Masuk Daftar
My Getplus

Mozart Lapangan Hijau

Anak yatim dari pinggiran ibukota Austria jadi maestro lapangan hijau. Namun sikap politik anti-Nazi membuatnya celaka.

Oleh: Randy Wirayudha | 02 Jul 2018
Matthias Sindelar, kapten Wunderteam Austria yang menolak bermain untuk Jerman jelang Piala Dunia 1938 (Foto: fifa.com)

PIALA Dunia 2018 Rusia buat Jerman adalah petaka. Tak hanya gagal melewati fase grup, tim asuhan Joachim Löw itu bahkan jadi juru kunci di grup. Rusia menjadi tempat Jerman mengulang pengalaman pahit di Piala Dunia 1938.

Di Piala Dunia pra-Perang Dunia II itu Jerman angkat koper lebih cepat setelah kalah dari Swiss meski sudah mendapat tambahan sembilan pemain Austria. Namun, bisa jadi angkat kopernya Jerman karena asupan pemain dari Austria tak termasuk Matthias Sindelar.

Maestro 

Advertising
Advertising

Wolfgang Amadeus Mozart dikenal sebagai salah satu komposer paling jenius sepanjang masa. Komposer asal Austria itu menghasilkan lebih dari 600 karya. Kebesaran nama Mozart itulah yang dijadikan julukan buat Sindelar.

Sindelar pemain paling vital di Wunderteam, timnas Austria yang berkibar di era 1920-an hingga 1930-an. Style permainannya, terlebih kala melewati hadangan lawan, bak keindahan simfoni-simfoni Mozart. Publik Austria memujanya dalam maupun luar lapangan.

“Sepertinya dia punya otak di kakinya dan banyak hal luar biasa dan tak terduga terjadi saat dia berlari. Tendangan Sindelar ke jaring gawang bagaikan pukulan tinju yang sempurna dan akhiran seperti itu membuat kita sangat paham dan menghargai kesempurnaan komposisi dari sebuah kisah yang diwakili pencapaian prestasi,” sanjung jurnalis dan kritikus Alfred Polgar pada suatu ketika, dikutip Kevin E. Simpson dalam Soccer under the Swastika.

Anak Yatim Menggapai Bintang

Putra dari pasutri Katolik berdarah Ceko yang berprofesi sebagai pandai besi, Jan Šindelář dengan Marie Svengrova, itu lahir pada 10 Februari 1903 dengan nama Matěj Šindelář. Dia lahir di Kozlov, Moravia yang kala itu masih jadi bagian Kekaisaran Austria-Hungaria (kini wilayah Republik Ceko).

Sindi, nama kecil Sindelar, harus tumbuh sebagai anak yatim. Ayahnya ikut tewas dalam gejolak Perang Dunia I. Sebagai anak yang hidup serba pas-pasan, Sindi  hanya bisa menyalurkan hobi dengan bermain bola di jalanan. Namun, di situlah justru bakatnya berada. Setelah bergabung dengan klub amatir Hertha Wien, bakat Sindi kian terlihat hingga kemudian digaet klub yang lebih besar, FK Austria Wien, pada 1924.

Prestasi apiknya membuat dia dipanggil masuk timnas Austria. Menurut data RSSSF 23 Februari 2017, dia menjalani debut dalam laga persahabatan kontra Cekoslovakia di Praha, 28 September 1926.

Namun, tindakan indisipliner membuat Sindi dicoret pelatih Hugo Meisl empat tahun kemudian. Kebijakan Meisl itu menuai penentangan dari berbagai kalangan. “Meisl terpojok saat berargumen di Ring Café pada 1931 hingga berubah pikiran untuk memainkan Sindelar lagi,” ungkap David Goldblatt dalam The Ball is Round: A Global History of Football.

Meisl memanfaatkan comeback Sindi dengan mencoba metode barunya. Dia mengubah formasi menjadi 2-3-1-4 dan memposisikan Sindi sebagai playmaker, bukan lagi penyerang. “Sindelar menjadi perintis dalam posisi tradisional nomor 10 hingga sekarang. Dia merintis posisi playmaker, trequarista, posisi yang penting di era modern,” ujar Edward Couzens-Lake dalam Mapping the Pitch.

Hasilnya, Austria antara lain menjuarai Central European International Cup 1931-1932. Timnas Austria pun mendapat julukan Wundeteam alias Tim Ajaib. Maka di Piala Dunia 1934, Piala Dunia pertama yang menggunakan kualifikasi, Austria lolos. Wunderteam  berhasil mencapai semifinal sebelum akhirnya dijegal Italia 0-1.

“Austria juga kalah di laga perebutan juara tiga dari Jerman. Sindelar tak bermain karena masih menderita setelah dicederai Monti,” ungkap Bill dan William J. Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer.

Namun, Austria mendapat hiburan dua tahun kemudian. Di Olimpiade Berlin 1936, Austria merebut perak di cabang sepakbola.

Prestasi Sindi lebih bersinar di klub. Bersama Austria Wien, penyerang tengah itu menggapai bintangnya dengan mempersembahkan lima titel OFB Cup, satu titel Liga Austria, dan dua trofi Mitropa Cup.

Austria Wien menjadi klub profesional pertama dan terakhir Sindi. Tawaran 40 ribu poundsterling dari raksasa Inggris Manchester United tak kuat menggerakkan hati Sindi untuk angkat kaki ke luar negeri.

Anti-Nazi dan Misteri Kematian

Piala Dunia 1934 Italia menjadi Piala Dunia terakhir Sindi bersama Wunderteam. Sebab, Piala Dunia 1938 Prancis batal diikuti Austria lantaran pada medio Maret 1938, tiga bulan jelang pembukaan Piala Dunia, negeri itu dicaplok Jerman yang dipimpin Hitler.

Alhasil, semua badan olahraga, termasuk sepakbola, dilebur dengan Jerman. Austria yang lolos kualifikasi Piala Dunia pun harus rela bergabung dengan DFB (induk sepakbola Jerman) meski diberi kesempatan memainkan laga perpisahan melawan Jerman –menang 2-0 dan Sindi menyumbang satu gol.

Sembilan pemain eks Austria seperti Rudolf Rafti, Hans Mock, dan Hans Pesser lantas berganti seragam. Tak ada nama Sindi di skuad Jerman yang diasuh Sepp Herberger. Sang kapten Wundeteam menolak tampil di bawah panji Nazi.

Rumornya, Sindi menolak ikut tim Jerman di Piala Dunia 1938 karena merasa sudah terlampau tua (35 tahun). Namun, itu mungkin hanya excuse-nya. Prinsip anti-Nazi Sindi begitu kuat. “Dia seorang Sosial-Demokrat yang pro-Yahudi. Dia juga menentang Anschluss dan tak segan tetap berhubungan dengan teman-teman Yahudi-nya terlepas adanya regulasi tentang itu,” sebut Tamir Bar-On dalam Beyond Soccer: International Relation and Politics.

Akibat penolakan itu, keluarga dan rumahnnya selalu dalam pengamatan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi). Terlebih, setelah dia membeli kafe milik Leopold Drill, seorang Yahudi yang terpaksa melepas hartanya sesuai hukum baru di Austria, di Annagasse seharga 20 ribu mark.

Sindi akhirnya ditemukan tewas oleh temannya, Gustav Hartmann, dalam flat di lantai atas kafe yang baru dibelinya itu pada 23 Januari 1939. “Pagi 23 Januari 1939, Hartmann yang sedang mencari Sindelar, mendobrak pintu bawah dan (Sindelar, red.) tergeletak tak bernyawa dalam keadaan telanjang bersama kekasih yang baru dipacarinya selama 10 hari, Camilla Castignola,” tulis Jonathan Wilson dalam Inverting the Pyramid: The History of Football Tactics.

Hasil pemeriksaan rumahsakit mengungkap keduanya tewas akibat racun karbon monoksida. Itu diperkuat rekaman medis pemerintah Nazi yang menyatakan kerusakan perapian flat sebagai penyebab kematian. Hingga kini, misteri kematiannya masih belum terpecahkan. Namun, kuat dugaan dia dihabisi Gestapo.

Untuk menutupi ulahnya, selain mengakali rekaman medis, pemerintah buru-buru memberikan upacara pemakaman secara terhormat di Zentralfriedhof. “Menurut undang-undang Nazi, seseorang tak bisa diberikan upacara pemakaman secara terhormat jika dia meninggal karena dibunuh atau bunuh diri,” ujar Egon Ulbrich, salah satu teman Sindi dalam sebuah dokumenter BBC, “Fascism and Football” tahun 2003.

Baca juga: 

Der Panzer Tersungkur
Menggenjot Citra Fasis Lewat Sepakbola
Aroma Dendam Konflik Balkan
Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri

TAG

Piala-Dunia Austria Wunderteam Sindelar Sepakbola Jerman

ARTIKEL TERKAIT

Serba-serbi Aturan Offside dalam Sepakbola Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Rossoblù Jawara dari Masa Lalu Lima Jersey Sepakbola Kontroversial Pangeran Bernhard, dari Partai Nazi hingga Panglima Belanda Philippe Troussier si Dukun Putih Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian II) Kisah Putri Bangsawan India Jadi Mata-mata Inggris (Bagian I) Momentum Bayer Leverkusen Akhir Pelarian Teroris Kiri