Robby Darwis yang Legendaris
Satu dari beberapa ikon Persib Bandung paling bergaung. Turut melegenda bersama tim Garuda.
TAK ubahnya Jakarta, lalu lintas Kota Bandung siang itu yang padat amat menguji kesabaran. Namun, ujian kesabaran itu terobati begitu sesosok pria tinggi-besar muncul dan menyambut hangat.
Robby Darwis, pria tadi, merupakan maestro legendaris Persib Bandung dan palang pintu utama timnas era 1980-an hingga awal 1990-an. Kiprahnya di lapangan hijau dimulai dari hobi main bola dan kecintaannya pada Persib sejak kanak-kanak. “Jadi kebawa lah. Terpacu kepingin jadi pemain bola. Terlecut cita-cita bermain bola untuk Persib dan timnas,” kata Robby ketika ditemui Historia di kantornya, BNI 46 Cabang Asia-Afrika, Bandung.
Lahir di Lembang, 30 Oktober 1964, Robby kecil menyalurkan hobi sepakbolanya di klub kampung bernama Arjuna. Dari Arjuna, Robby kemudian masuk SSB Capella. “Di Capella, sekitar tahun 1979 ada ujicoba Persib Selection. Waktu itu saya hanya main 45 menit, tapi terus dipanggil Pak Marek (Janota, pelatih Persib asal Polandia) dan Pak Obon (Syakban). Katanya Marek saat itu butuh pemain yang posturnya tinggi dan saya kepilih ikut latihan bersama (Persib),” kenang pria yang kini menjabat sebagai penyelia kas di kantornya itu.
Robby yang mestinya resmi berkostum Persib, gagal merumput bareng Persib. Namanya terlempar lagi dari skuad akibat Persib terdegradasi dari Divisi Utama Perserikatan musim 1978-1979.
Robby baru resmi masuk tim senior Persib empat tahun kemudian. Posisinya, stopper, posisi baru baginya. “Dulu waktu masih di tim kampung dan SSB, saya di posisi serang. Kadang penyerang, kadang gelandang serang. Baru di Persib itu saya dicoba pelatih di posisi bek. Sampai sekarang terus terbawa posisi ini,” imbuhnya.
Bersama Persib, Robby melahap manis-pahit pengalaman tim kebanggaan kota kembang itu baik sepanjang era Perserikatan maupun ketika telah jadi Liga Indonesia. Yang tak pernah dilupakan Robby, kala Persib kembali merebut gelar juara Perserikatan musim 1986. “Setelah berpuluh-puluh tahun menunggu (gelar) Kejuaraan Nasional, kan baru di zaman (kepelatihan) Marek itu,” lanjut penggemar legenda AC Milan Franco Baresi itu.
Naiknya prestasi Persib dan popularitas Robby yang menyertainya membuat sebuah klub Malaysia kepincut. Kelantan FC lalu memboyong Robby tahun 1990. Namun sial bagi Robby, baru sekali main di Liga Malaysia sudah dikenai sanksi sebagai buntut sebuah insiden. Robby dituduh melakukan pemukulan dan diganjar hukuman larangan bermain tiga bulan kendati akhirnya hanya dijalaninya dua bulan.
“Sangat sedikit sekali kesempatan saya main di situ. Manajemen tim sempat protes karena mereka masih ingin lihat saya lebih sering bermain. Setelah itu saya kembali ke Persib sampai pensiun tahun 2000,” kata Robby.
Robby Darwis saat membawa Persib juara di kompetisi Perserikatan terakhir 1994
Robby jadi salah satu ikon Persib paling disanjung. Sepanjang kariernya, dia berperan penting mempersembahkan gelar juara untuk timnya: Perserikatan 1986, 1989-1990, 1993-1994, dan Liga Indonesia I 1994-1995. Sebelum melanjutkan karier di bank, Robby sempat melatih Persib pada 2008 dan 2010.
Membela Sang Garuda
Seiring melejitnya reputasi Robby di Persib, pada 1985 timnas PSSI memanggilnya bergabung dengan pelatnas PSSI dalam rangka persiapan Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. “Di seleksi timnas awalnya saya masih cadangan. Tapi ketika ada satu pemain senior yang cedera, di situ kesempatan saya,” ujar Robby.
Robby turut membawa tim Garuda terbang cukup tinggi di Asian Games itu. Menurut data Record Sport Soccer Statistics, Robby dkk. lolos ke perempatfinal sebagai runner up Grup D di bawah Arab Saudi. Timnas kemudian menembus semifinal setelah menyingkirkan Uni Emirat Arab lewat adu penalti, 4-3. Namun, di semifinal timnas dibekap tuan rumah empat gol nirbalas. Para “garuda” juga gagal merebut perunggu setelah di laga perebutan juara tiga keok 0-5 dari Kuwait.
Pengalaman pahit Robby itu terobati setelah timnas Indonesia berhasil merebut emas di SEA Games 1987 dan 1993. Robby berperan penting di dalamnya.
Pengalaman pahit kembali mendatangi Robby dkk. menjelang Kualifikasi Piala Dunia 1994. Saat melakukan training camp (TC) dan uji coba melawan klub Yunani AEK Athens, timnas di bawah asuhan Ivan Toplak dipermak 10 gol tanpa balas.
“Itu momen kita TC, sebulan di sana. Terus lawan klub Yunani itu, yang juara liga, juga. Banyak kendalanya ya buat tim, seperti udara dingin, lapangan yang nggak ada rumputnya, lengket kondisinya,” kenangnya.
Timnas akhirnya gagal di kualifikasi. Pun begitu dengan SEA Games 1997 di Jakarta. “Di final kan kita kalah itu, adu penalti (lawan Thailand). Selesai (SEA Games) itu, saya pensiun dari timnas,” ujar Robby.
Kini jelang perjuangan tim Garuda di Piala AFF dan Asian Games, Robby punya harapan besar timnas di bawah asuhan Luis Milla mampu bicara banyak. Terlebih di zaman now, para pemain timnas acap dimanjakan stimulan berupa bonus.
“Dulu mah nggak ada bonus apa-apa. Makanya perbedaannya jauh. Dulu cuma nama bangsa dan merah putih saja yang kita bawa di dada. Soal penghargaam pemerintah, baru (Desember 2017) kemarin saja dari Kemenpora,” tandas Robby, yang jadi satu di antara para pendulang emas SEA Games 1991 yang dihadiahi bonus uang Rp40 juta dan piagam dari Kemenpora di Jakarta, 13 Desember 2017.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar