kerusuhan 1998 juga mengakibatkan sepakbola tanah air terganggu. Keadaan itu masih diingat betul oleh mantan kapten Persib Robby Darwis. “Ya, terhenti itu tahun 1998. Kalau tidak salah ketika itu kita (Persib Bandung) harusnya ada pertandingan lawan PSIS (di Penyisihan Divisi Tengah Liga Indonesia IV),” kata Robby kepada Historia.
Persib, yang saat itu menempati urutan lima klasemen Divisi Tengah, masih harus berjuang karena baru 15 kali tampil. Tentu bukan hanya Persib, jadwal semua tim terpaksa ditunda sebelum kompetisi benar-benar dihentikan pada 25 Mei 1998. Ini menjadi klimaks kekacauan sepakbola nasional yang bibitnya sudah muncul musim sebelumnya.
Di Liga Indonesia III, 1996/1997, beberapa tim sudah terimbas krisis moneter. Yang terparah, Bandung Raya (BR). Runner-up Divisi Utama Liga Indonesia III ini terpaksa mundur di musim berikutnya.
Ambruknya BR menjadi berkah buat Persija. Bak “ketiban durian runtuh”, banyak pilar andalan BR, seperti Budiman Yunus, Nuralim, dan Olinga Atangana, memilih hijrah ke ibukota. Menurut Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila, Panglima Gajah, Manajer Juara, para pemain Bandung Raya yang sudah bubar secara khusus direkrut Gubernur DKI Sutiyoso yang sedang getol membangun Persija. Persija bahkan merekrut pilar senior BR, Herry Kiswanto, jadi asisten pelatih dan AB Fafie, mantan pelatih BR.
Sayang, kondisi on fire Persija, yang juga mengancam pemuncak Divisi Barat Persebaya, seketika harus padam lantaran kompetisi dihentikan. “Persija sempat merangsek ke puncak klasemen. Namun kompetisi dihentikan dan ketika liga disetop, Persija berada di peringkat dua wilayah Barat dengan 27 poin dari 15 partai,” ujar Manila.
Dihentikannya kompetisi membuat banyak penggila bola berang. Di beberapa tempat, mereka berbuat anarkis. Di Bandung, batalnya laga Persib lawan PSIS di Stadion Siliwangi berhilir pada aksi demonstrasi Bobotoh. Suporter Persib itu menyatu dengan elemen masyarakat lain di Gedung Sate.
Aksi itu diduga terinspirasi dari aksi anarkis suporter terhadap klub Arseto Solo di Stadion Sriwedari Solo, 6 Mei 1998. Arseto dijadikan sasaran amuk gara-gara pemiliknya adalah putra Soeharto, Sigit Harjoyudanto. Semua yang berbau Soeharto kala itu dijadikan sasaran kemarahan. Arseto pun bubar tak lama setelah menggulirkan laga terakhir kontra Pelita Jaya di matchday ke-14 Divisi Tengah.
Berhentinya kompetisi berimbas pada nasib para pesepakbola yang mencari penghidupan dari merumput bersama klub-klub. “Banyak yang akhirnya main di luar (kompetisi), ya seperti event-event lokal. Semacam tarkam-lah (antarkampung). Saya juga pernah, walau tidak sering. Pas kompetisi terhenti, saya kembali kerja lagi (di BNI 46), karena memang sejak bela Persib, saya juga dikaryakan di sini,” ujar Robby Darwis.
Kompetisi baru dibuka kembali pada 1 November 1998 setelah ketua umum PSSI baru Agum Gumelar susah-payah menggerakkan lagi roda kompetisi. Kompetisi Liga Indonesia V 1998-1999 bergulir dari subsidi PSSI pada klub-klub peserta dengan total kucuran uang Rp2,8 miliar.
Sayang, sejumlah warisan negatif seperti anarkisme suporter masih tetap bertahan di kompetisi baru. “Khusus soal anarkisme suporter, ya itu memang imbas dari berakhirnya Orde Baru. Suporter jadi lebih berani terhadap aparat. Bentrokan dengan aparat kan hal yang sangat jarang terjadi dalam sepakbola di masa Orde Baru,” tandas peneliti hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto.
Baca juga:
Robby Darwis yang Legendaris
Gelar Juara di Tengah Prahara
Ketika Robby Dikerjai Malaysia